Saat ini total cadangan minyak Indonesia yang sudah terbukti ada (proven) tersisa 3,6 miliar barel, cadangan yang mungkin ada (probable) 1,75 miliar barel, dan yang berupa potensi yakni 1,65 miliar barel . Bila semua tersebut benar-benar terbukti maka total aset migas kita 7 miliar barel (Kompas,Selasa, 16/8/2016, hal.41).
Angka tersebut jelas jauh dari kata cukup untuk kebutuhan migas dalam negeri yang terus meningkat. Selain itu upaya untuk mencapai angka kumulatif itu semakin penuh perjuangan mengingat sebagian besar potensi migas tersebut terdapat di lepas pantai atau laut dalam. Jelas biaya yang dikeluarkan untuk proyek tersebut jauh lebih besar ketimbang bila berada di daratan.
Seperti disampaikan Marjolijn saat dihubungi secara terpisah, wilayah potensial itu sebagian besar berada dalam cekungan laut dalam, selain di daratan, di wilayah timur Indonesia seperti Papua. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada harapan bagi kita untuk mengais potensi-potensi lain di wilayah timur.
Data berbeda disampaikan Yonvinter, dosen perikanan dan ilmu kelautan IPB Bogor dalam opininya berjudul “Ideologi Maritim” di Kompas,(Senin, 5/9/2016, hal.7). Menurutnya ada sekitar 60 cekungan yang berpotensi mengandung migas, 40 cekungan berada di lepas pantai, 14 di pesisir dan hanya 6 di daratan. Potensinya diperkirakan mencapai 11,3 miliar barel minyak bumi. Sementara potensi cadangan gas diprediksi berjumlah 101,7 triliun kaki kubik.
Terlepas dari benar tidaknya potensi tersebut-tentu saja masih harus dibuktikan lebih lanjut-, pernyataan Marjolijn dan Yonvinter setidaknya menunjukkan tantangan lain bahwa perlu perjuangan lebih untuk itu. Selain membutuhkan biaya besar, kondisi infrastruktur di daerah terutama Indonesia timur belum optimal menyokong industri hulu migas kita.
Namun demikian, situasi ini tidak membuat kita menyerah. Di satu sisi Pertamina selaku perusahaan negara gencar berburu migas ke luar negeri untuk menutup defisit migas dalam negeri. Selain ikhtiar mendapat nilai tambahan dari produk akhir dan meningkatkan pendapatan dari ekspor, Pertamina pun ber ambisi memasok kebutuhan migas domestik sebesar 2 juta barel setara minyak mentah per hari (BOEPD) pada 2025.
Belum lama ini perusahaan plat merah itu menandatangani nota kesepakatan dengan perusahaan minyak pemerintah Iran, National Iranian Oil Company (NIOC). Seturut kesepakatan tersebut Pertamina akan menjajaki kemungkinan menggarap dua ladang minyak yaitu di Ab-Teymour dan Mansuri (Kompas,Selasa 16/8/2016, hal.41).
Sebelum di Iran, Pertamina melalui Pertamina Internasional Ekplorasi dan Produksi (PIEP) sudah memiliki tiga aset yakni di Aljazair, Irak, serta Sabah dan Serawak di Malaysia. Pertamina mengutamakan ladang yang sudah produksi dan cadangannya cukup besar sebagai pelajaran dari upaya ekplorasi ladang minyak di Afrika dan Timur Tengah (Irak, Libya dan Sudan) yang tak berlangsung lama, sejak 1995-1996.
Pada titik ini tugas berat menanti SKK Migas dan pemerintah. Kita tidak bisa membiarkan KKKS terus menyusut jumlahnya hingga segenap potensi tersebut tinggal tetap. Langkah ini penting mengingat masih ada peluang untuk membangkitkan kembali investasi sektor tersebut.
Peran penting sektor ini bagi perekonomian negara masih dibutuhkan. Industri migas dengan investasi sekitar Rp300 triliun per tahun, tetap strategis sebagai salah satu lokomotif pembangunan. Sebagai industri padat modal, selain peluang mendatangkan devisa dan pendapatan bagi negara yang tak sedikit, juga mendatangkan multiplier effect yang panjang.