Menurut perkiraan, dengan tingkat konsumsi sekarang, cadangan yang ada bertahan tidak lebih dari 10 tahun ke depan. Namun perkiraan tersebut bisa meleset. Bila tidak segera diatasi, lampu merah krisis tersebut akan menyala lebih cepat mengingat konsumsi migas di Indonesia meningkat delapan persen pe tahun. Saat ini konsumsi migas per hari sekitar 1,6 juta barrel.
Kondisi tersebut tak hanya mengancam pasokan migas dalam negeri. Peran penting migas sebagai sumber pendapatan negara pun berada dalam ancaman. Sebagai contoh. Pendapatan negara dari sektor migas tahun 2015 sebesar 12,86 miliar dollar AS, lebih rendah dari target 14,99 miliar dollar AS. Penerimaan negara pada 2015 dari dana bagi hasil untuk wilayah produsen minyak pun menurun drastis, tepatnya separuh dari pendapatan pada 2014 sebesar Rp 42,91 triliun.
Saat ini produksi migas Indonesia bergantung pada 67 WK yang sudah pada fase produksi. Menurut Taslim, per Juni 2016, ada 289 WK di Indonesia, berkurang dari 312 KKKS tahun lalu. Saat ini sebanyak 85 WK akan dikembangkan dan tengah memasuki fase ekploitasi, sementara 204 WK masih dalam fase ekplorasi.
Marjolijn yang dihubungi terpisah mengatakan, sebagian besar peralatan untuk ekploitasi (produksi) yang beroperasi di sumur-sumur sejak tahun 1970 atau 1980-an membutuhkan perhatian ekstra.
“Sehingga untuk dapat meneruskan beroprasi dengan standard safety yang baik maka peralatan peralatan tersebut memerlukan pemeliharaan yang lebih baik, inspeksi yang lebih sering dan bahkan penggantian peralatan secara berkala. Dan hal itu meliputi peralatan sumur minyak/gas , pemipaan untuk transfer minyak 7 gas serta peralatan pengolahan minyak dan gas nya,”tutur wanita yang berasal dari latar belakang keluarga yang bergelut di bidang perminyakan itu.
PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), PT Pertamina EP, Total E&P Indonesia, Vico Indonesia, dan PT Medco E&P Blok Rimau (Sumatera Selatan), lima dari 15 KKKS utama di Indonesia mengakui adanya penurunan produksi.
“Sumur pengembangan yang semula direncanakan 120 sumur dikurangi menjadi 80 sumur,”lanjut bos CPI yang memproduksi minyak di Lapangan Duri, Riau itu.
Selain itu, turunya harga minyak dunia membuat produksi migas pun setali tiga uang. Seperti disampaikan Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi dalam rapat dengar pendapat Komisi VII DPR dengan pejabat SKK Migas dan KKKS, Senin (5/9/2016) seperti dilaporkan Kompas,harga minyak dunia yang masih menginjak angka 40 hingga 50 dollar AS per barrel membuat KKKS sengaja mengurangi kegiatan produksi dengan alasan keekonomian.