Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengawinkan Jumlah dan Mutu ala Sri Mulyani

1 September 2016   20:36 Diperbarui: 1 September 2016   22:31 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menkeu Sri Mulyani/Fabian Januarius Kuwado/Kompas.com.

Popcon atau Popular Culture Convention Asia yang dihelat pada 12-14 Agustus lalu di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan menampilkan salah satu rupa kaum muda saat ini. Di festival industri kreatif itu orang-orang muda kita berkumpul dan tampil ke panggung internasional sebagai penggerak industri kreatif. Dalam usia yang masi mudah mereka sudah menyandang status CEO (chief executive officer), owner (pemilik) atau founder (pendiri) untuk berbagai produk kreatif yang telah menembus pasar global.

Beberapa contoh bisa disebut. Ada Win Rico, pemuda 31 tahun yang kini berpenghasilan sekitar 4.000 dollar dari pekerjaannya sebagai desainer kaus dan kini memiliki clothing line sendiri. Ada juga Prayoga Danu Wirahadi (28), satu dari lima pendiri Red Sugar Studio yang telah menghasilkan aneka rupa grafis dua dimensi dengan mayoritas klien dari mancanegara seperti Amerika Serikat dan Singapura.

Lain lagi dengan Evan Raditya Pratomo (26)  yang tengah membangun perusahaan sendiri di dunia ilustrasi. Pemuda asal Malang, Jawa Timur itu baru saja pulang dari Selandia Baru, melihat lokasi pengambilan gambar sebuah film Hollywood. Evan diminta membuat gambar untuk promosi film yang dibintangi penyanyi dan aktris cantik asal Amerika Serikat, Scarlett Johansson.

Dalam konteks berbeda, ada kakak beradik asal Salatiga, Jawa Tengah, Arfi’an Afandi (30) dan M Arie Kurniawan (25) yang bergelut di dunia desain rekayasa. Arfi’an mendapat pesanan mendesain pesawat ringan dari sebuah perusahaan di Amerika Serikat. Bersama sang adik pernah memenangkan kompetisi desain tiga dimensi yang diselenggarakan oleh perusahaan raksasa, General Electric dan GrabCAD pada 2014 lalu.

Sebelum itu ada Asadullohil Ghalib Kubat (25) yang sukses memenangi perlombaam pembuatan permainan elektronik interaktif Imagine Cup oleh Microsoft pada 2013.

Sebelum “booming” Pokemon Go, Edwin Viriya (27) bersama adiknya Jefvin Viriya (21) telah leih dulu membuat orang-orang tergila-gila dengan permainan Tahu Bulat. Permainan gratis di Google Play Store itu telah diunduh 2,5 juta kali pada Juni lalu dan menjadi satu-satunya game Indonesia yang menembus 10 besar game terlaris.

Seakan tak habis-habisnya melahirkan sosok kreatif, belum lama ini Gilang Bogy Indiana Saputra (22) dengan caranya ikut meramaikan ajang Piala Eropa yang baru saja berakhir di Prancis. Gambar digital wajah pemain timnas sepakbola Jerman yang dikreasi pemuda asal Karanganyar, Jawa Tengah menghiasi produk minuman Coca Cola untuk edisi spesial tersebut.

Masih ada sineas muda Wregas Bhanuteja (23) yang mencuri perhatian di Festival de Cannes di Prancis lewat film pendeknya Prenjak. Film tersebut menjadi pemenang kategori film pendek dalam ajang Semaine de la Critique yang merupakan bagian dari festival film paling bergengsi di dunia itu.

Wregas Bhanuteja (tengah) bersama para pemeran utama film Prenjak saat Konferensi pers film Prenjak di XXI Plaza Senayan, Jumat (27/5/2016)/gambar dari Kompas.com.
Wregas Bhanuteja (tengah) bersama para pemeran utama film Prenjak saat Konferensi pers film Prenjak di XXI Plaza Senayan, Jumat (27/5/2016)/gambar dari Kompas.com.
Di dunia musik kita dikejutkan dengan bakat luar biasa Joey Alexander (12) yang menjadi musisi pertama Indonesia yang menjadi nomine Gramy Awards. Tak ketinggalan ada Canho Pasirua (11) pianis asal Ende, Nusa Tenggara Timur yang baru saja meraih lima medali emas dalam Kejuaraan Dunia Seni Pertunjukan atau “World Championship Perfoming Arts 2016” (WCOPA) 2016 di Long Beach-California As, Juli lalu serta Eunike Setiadarma (15), jawara Junior Instrumentalist World Champion 2016.

Melihat mereka kita seperti melihat dua sisi dari kaum muda saat ini. Nama-nama tersebut adalah sebagian kecil dari kelompok besar kaum muda kreatif dan berprestasi. Selain bakat lahiriah, kemajuan teknologi dan kerja keras membuat mereka berkembang dan melambung hingga ke mancanegara.

Di sisi lain mereka adalah bagian kecil dari kelompok besar kaum muda Indonesia yang tengah mencari jati diri dan berjuang keluar dari kematian daya kreativitas. Mereka tenggelam dalam gelombang besar pengangguran dan terjerembab dalam angka putus sekolah yang tinggi.

Terhadap dua tantangan itu kita pun bisa mereka-reka seperti apa rupa Indonesia di masa datang. Apakah Indonesia akan disarati generasi kreatif dan berprestasi? Atau dipadati kelombok putus asa yang hanyut dalam gelombang pengangguran dan putus sekolah, mengganjal Indonesia untuk naik dari bangsa kelas berkembang, atau malah semakin terbelakang?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin penting bila kita berhadapan dengan ramalan demografi beberapa tahun ke depan. Menurut perhitungan para ahli, pada tahun 2020 hingga 2030 Indonesia akan mendapat berkah berupa jumlah penduduk usia produktif yang besar, sekitar 2/3 dari total penduduk. Jumlah penduduk produktif berusia 15-64 tahun melimpah. Kelompok tersebut jauh mendominasi jumlah penduduk tak produktif dalam rentang 0-14 tahun dan 65 tahun ke atas.

Dengan menggunakan parameter Dependency Ratio atau rasio ketergantungan, pada saat itu angka ketergantungan penduduk tidak produktif terhadap penduduk produktif semakin kecil. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), diprediksi mencapai 44. Artinya dalam setiap 100 penduduk usia produktif hanya menanggung beban sekitar 44 penduduk tidak produktif.

Angka beban ketergantungan diketahui semakin kecil dari tahun ke tahun seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Pada 2010 dependency ratiosebesar 50,5 persen, lantas menurun menjadi 48,6 persen pada 2015 dan puncaknya pada satu dekade antara 2020 hingga 2030 saat mencapai titik terendah. Masa penuh berkah itu yang kita sebut bonus demografi atau keuntungan demografi.

Contoh sederhana diutarakan Sri Moertiningsih Adioetomo, guru besar Ekonomi Kependudukan Universitas Indonesia. “Artinya, sebuah rumah dengan jumlah empat orang, sebanyak tiga bekerja dan satu yang ditanggung. Bandingkan tahun 1970, di mana satu orang bekerja untuk menanggung satu orang," tuturnya seperti dikutip dari tirto.id, Senin (27/6/2016).

Negara mana yang tak senang dengan melimpahnya penduduk produktif yang bisa mengisi pos-pos penting untuk membangun negeri? Negara mana yang tak bahagia melihat jumlah penduduknya dikuasai tenaga-tenaga muda ketimbang kelompok masyarakat renta yang tak bisa berbuat apa-apa?

Kepala Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) Prof. Dr. Bambang P. S. Brodjonegoro saat nangkring bersama Kompasiana pada Senin, 29 Agustus lalu di Jakarta mengakui hal itu.

Berbeda dengan Indonesia, menurut sosok yang baru saja dirotasi dari jabatan sebelumnya sebagai menteri keuangan, pada tahun-tahun tersebut negara-negara maju seperti Jepang akan mengalami krisis tenaga produktif. Angka kelahiran yang negatif menyebabkan komposisi penduduk bakal dikuasai kelompok tak produktif. Akibatnya beban negara semakin besar karena harus menanggung hajat hidup penduduknya yang sebagian besar sudah melewati masa produktif.

Gambar dari fernandoprabawa.blogspot.co.id/
Gambar dari fernandoprabawa.blogspot.co.id/
Kita bisa membayangkan seperti apa nasib sektor-sektor utama di negara-negara maju itu. Selalu menggantungkan harapan pada sektor industri dan teknologi, ketiadaan tenaga-tenaga muda bakal mendatangkan masalah.  Siapa bakal mengoperasikan mesin-mesin industri, mengisi ruang penelitian dan inovasi, serta mengisi pos-pos publik?

Membayangkan negara sekelas Jepang bakal mengalami kemunduran, apalagi chaos karena defisit tenaga, tampak terlalu berlebihan. Apa yang sudah mereka lakukan sekarang, dan bakal semakin giat ke depan, melalui digitalisasi dan mesinisasi atau mekanisasi hampir di semua sektor adalah cermin kemajuan sekaligus persiapan untuk menghadapi kelangkaan tenaga manusia.

Inovasi dan temuan-temuan teknologi mutakhir yang terus bermunculan di antaranya melalui robot-robot pintar, perlahan tetapi pasti, disiapkan untuk mengganti tenaga manusia. Bisa jadi, saat itu, yang bakal mengendalikan industri dan mengoperasikan alat-alat produksi adalah manusia-manusia mesin itu.

Indonesia tidak perlu berfantasi menjadi seperti Jepang saat itu. Justru, kehadiran tenaga-tenaga produktif menjadi kesempatan untuk mendongkrak ekonomi, menggelinding sektor industri, dan membawa Indonesia semakin maju dengan mengandalkan manusia-manusia real yang bisa berpikir dan merasa dengan sama baiknya sebagai kemewahan yang tak dimiliki robot secanggih apapun. Bila perlu kelebihan penduduk produktif yang kita miliki menjadi jualan untuk berkarir di mancanegara. Tentu tak sebagai buruh murah, tetapi tenaga profesional yang berkualitas.  

Tabel rasio ketergatungan yang mencapai titik terendah pada tahun 2030/gambar dari indonesiana.tempo.co.
Tabel rasio ketergatungan yang mencapai titik terendah pada tahun 2030/gambar dari indonesiana.tempo.co.
Kualitas vs kuantitas

Namun apalah arti tenaga muda yang berlimpah bila tak sanggup berbuat apa-apa? Bonus penduduk tak banyak berarti bila hanya sekadar banyak dalam jumlah, namun rendah dalam kualitas. Bila yang mendominasi adalah kuantitas ketimbang kualitas, maka Indonesia bukannya menikmati bonus tersebut dengan keberhasilan gilang gemilang, tetapi labirin prahara yang semakin rumpil rumit.

Kita bisa membayangkan apa yang terjadi bila kelompok usia produktif itu tak bisa berkreasi karena ketiadaan kompetensi dan daya kreasi. Kita bisa membayangkan seperti apa rupa negeri ini bila mayoritas usia kerja itu hanya menjadi pengangguran atau buruh kasar yang diupah murah. Alih-alih berkontribusi, mereka malah membebankan negara dengan persoalan yang merembet ke segala lini.

Sadar atau tidak saat ini sejumlah provinsi sesungguhnya telah mendapat bonus demografi, bahkan sejak enam tahun lalu. DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur dan Kepulauan Riau memiliki rasio ketergantungan yang rendah, malah di bawah prediksi angka ratio ketergantungan yang akan dialami Indonesia beberapa tahun mendatang. Provinsi-provinsi tersebut memiliki angkat rasio ketergantungan di bawah 45.

Namun, pertanyaannya apakah daerah-daerah tersebut telah menikmati bonus demografi? Apakah penduduk usia produktif yang dominan sudah mendapatkan pekerjaan yang layak, hidup sejahtera dan telah berkontribusi menopang kelompok tidak produktif? Sudahkan 100 penduduk usia produktif menanggung beban dari sekitar 45 penduduk tak produktif?

Tak jauh berbeda, malah setali tiga uang dengan derah-daerah lain. Angka pengangguran, dan kualitas hidup penduduk di daerah tersebut tidak berkembang istimewa, malah jurang ketimpangan semakin parah. Daerah-daerah itu sama sekali tak merasakan bonus penduduk, tetapi turut melengkapi angka pengangguran di Indonesia yang masih saja tinggi.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta, bertambah sebesar 320 ribu orang dibanding periode sebelumnya. Angka tersebut selaras dengan laporan Institute for Development of Economic and Finance(INDEF) bahwa pada semester pertama tahun itu, angka penangguran mencapai 7,5 persen. Berdasarkan telaah INDEF, menurunnya pertumbuhan ekonomi, tingginya tingkat inflasi pada bahan makanan dan kegagalan pemerintah menjaga daya beli masyarakat, berkontribusi pada peningkatan angka pengangguran itu.

Data angkatan kerja, penduduk bekerja dan pengangguran/gambar dari beritagar.id.
Data angkatan kerja, penduduk bekerja dan pengangguran/gambar dari beritagar.id.
Kesulitan menurunkan angka pengangguran sedikit banyak berimplikasi pada kondisi riil Indonesia yang tercermin dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. IPM tahun 2015-yang digagas PBB untuk mengukur mutu manusia berdasarkan kemampuan berusia panjang dan sehat, berpengetahuan dan hidup layak-menempatkan kita di belakang sejumlah negara ASEAN dan Pasifik Barat. Indonesia berada di urutan 110 dari 188 negara, kalah bersaing dengan Thailand (93), Tiongkok (90), Malaysia (62), dan Singapura (11) (Kompas,Sabtu 27 Agustus 2016, hal.14).

Data tersebut bisa dielaborasi. Masih menurut sumber yang sama, angka harapan hidup saat lahir manusia Indonesia menunjukkan tren positif (terus naik), namun angka kematian anak dan balita tinggi. Gizi buruk membuat lebih dari sepertiga anak balita mengalami stunting, atau bertubuh lebih pendek dari biasanya. Dampaknya, genetika berubah, pertumbuhan otak terganggu dan sistem metabolisme tubuh berubah.

Kurangnya asupan gizi, pernikahan dini dan buruknya sanitasi melatari gizi buruk penduduk Indonesia. Situasi ini menjadi ancaman serius karena semakin banyak penduduk usia produktif mengalami penyakit degeneratif seperti jantung, stroke, dan diabetes maka ongkos kesehatan baik yang harus ditanggung masyarakat maupun negara akan semakin tinggi. Hitung saja berapa banyak kerugian yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) saat ini.

Selain itu mutu pendidikan Indonesia memprihatinkan. Berdasarkan laporan Programme International of Student Assessment 2012 di 65 negara, 85 persen anak Indonesia usia 15 tahun hanya mampu berpikir di tingkat rendah dan amat rendah yakni menghafal.

Anak yang hanya mampu menghafal akan mengalami keterbatasan dalam menganalisis dan memahami konsep, termasuk menguasai pelajaran sains dan Matematika. Eksesnya mereka sulit mengaplikasikan pelajaran di sekolah-sekolah. Jangan berharap lebih pada anak seperti ini untuk kreatif berinovasi dan berkreasi.

Keterbatasan infrastruktur dan akses terhadap sarana-sarana vital seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi masih menjadi mimpi buruk sebagian besar masyarakat Indonesia. Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia tak memburuk, untuk mengatakan pada posisi wajar, kue pembangunan masih menjadi milik kalangan tertentu. Ironisnya, pendapatan nasional bruto per kapita yang terus membaik,  namun jurang kesenjangan kian lebar.

Rasio gini Indonesia pada 1980-1996 berada di angka 0,32-0,35, lebih baik dari 2007-2013 sebesar 0,35-0,41. Artinya, sentralisasi aset dan sumber-sumber ekonomi semakin kuat. Yang kaya semakin kaya, sementara kaum misik semakin terjerembab. Dapatkan kita berharap Indonesia mampu melangkah maju bila kondisi seperti ini masih saja terjadi?

Prioritas ala Sri Mulyani

Menyadari potensi bonus demokrasi di tengah lilitan persoalan multidimensional, lantas tak membuat kita berpangku tangan, apalagi pasrah pada nasib. Kita perlu berkejaran dengan waktu untuk serius berbenah dan menyiapkan diri.

Patut diakui kita terlambat menyiapkan diri. Baru pada masa Presiden Joko Widodo, pemerintah memasukan bonus demografi berikut kerangka pelaksanaan secara jelas ke dalam Rencana Jangka Panjang Menengah Nasional 2015-2015. Sebelum itu kita tenggelam dalam proyeksi tanpa mengambil sikap strategis.

Walau terlambat masih ada kesempatan bersiap diri. Berbagai persiapan tersebut antara lain meningkatkan mutu pendidikan, kesiapan tenaga kerja, kualitas kesehatan, kebijakan ekonomi untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan membuka iklim investasi serta mengontrol angka kelahiran. Memperluas akses terhadap pendidikan dan ketersediaan sarana-prasarana, termasuk tenaga pendidik, menjadi salah satu cara untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, terutama pada calon penduduk usia produktif yakni umur 16-18 dan 19-24 tahun.

Selain itu, kurikulum pendidikan perlu diperhatikan. Berkaca pada laporan Programme International of Student Assessment 2012, anak-anak perlu dipersiapkan dengan kecakapan analitis dan konsepsional. Di jaman ketika teknologi adalah raja, maka penguasaan mata pelajaran sains dan matematika perlu ditekankan. Hal penting lainnya adalah melengkapi anak dengan keterampilan teknis dan mempebanyak pendidikan kejuruan demi mempersiapkan tenaga-tenaga terampil.

Di sektor kesehatan, meningkatkan gizi penduduk pada penduduk usia 0-18 tahun, memperbaiki sanitasi, dan menyediakan layanan kesehatan yang memadai penting dilakukan. Kesehatan merupakan faktor penting untuk mendukung angkatan kerja agar bebas penyakit.

Tak kalah penting adalah menjaga angka kelahiran agar tetap berada pada batas normal. Kita tak boleh lengah dengan hal yang satu ini bila ingin menjaga beban ketergantungan tetap rendah. Jangan sampai konsentrasi dan anggaran untuk meningkatkan pendidikan dan kecukupan gizi serta persiapan angkatan kerja terbagi. Program BKKBN tentang Generasi Berencana (GenRe) perlu terus digalakkan untuk mengarahkan kaum muda agar berpendidikan, berkarir dan menikah secara terencana.

Menyambut bonus demografi yang sudah di depan mata akhirnya membutuhkan strategi khusus. Selain pola pembangunan yang bersifat holistik, menetapkan prioritas pembangunan adalah penting. Hal tersebut urgen untuk menyelesaikan masalah jangka pendek sekaligus meletakkan fondasi jangka menengah-panjang.

Dalam wawancara dengan harian Kompas (Jumat, 19 Agustus 2016 hal.15) tak lama setelah menjabat Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pentingnya hal tersebut. Pembangunan infrastruktur, perlindungan terhadap rakyat miskin dan mengurangi kesenjangan adalah tiga prioritas yang perlu diselesaikan segera.

“Indonesia tidak akan menjadi negara berkembang yang kemudian masuk ke negara menengah, bahkan atas, kalau daya beli masyarakatnya tidak baik. Untuk memiliki populasi yang besar tetapi punya daya beli, kita harus melihat dua hal, kemiskinan dan kesenjangan. Bisa saja negara mempunyai populasi 300 juta orang, tetapi yang kaya 1 persen, yang lain miskin. Sekarang banyak negara seperti itu,”urai mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Lanjut Sri Mulyani, bila kesenjangan semakin tinggi akan menjadi kontraproduktif dengan masa depan negara karena akan melahirkan banyak persoalan. Menurutnya rasio gini di Indonesia bukan yang terburuk, tetapi menunjukkan tren memburuk. Karena itu perlu segera dicegah.

Langkah yang ditempuh untuk menggulirkan tiga prioritas di atas adalah memerangi kemiskinan dan ketimpangan dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. “Ini bukan konsep mengambil kekayaan orang kaya untuk didistribusikan ke orang miskin. Bukan populis- destruktif, melainkan populis konstruktif dan produktif,”lanjutnya.

Menkeu Sri Mulyani/Fabian Januarius Kuwado/Kompas.com.
Menkeu Sri Mulyani/Fabian Januarius Kuwado/Kompas.com.
Namun demikian penggunaan APBN tidak dilakukan secara serampangan. “APBN difokuskan untuk melindungi yang paling miskin. Sasarannya 40 persen penduduk terbawah secara ekonomi. Indonesia punya banyak skema untuk itu, mulai subsidi langsung sampai beras untuk rumah tangga miskin. Juga melalui layanan dasar pemerintah, seperti kesehatan dan pendidikan.

Bahkan, sampai yang detail, seperti persoalan tubuh pendek, kurang gizi, angka kematian bayi, dan angka kematian ibu melahirkan. Ini titik intervensi yang sangat penting bagi masyarakat, terutama (masyarakat) paling bawah. Kalau kelas menang-atas mereka bisa melindungi diri untuk urusan dasar ini.”urainya.

Tarif pajak progresif dan pengampunan pajak (tax amnesty) adalah instrumen yang digunakan dalam rangka mengatasi kesenjangan. Menurut wanita kelahiran Bandar Lampung, 54 tahun lalu, bila program tax amnestyberjalan baik maka dapat mengurangi kesenjangan.

“Infrastruktur adalah hal paling kritikal. Pembangunan infrastruktur bertujuan agar masalah infrastruktur tak lagi jadi penghalang untuk mewujudkan kegiatan ekonomi maupun mengatasi kemiskinan,”tegasnya.

Kini kita menanti aplikasi dari strategi yang keluar dari mulut Sri Mulyani. Harapan kita persoalan mendasar itu perlahan terurai dan terselesaikan sebagai persiapan untuk merayakan datangnya bonus demografi. Jangan sampai  berkah penduduk itu sia-sia. Malah memperburuk keadaan mengingat setelah tahun 2030 rasio ketergantungan bergerak ke arah sebaliknya karena jumlah lansia meningkat. 

Sebagai penutup kita perlu belajar dari riwayat Gajah Mada, patih Majapahit yang gagah perkasa. Selama 33 tahun menjadi patih dari 45 tahun masa pengabdian, ia sanggup menjaga imperium Majapahit. Namun keruntuhan Majapahit terjadi juga saat Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk mangkat.

Mengapa terjadi demikian? Gajah Mada hanya sibuk sendiri. Ia abai menyiapkan generasi penerus, lalai melakukan regenerasi. Harapan kita, keberhasilan sejumlah orang muda seperti dikisahkan di awal tulisan ini menular ke generasi-generasi selanjutnya. Energi kreativitas dan semangat perjuangan mereka menetes ke bawah, membasahi perihidup para penerus. Betapa dahsyat bila saat bonus itu tiba, Indonesia tak hanya banyak dalam jumlah tetapi juga tinggi dalam mutu. Semoga.

Facebook: Ale Theia
Twitter: Charlesemanueld

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun