Selain menyerap sumber daya tenaga kerja nasional secara langsung, juga mendorong munculnya perusahaan penyedia barang dan jasa atau bidang usaha baru seperti penyedia jasa survei topografi, jasa pengeboran dan konstruksi. Pelibatan perbankan nasional (dalam transaksi jual beli migas) membuat sektor-sektor lain pun turut bergerak. Selain itu turut menghidupkan perekonomian lokal di daerah-daerah operasi KKKS. Tak sedikit daerah yang mendapatkan manfaat langsung dari geliat sektor hulu migas tersebut.
Pertama,perbaikan aspek regulasi. Poin ini krusial mengingat adanya sengkarut aturan entah terkait perizinan dan admistrasi yang berbelit-belit sehingga memusingkan dan memakan banyak waktu, maupun ketidaksesuain dalam kontrak kerja.
Seperti disampaikan Marjolijn, seharusnya hak yang telah diberikan kepada KKKS untuk mengusahakan suatu WK langsung dibarengi dengan izin-izin terkait. Yang masih terjadi saat ini, “Peta yang dikeluarkan oleh [SKK] Migas pun sering tidak sama dengan peta dari Kementerian Lingkungan dan Kehutanan.”
Selain mempersingkat urusan administrasi yang memakan waktu mulai dari dua hari hingga dua tahun, Marjolijn juga mengkritisi Peraturan Pemerintah No.79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Menurutnya aturan tersebut perlu direvisi karena ada sejumlah ketentuan tidak sesuai dengan bunyi Kontrak Bagi Hasil (production sharing contract/PSC) yang sudah ditandatangani sebelum 2010. Artinya dalam hal itu terjadi pertentangan antara regulasi tersebut dengan kontrak yang sudah berjalan.
“Revisi ini juga diperlukan karena secara umum membuat pengaturan pengawasan pengeluaran uang menjadi tumpang tindih antara instansi yg satu dengan instansi yang lain,”lanjutnya.
Rupanya harapan publik terhadap perubahan regulasi tersebut sudah mendapat angin segar. Pasalnya revisi aturan tersebut sedang diselesaikan sebagaimana disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Menteri ESDM, Luhut Binsar Panjaitan (Kompas,Jumat, 26/9/2016, hal. 19).
Selama ini skema bagi hasil adalah 85 persen untuk negara dan sisanya untuk kontraktor. Hal ini terlihat kurang realistis mengingat besarnya risiko yang ditanggung. Sebagai contoh pada 2009-2013, delapan perusahaan migas melakukan eksplorasi di Selat Makassar dn Sulawesi dengan menelan dana investasi tak kurang dari Rp13 triliun. Namun, ekplorasi tersebut tak menghasilkan apa-apa.
Ada sejumlah skema bagi hasil yang bisa dipakai. Salah satunya dengan mengacu pada harga minyak atau disebut dengan sliding scale.Terlepas dari seperti apa skema terbaik yang ditawarkan, pada intinya aspek fleksibilitas itu perlu digarisbawahi.