Bagi pencinta Arsenal dan Barcelona tentu tak bisa melupakan Paris, 10 tahun silam. Bertempat di Stade de France, dua klub tersebut bertarung merebut supremasi klub terbaik Eropa. Mereka bertarung untuk mengangkat trofi Liga Champions dalam format baru yang ke-14 atau yang ke-51 secara keseluruhan.
Dramatis. Demikian kesan utama bila kita memutar kembali roda waktu atau melihat kembali rekaman pertandingan pada 17 Mei 2006 itu. Saat itu Arsenal hanya butuh stabilitas selama 14 menit untuk mempertahankan keunggulan, setelah centre-backSol Campbell mengoyak jala Victor Valdes di menit ke-37.
Namun 14 menit masih terlalu panjang untuk mengawetkan kemenangan. Dan 840 detik masih cukup bagi Blaugrana untuk mencetak dua gol. Dan benar, sisa waktu kemudian menjadi mimpi buruk bagi Arsenal setelah Samuel Eto’o balik menjebol gawang yang ditinggalkan Jens Lehman sejak menit ke-18 di menit 76 dan pemain pengganti Juliano Belletti empat menit berselang.
Tak hanya Lehman yang kecewa, menyesali kesalahannya melanggar keras Eto’o yang berbuah kartu merah dini. Semua pemain Arsenal pun butuh penghiburan. Para fans dan penonton moderat pun merasakan hal yang sama melihat bagaimana Arsenal bermain. Meski kehilangan Lehmann lebih awal, Arsenal tetap tampil padu, taktis dan menghibur. Mengingat nasib tim London Utara itu, kita terbayang Chelsea pada 2012 saat menghadapi Bayern Muenchen.
Gelandang Barcelona, Andres Iniesta masih mengingat jelas suasana timnya saat itu. Dalam biografi terbaru berjudul Being Iniesta,pemain yang kini berusia 32 tahun, masih mengingat dengan jelas ketegangan di tubuh timnya termasuk sang manajer Frank Rijkaard. Duduk di bangku cadangan selama babak pertama, Iniesta menulis, seperti dikutip dari Dailymail.co.uk,“What (Barca manager) Frank Rijkaard could not imagine was that his team would struggle in the first half, with Sol Campbell’s header leaving his original plan in pieces. He saw that Barcelona were unable to dominate the game, not even against 10 men. They did not have control, they did not have the ball. Only Victor Valdes, agile and strong, kept them in it.”
Seperti yang lain, sang manajer, Arsene Wenger pun merasakan sakit yang sama. Sejak berlabuh di Emirates Stadium pada 1996, itulah momen terbaik Wenger untuk mencapai puncak Liga Champions. Sebelum itu, Sang Professor hanya mampu menuntun timnya hingga babak perempatfinal (musim 2000/2001 dan 2003/2004).
Pria Prancis yang kini berusia 66 tahun memang pantas menyesali kekalahan itu bila melihat perjalanan timnya selama satu dekade kemudian. Pencapaian di Paris itu adalah yang terbaik dan belum juga terulang. “Meriam London” nyaris menginjak final pada musim 2008/2009. Selebihnya,dalam enam musim terakhir , skuad “Gudang Peluru” itu terperangkap di babak 16 besar.
Pertanyaan kini mengapa Arsenal terus menerus menuai kecewa? Sebelum partai final itu, Arsenal bersaing menyamai rekor Barcelona yang telah mengklaim satu gelar prestisius itu. Secara materi dan tradisi, keduanya memiliki nama yang sama-sama dikenal di Eropa. Namun, setelah itu jalan hidup mereka berbeda. Arsenal masih terus bermimpi merajai Eropa, sementara klub Catalan itu sudah lima kali mengklaim gelar.
Bila Barcelona memiliki generasi emas, demikian pula Arsenal. Azulgrana punya Xavi, Iniesta dan Lionel Messi yang sangat digdaya di lini tengah, di samping pemain-pemain bintang lainnya. Sementara Arsenal pernah memiliki generasi hebat yang tak kalah mumpuni mengawal sektor kedua dalam diri Patrick Vieira, Emmanuel Petit dan Gilberto.
Keberadaan ketiga pemain itu benar-benar menakutkan. Bermodal ketiga jagoan itu Wenger cukup percaya diri tampil di Liga Champions musim 2003/2004. Saat itu, Arsenal menjadi salah satu favorit juara. Namun apa yang terjadi kemudian berbeda. Mereka tersisih secara menyakitkan di babak perempatfinal. Kalah dari Chelsea yang diarsiteki Claudio Ranieri. Menurut sumber yang sama, Wenger terlihat hampir menangis di konferensi pers setelah pertandingan itu.
Rob Draper, kolumnis Dailymail mensinyalir Wenger cukup terobsesi dengan gaya bermain Barcelona di bawah Pep Guardiola. Ia ingin menanamkan filosofi penguasaan bola kepada anak asuhnya. Namun, Wenger gagal mengadopsi gaya raksasa Spanyol itu secara sempurna.
Penguasaan bola yang dikehendaki Wenger tak didukung dengan intensitas dan permainan kolektif. Wenger hanya meminta para pemainnya untuk mendominasi pertandingan, berjuang mendapatkan presentase penguasaan bola yang lebih. Namun, saat bola sudah dipegang, pekerjaan selanjutnya menjadi milik segelintir orang.