Tempat itu pun menjadi kiblat bagi para pesepakbola tanah air. Tampil di SUGBK adalah mimpi setiap pemain sepak bola. Berbicara tentang SUGBK setelah hari-hari itu, adalah berbicara tentang kebanggaan dan ambisi. Siapa yang tidak ingin tampil di SUGBK? Bila pertanyaan ini dilayangkan kepada para pesepakbola tanah air, maka hampir dipastikan tak ada yang berkatan tidak.
Tak hanya menjadi tempat singggah, SUGBK juga adalah ruang sakral bagi Persija Jakarta. Itulah markas, "home base" para pemain Macan Kemayoran. Di situ pula para fans, The Jakmania, mendukung, menghibur dan menyemangati tim kesayangannya secara total. Di tempat itu pula para penggemarnya habis-habisan mendarmabaktikan diri dengan segala bentuk koreografi, sekaligus melancarkan teror kepada tim-tim lawan dengan segala armadanya.
Hari-hari ini kita berhadapan dengan polemik terkait rencana pembangunan ramp atau bidang miring mengelilingi sisi luar stadion. Oleh pihak terkait, ramp tersebut dimaksudkan untuk memudahkan akses masuk bagi pengguna kursi roda dan warga yang mendorong kereta bayi (Kompas, 6/10/2016,hal.29).
Namun konsep tersebut terancam mengubah “ciri asli” stadion tersebut. Kehadiran ramp jelas mengubah wajah asli SUGBK yang sudah menjadi bangunan cagar budaya yang harus diperlakukan secara hati-hati. Tak hanya aspek kemanfaatan, ciri khasnya pun patut diperhatikan. Hal ini sesuai perintah undang-undang. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menegaskan bangunan cagar budaya bisa dipugar untuk kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan ciri asli atau muka bangunan.
Memang konsep ramp tersebut baik adanya. SUGBK ingin tampil lebih ramah terhadap mereka dengan kebutuhan khusus. Namun kehadiran ramp, oleh sejumlah pihak pun dinilai tak menjawab kebutuhan. Penambahan ramp tidak sepadan dengan Undang-Undang Nomor 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas dan UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung. Alih-alih membangun ramp yang berakibat pada rusaknya rupa cagar budaya itu dan kurang tepat sasaran, alangkah lebih baik mengambil opsi lain seperti pembangunan lift.
Para pihak yang terlibat dalam pemugaran ini tentu harus berpikir serius terutama mengambil jalan tengah dari dilema yang dihadapi. Renovasi di satu sisi tidak boleh mengubah wajah asli, namun di sisi lain ada hal mendasar yang perlu diperhatikan. Mengingat usianya yang sudah lebih dari 50 tahun, tentu aspek keamanan dan keselamatan pengguna harus menjadi perhitungan serius.
Kita tentu berharap bahwa kekhasan SUGBK tetap dipertahankan. Selain atap baja besar yang membentuk cincin raksasa yang disebut temu gelang (ring bergabung) yang unik, sejauh dapat orisinalitas unsur arsitektural yang lain pun dijaga. Namun sekali lagi, aspek keselamatan dan keamanan tetap masuk hitungan. Bagaimanapun SUGBK masih menjadi andalan utama, termasuk untuk Asian Games dua tahun mendatang.
Menyelaraskan kedua aspek itu jelas tidak mudah. Para pihak terkait tidak hanya memikirkan aspek kebutuhan dan keselamatan, juga historisitas. Bagaimanapun juga SUGBK adalah monumen dari labirin anasir sosial, politik, ekonomi dan olahraga.
SUGBK adalah saksi pertaruhan nama baik Soekarno dan bangsa Indonesia dahulu kala. SUGBK juga adalah monumen permusuhan politis yang berdampak pada perubahan nama menjadi Istora Senayan saat Soeharto berkuasa. SUGBK adalah saksi sepak bola dalam negeri. Tak kalah penting di sana ada jejak pengorbanan lebih dari 60.000 penduduk yang tergusur dari tempat tinggal mereka.
Akhirnya, seperti rumah perawan, walau sudah tak muda lagi, SUGBK tak bisa disambangi, apalagi disentuh dengan mudah.