Pekan Olahraga Nasional (PON)XIX yang akan dihelat di Jawa Barat tinggal dalam hitungan hari. Tak kurang dari seminggu lebih, 34 provinsi di Indonesia akan unjuk kebolehan dalam 44 cabang olahraga di 68 arena yang tersebar di 16 kabupaten/kota di Jawa Barat, terhitung sejak 17-29 September nanti.
Pertanyaan kini, apakah setiap daerah sudah siap “berpesta” merebut medali? Sudah siapkah tuan rumah menjamu dan menyelenggarakan pesta tersebut? Akankah pesta itu bakal meninggalkan faedah bagi setiap peserta?
Laporan di halaman depan harian Kompas, Senin 5 September kemarin mengguratkan kecemasan. Betapa tidak, tuan rumah masih berpacu dengan waktu menyelesaikan pembangunan sejumlah arena, melengkapi sejumlah fasilitas dan memenuhi peralatan yang dibutuhkan.
Baru persiapan cabang angkat besi/angkat berat, balap sepeda dan tenis meja yang mendekati 100 persen. Selebihnya masih berkutat dengan aneka kekurangan di sana sini.
Tribun penonton, sarana penerangan (listrik), penyempurnaan kolam untuk cabang polo air yang akan dihelat di Kompleks Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung masih dikebut. Persiapan fasilitas cabang ini terbilang paling lambat, dengan tingkat kekurangan paling tinggi.
Pengeringan trek atletik dan pagar pembatas tribun penonton untuk cabang sepak bola di Stadion Patriot Chandrabaga sedang dikejar. Cabang bulu tangkis: karpet arena, pendingin ruangan dan ruang medis belum siap.
Selain itu, akses tol untuk mengurai kemacetan dari dan menuju Stadion Si Jalak Harupat, baru menginjak 60-70 persen. Kondisi terkini masih berupa tanah dan pengerasan sehingga besar kemungkinan tak akan selesai pada waktunya.
Dalam kondisi seperti itu jelas mempengaruhi persiapan para atlet sebelum tampil di hari H. Persiapan yang tak optimal membuat test eventatau uji coba pertandingan dan arena PON tak bisa dilakukan secara maksimal. Dampaknya, pertandingan dan pencapaian prestasi atlet pun jadi tak optimal.
Kondisi ini jauh dari harapan untuk sebuah pesta olahraga terakbar di tanah air. Idealnya, arena dan perlengkapan pertandingan sudah siap beberapa bulan sebelumnya agar bisa digunakan untuk uji coba. Selain mempengaruhi pencapaian prestasi atlet, test event penting untuk mendapatkan gambaran jelas terkait kondisi arena dan jalannya pertandingan.
Bila ditemukan kekurangan, kerusakan atau kelemahan bisa segera dibenahi. Bila sampai tak dilakukan uji coba atau tes arena, ataupun dilakukan namun tak maksimal, maka tugas penting penyelenggara adalah benar-benar memastikan tak akan ada gangguan saat hari perlombaan tiba. Dalam situasi terjepit seperti ini apakah penyelenggara sanggup memikul tanggung jawab ganda?
Lagu lama
Kita tentu menyayangkan persiapan terburu-buru seperti ini. Padahal tuan rumah PON 2016 sudah ditetapkan sejak enam tahun silam, atau tahun 2010 lalu. Apakah rentang waktu persiapan tersebut terlalu singkat untuk perbaikan dan pembangunan arena serta persiapan peralatan pertandingan?
Masih dari sumber yang sama, Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi mengaku molornya persiapan terkendala pencairan anggaran. Diketahui anggaran pembangunan sembilan arena baru dari 68 arena yang dibutuhkan, perlengkapan serta sarana pendukung-di antaranya jalan menuju arena sebesar Rp700 miliar-menelan anggaran sebesar Rp2,3 triliun. Sebanyak 14 persen dari total anggaran tersebut berasal dari pemerintah pusat dan Provinsi Jawa Barat, sementara selebihnya dari swasta.
Pertanyaan, apa sebab anggaran terlambat dicairkan? Apakah anggaran tersebut terlalu sedikit untuk 44 cabang olahraga yang diikuti oleh lebih dari delapan ribu atlet dari seluruh nusantara? Atau, sedemikian rumitnyakah birokrasi pemerintah kita? Jangan-jangan ada persoalan terkait koordinasi dan kerja sama antarpihak?
Dengan tanpa perlu menyelisik lebih dalam, kenyataan seperti ini mudah membawa kita pada ingatan umum. Bukan baru pertama hal seperti itu terjadi. Sudah menjadi rahasia umum persiapan pertandingan event olahraga dalam negeri selalu dikejar waktu.
Di sisi lain, kondisi seperti itu mudah mengantar kita ke sejumlah kasus korupsi pembangunan infrastruktur olahraga yang terjadi silih berganti. Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang adalahi salah satu saksi bisu proyek negara yang mangkrak karena dana negara dikorupsi Rp464,6 miliar. Kasus itu melibatkan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, eks Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, serta Direktur Utama PT Dutasari Citra Laras Machfud Suroso.
Pembangunan arena PON Riau 2012 pun ternoda korupsi yang melibatkan mantan Gubernur Riau Rusli Zainal dan 10 anggota DPR Riau. Terkini, tercium dugaan korupsi pembangunan Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) sebagai salah satu venue PON Jawa Barat.
Dugaan itu tengah didalami Badan Reserse Kriminal Polri dan telah memeriksa sekitar 80 orang termasuk saksi Gubernur Jabar Ahmad Heryawan dan eks Wali Kota Bandung Dada Rosada.
“Kami masih menunggu hasil perhitungan kerugian negara dalam kasus korupsi GBLA atas tersangka Yayat Ahmad Sudrajat (mantan Sekretaris Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung). Jika sudah ditemukan total kerugian negara, berkas penyidikan segera dilimpahkan ke kejaksaan,”tandas Direktur Tindak Pidana Korupsi barekskrim Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Wiyagus (Kompas,Rabu 7 September 2016, hal1.)
Bila sampai PON Jabar ternoda korupsi maka lengkaplah kisah buruk penyelenggaraan olahraga di Indonesia. Di atas segalanya, kondisi ini mempertegas buruknya investasi dan pembangunan olahraga di tanah air. Ketidakmerataan dan ketidaklengkapan sarana prasarana di satu sisi, serta program pembangunan setengah hati-karena selebihnya masuk kantong pribadi, di sisi lain.
Dalam kisah buruk seperti itu sulit kita mengharapkan prestasi maksimal dari para atlet. Tak perlu kita menaruh harapan tinggi pada terciptanya rekor-rekor mencengangkan. Sehingga perhelatan seperti itu tak lebih dari rutinitas belaka.
Program olahraga yang tak berkesinambungan membuat arena olahraga pun mubazir setelah event digelar seperti yang kini terjadi di arena cabang menembak dan stadion utama bekas PON Riau. Proyek yang dikorupsi diperparah dengan pemeliharaan serta penggunaan yang tak berkesinambungan sehingga anggaran Rp40 miliar untuk arena menembak dan Rp1,18 triliun untuk stadion utama, menguap sia-sia.
Selain regulasi yang jelas dan aparatus yang kredibel, road mappembangunan olahraga Indonesia perlu disusun secara jelas. Target yang dicapai perlu didukung dengan langkah-langkah strategis yang terukur sehingga mudah dievaluasi. Dalam kaitan dengan PON perlu dipikirkan matang-matang jumlah cabang olahraga yang dipertandingkan.
Hal tersebut penting untuk menjamin kesinambungan prestasi dan penggunaan sarana yang telah dibangun. Jangan sampai cabang olahraga dengan mudah diperbanyak atau diubah-ubah di setiap penyelenggaraan pekan olahraga empat tahunan itu dengan tanpa memperhitungkan jenjang prestasi, animo pembinaan dan keberlanjutan fungsi fasilitas.
Alangkah baik cabang olahraga yang dipertandingkan mengikuti atau tak berlebihan dari yang dipertandingkan di Olimpiade yang merupakan kiblat prestasi setiap atlet dunia. Acuan tersebut mempermudah setiap daerah membuat persiapan, baik untuk jenjang regenerasi, kelengkapan sarana-prasarana serta kebijakan dan regulasi yang jelas.
Bila tidak dilakukan secara terencana dan terukur maka perkembangan olahraga di tanah air akan tetap jalan di tempat. Penyelenggaraan setiap PON tak lebih dari ritus tanpa makna karena tak lebih dari hura-hura mengejar bonus sesaat dan nama besar semu, dan laku olahraga yang menjemukkan karena selalu memperdengarkan lagu lama: jual beli pemain, korupsi, dan mubazir .
Akankah lagu lama itu kan terdengar lagi di Bumi Parahyangan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H