Kurang lebih senada dilaporkan Kompas,Kamis 18 Agustus 2016 di halaman 12. Sekitar 20 persen dari 1.500-an arsip film nasional yang dikoleksi Sinematek Indonesia dalam kondisi kritis. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi gudang penyimpanan yang jauh dari layak. Pendingin ruangan yang tak berjalan baik, ruangan yang bocor dan keterbatasan anggaran menyatu di gedung berlantai lima beralamat Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan itu.
Misbach Yusa Biran yang berjasa besar dalam dokumentasi hingga berdirinya Sinematek sudah jauh-jauh hari mengisyaratkan hal itu. Entah apa alasannya hingga kondisinya semakin memprihatinkan. Setelah Misbach meninggal, keprihatinan itu rasanya semakin tebal.
Situasi seperti ini tak hanya mengancam eksistensi aset sejarah yang ada di Sinematek, juga mengancam aset-aset lainnya yang kini banyak tersebar di sejumlah negara. Sejumlah sutradara dan produser lebih memilih menyimpan master film mereka di luar negeri karena lebih aman dan mendapat banyak fasilitas.
“Semua (master) film saya disimpan di Fukuoka, Jepang. Hanya beberapa film yang disimpan di Sinematek,”timpal Mira Lesmana, produser film kondang lainnya.
Situasi tersebut tentu sungguh disayangkan. Kita kehilangan begitu banyak karya seni budaya, dan karya kreatif, yang seyogyanya menjadi warisan, rujukan, modal intlektual serta dasar pengembangan budaya masa depan, yang tak ternilai harganya.
Lantas, sampai kapan situasi ini terus berlanjut? Sinematek membutuhkan perhatian. Dunia pengarsipan film kita perlu pembenahan. Jasa besar Yusa Biran sudah mewujud Sinematek dan dokumentasi yang sudah ada dan kini terancam keberadaannya, membutuhkan uluran tangan kita. Tak hanya insan film, pemerintah, swasta dan masyarakat luas pun perlu bergerak serentak.
Selama ini film masih menjadi dunia sepi, kerja segelintir orang dan hunian elitis yang dipandang sebelah mata. Film belum dianggap sebagai kerja budaya, kerja bersama untuk menimbun harta karun budaya yang bernilai tinggi.
Sesuai amanat UU Perfilman No.33 Tahun 2019, belum lama ini, pemerintah melalui Pusat Pengembangan Perfilman Nasional Kemendikbud telah menyusun Peraturan Mendikbud tentang Pengarsipan Perfilman. Namun seperti nasib kebanyakan regulasi di tanah air kita: tak berfaedah. Sehingga butuh keteladanan dan kerja nyata untuk membenahi sinematek, menata kembali arsip film, dan membangun industri film tanah air.
Restorasi Tiga Dara sekiranya menjadi momentum untuk kerja penting itu. Dan lebih dari itu, turut merestorasi sikap dan pandangan kita terhadap film sebagai aset berharga.