Untuk mengatasi tantangan tersebut, Bappenas mengedepankan sikap persuasif dan dialogal demi memastikan perencanaan daerah tak melenceng dari kebijakan nasional dengan tanpa membuat kepala daerah terpaksa melanggar janji kepala rakyatnya.
Wacana restorasi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) mulai menghangat, terutama di kalangan Majelis Permusawaratan Rakyat (MPR) . Terlepas dari intensi dasar yang hendak dituju MPR, menurut Yudi Latif (bdk.Kompas,Selasa, 30 Agustus 2016, hal.6), restorasi tersebut harus dilakukan secara hati-hati. Pertama-tama perlu diperjelas apa yang dimaksud dengan “Haluan Negara” itu.
Menurut penggiat aliansi kebangsaan itu, hal tersebut perlu untuk membedakan Haluan Negara yang bersifat direktif dari Pancasila yang mengandung prinsip-prinsip filosofis serta Konstitusi yang memuat prinsip-prinsip normatif. “Nilai-nilai filosofis Pancasila bersifat abstark. Pasal-pasal konstituasi juga kebanyakan mengandung norma-norma besar yang tidak memberikan arahan bagaimana cara melembagakannya.”
Menurutnya, GBHN harus terpisah dari konstitusi dan berada di atas UU, dan mengandung tuntutan yang bersifat ideologis (berisi prinsip-prinsip fundamental sebagai kaidah) dan strategis-teknokratis. Sacara strategis “ berisi pola perencanaan pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan terpimpin dalam jangka panjang secara bertahap dan berkseinambugan dengan memperhatikan prioritas bidang dan ruang (wilayah).”
Yudi memberi contoh. Pada masa Orde Baru, haluan ideologis itu bernama kaidah penuntun. Sementara haluan strategis diberi nama Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang diturunkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Pertanyaan, apakah Haluan Negara itu masih aktual hingga kini? Yudi memberi kritik, GBHN Orde Baru sangat pendek dan normatif sebagai perencanaan pembangunan. Sementara Bambang Brodjnegoro, menilai Haluan Negara tersebut tak bisa ditelan “bulat-bulat.”
Menurut Bambang GBHN itu mirip, tetapi tak serupa, dengan Rencana Pemerintah Jangka Panjang (RPJP) yang saat ini disebut RPJP 2005-2025. RPJP penting sebagai penuntun (guidance) bagi setiap pemerintahan yang datang dan pergi dalam tempo lima tahun, atau paling banter satu dekade.
“Asumsi sekarang pemerintah lima tahun atau sepuluh tahun, dan dalam 25 tahun itu ada beberapa pemerintah?”tanyanya retoris.
Dengan RPJP itu, Bappenas akan mengawal dan mengarahkan pemerintah agar tak hanya fokus dengan masa pemerintahan lima tahun saja, tetapi harus sinergis dengan rencana pembangunan jangka panjang. Bila tidak, maka pemerintahan yang berorientasi lima tahunan bisa membuat gerak bangsa tetap di tempat.
Bambang memberi contoh menarik. Di masa awal Orde Baru, Indonesia masuk golongan miskin. Pada periode 1990, “booming” minyak dan gas bumi, kayu dan industri manufaktur, sempat membuat Indonesia berjaya. Indonesia pun naik kelas dari kelompok negara miskin atau low income classke lower middle class(kelas menengah bawah).