Dalam situasi seperti itu pertanyaan bisa dikembangkan lebih jauh, mengapa bisa sampai terjadi demikian? Berdasarkan aturan yang ada, sejak 1 Juli 2016, keterlambatan pembayaran iuran dikenakan bila dalam waktu 45 hari sejak status kepesertaan diaktifkan kembali, peserta tersebut memperoleh pelayanan kesehatan rawat inap, maka dikenakan denda sebesar 2,5 persen dari biaya kesehatan untuk setiap bulan tertunggak
Denda tersebut dikenakan berdasarkan ketentutan jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 bulan dan besar denda paling tinggi Rp.30.000,00. Apakah regulasi yang mengatur tentang ini terlalu lunak? Aspek penegakan yang bermasalah? Atau ada hal lain yang mengganjal?
Kedua,jumlah peserta yang belum maksimal. Saat ini masih ada sekitar 90 juta masyarakat yang belum terjaring program ini. Meski rasio peserta tersebut lebih kecil ketimbang peserta yang sudah terdaftar, patut dicatatan mayoritas berasal dari kelompok pekerja formal. Berarti mereka berasal dari kelompok di luar tanggungan negara.
Dibandingkan peserta JKN pada akhir 2015 sebanyak 156,7 juta jiwa, pada semester I-2016 mengalami peningkatan sekitar 10 juta warga menjadi 166,9 juta. Lebih dari separuh, atau 6 juta peserta berasal dari tambahan penerima bantuan iuran (PBI) dan hanya 4 juta di luar PBI.
Bila dirata-rata, penambahan peserta baru di luar PBI per bulan selama 6 bulan pertama 2016 hanya sekitar 500.000 warga. Bila rerata penambahan tidak membaik, bukan hanya target tiga tahun ke depan yang tidak tercapai, juga membuat jurang defisit semakin lebar. Saat ini rasio klaim biaya manfaat terhadap pendapatan iuran semester I-2016 mencapaii 102 persen. Bila tak segera ditangani dengan baik bukan tidak mungkin bisa mengancam keberlangsungan program tersebut.
Terlihat jelas tantangan di depan mata yang sedang kita hadapi bersama. Sebagai “gabe” JKN telah mewujud sistem yang memungkinkan kita saling menolong agar semua tertolong. Namun tugas kita tidak sampai di situ. Hadiah tersebut bukan tanpa tangung jawab. Ada tugas atau “aufgabe” penting yang sedang menanti kita.
Masih dalam nafas gotong royong, adalah tugas kita untuk membenahi beberapa hal mendasar sekaligus menggalakkan semangat kegotongroyongan itu dalam berbagai bentuk. Gotong royong tidak hanya dengan membayar iuran semata dan semangat tersebut tidak hanya menjadi milik satu dua pihak saja. Mulai dari pemerintah, masyarakat, badan usaha hingga tenaga kesehatan perlu terlibat aktif.
Pertama,selain mendisiplikan peserta mandiri dengan menyentuh ruang kesadaran mereka, secara realistis diperlukan peserta baru yang sehat dan disiplin membayar iuran. Mereka perlu dirangkul untuk turut mendaftar dan memperkuat barisan anggota BPJS.
Salah satu sasaran adalah segmen pekerja formal. Selain melakukan pendekatan kepada para pekerja maupun kepada lembaga tempat mereka bekerja atau badan usaha, melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah adalah pilihan yang mungkin.
Saat ini masih ada dua provinsi yakni Bali dan Sumatera Selatan, serta 172 kabupaten atau kota yang belum mengintegrasikan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dengan JKN. Pemerintah daerah perlu mendorong badan usaha untuk memasukan pekerja formal dengan tingkat ekonomi bawah ke dalam program Jamkesda. Saat ini sudah 383 pemda yang mengintegrasikan Jamkesdanya dengan JKN (Kompas,Jumat, 12/8/2016, hal.15).