Hasilnya tentu sudah terlihat dalam berbagai tingkatan. Masyarakat miskin bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, misalnya untuk 155 jenis penyakit yang sedianya bisa ditangani di puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Pada tingkat lanjut, masyarat yang menderita penyakit seperti jantung, gagal ginjal dan kanker pun terbantu. Bukan rahasia lagi penyakit-penyakit mematikan tersebut membutuhkan biaya pengobatan yang sangat tinggi dan biasanya dibebankan kepada penderita sehingga kehadiran JKN sungguh sangat membantu. Sebagai ilustrasi, untuk menutup biaya pengobatan satu pasien kanker dbutuhkan iuran 1.253 peserta sehat.
Meski jauh dari kata representatif, setidaknya survey terkini yang dilakukan harian Kompas,(Minggu, 18/9/2016, hal.1) terhadap masyarakat Jabodetabek memperlihatkan dampak positif dari adanya layanan BPJS. Hampir separuh warga (49 persen) menilai layanan BPJS Kesehatan cukup memuaskan. Sebanyak 68 persen dari kelompok warga yang puas sudah membuktikan dengan menggunakan layanan BPJS Kesehatan itu. Lebih dari separuh penggunanya berasal dari kelas akar rumput yakni kelompok ekonomi bawah, berpendidikan rendah, berusia 60 tahun ke atas dan kelompok pensiunan.
Dari deskripsi singkat di atas terlihat bahwa JKN adalah berkah (gabe) dari negara kepada masyarakat dan dari sesama kepada sesama yang lain. Meski belum berjalan sempurna dan dirasakan sepenuhnya oleh seluruh masyarakat setidaknya tanda-tanda baik sudah terlihat.
Sejauh ini beberapa kekurangan yang masih terlihat mulai dari penolakan pasien JKN, pelayanan kurang ramah, hingga antrean yang mengular. Selain itu kualitas layanan yang kurang memadai yang dialami sejak dari fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama. Masih menurut hasil survey Kompas,kualitas layanan yang belum maksimal di faskes tingkat pertama terlihat dari pemberian obat yang tidak sesuai dengan kesehatan pasien.
Berbagai kekurangan tersebut tak lepas dari “cacat” manusiawi maupun kendala sarana prasarana seperti faskes dan personalia. Bila tidak segera dibenahi bisa menghabat kepakan sayap BPJS untuk menjangkau lebih banyak peserta. Masih dari survey yang sama, baru 83 persen warga memiliki kartu BPJS, itu pun 15 persen di antaranya kartu baru dimiliki oleh sebagian anggota keluarga.
Namun, BPJS pun menghadapi kendala yang tidak kalah pelik. Seperti sudah disinggung sebelumnya, sebagai program negara, sistem ini berjalan tidak sepenuhnya bertumpu pada sumber daya finansial negara. Negara tidak menjadi tulang punggung satu-satunya. Bisa dibayangkan bila biaya kesehatan 250 juta lebih penduduk Indonesia ditanggung sepenuhnya oleh negara. Ruang fiskal APBN yang sangat sempit seperti sekarang ini tak hanya membuat langkah pembangunan semakin terseok-seok, juga berpotensi menjerumuskan bangsa ini ke jurang keterpurukan.
Dengan skema seperti diterangkan sebelumnya, JKN juga bertumpu pada masyarakat Indonesia sendiri. Namun yang terjadi saat ini adalah dana talangan negara semakin membengkak. Defisit anggaran yang dikelola BPJS semakin meningkat. Tahun 2014 PBJS mengalami defisit Rp 3,3 triliun. Jumlah tersebut meningkat menjadi Rp 5,6 triliun pada 2015 dan diprediksi terus membesar mencapai Rp 6,8 triliun pada tahun ini.
Pertanyaan krusial, mengapa bisa terjadi demikian? Dua kemungkinan paling masuk akan bisa dikemukakan. Pertama, banyaknya peserta yang menunggak terutama peserta mandiri yakni Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).
Berdasarkan laporan Kompas,Kamis 15/9/2016, hal.14, Saat ini tunggakan iuran BPJS Rp 2 triliun. Mayoritas peserta mandiri kurang tertib dan patuh membayar iuran. Padahal berdasarkan data BPJS tahun 2015, segmen tersebut menyerap Rp 16,6 triliun biaya kesehatan atau 29,2 persen dari total biaya kesehatan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan besarnya iuran yang terkumpul dari PBPU yang hanya berjumlah Rp 4,6 triliun. Hingga minggu keempat Agustus, tingkat pengumpulan iuran (kolektabilitas) iuran peserta PBPU paling rendah di antara segmen peserta lain yakni 48 persen. Sementara kolektabilitas segmen peserta lain di atas 95 persen.