Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengawinkan Jumlah dan Mutu ala Sri Mulyani

1 September 2016   20:36 Diperbarui: 1 September 2016   22:31 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Data angkatan kerja, penduduk bekerja dan pengangguran/gambar dari beritagar.id.

Kita bisa membayangkan apa yang terjadi bila kelompok usia produktif itu tak bisa berkreasi karena ketiadaan kompetensi dan daya kreasi. Kita bisa membayangkan seperti apa rupa negeri ini bila mayoritas usia kerja itu hanya menjadi pengangguran atau buruh kasar yang diupah murah. Alih-alih berkontribusi, mereka malah membebankan negara dengan persoalan yang merembet ke segala lini.

Sadar atau tidak saat ini sejumlah provinsi sesungguhnya telah mendapat bonus demografi, bahkan sejak enam tahun lalu. DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur dan Kepulauan Riau memiliki rasio ketergantungan yang rendah, malah di bawah prediksi angka ratio ketergantungan yang akan dialami Indonesia beberapa tahun mendatang. Provinsi-provinsi tersebut memiliki angkat rasio ketergantungan di bawah 45.

Namun, pertanyaannya apakah daerah-daerah tersebut telah menikmati bonus demografi? Apakah penduduk usia produktif yang dominan sudah mendapatkan pekerjaan yang layak, hidup sejahtera dan telah berkontribusi menopang kelompok tidak produktif? Sudahkan 100 penduduk usia produktif menanggung beban dari sekitar 45 penduduk tak produktif?

Tak jauh berbeda, malah setali tiga uang dengan derah-daerah lain. Angka pengangguran, dan kualitas hidup penduduk di daerah tersebut tidak berkembang istimewa, malah jurang ketimpangan semakin parah. Daerah-daerah itu sama sekali tak merasakan bonus penduduk, tetapi turut melengkapi angka pengangguran di Indonesia yang masih saja tinggi.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta, bertambah sebesar 320 ribu orang dibanding periode sebelumnya. Angka tersebut selaras dengan laporan Institute for Development of Economic and Finance(INDEF) bahwa pada semester pertama tahun itu, angka penangguran mencapai 7,5 persen. Berdasarkan telaah INDEF, menurunnya pertumbuhan ekonomi, tingginya tingkat inflasi pada bahan makanan dan kegagalan pemerintah menjaga daya beli masyarakat, berkontribusi pada peningkatan angka pengangguran itu.

Data angkatan kerja, penduduk bekerja dan pengangguran/gambar dari beritagar.id.
Data angkatan kerja, penduduk bekerja dan pengangguran/gambar dari beritagar.id.
Kesulitan menurunkan angka pengangguran sedikit banyak berimplikasi pada kondisi riil Indonesia yang tercermin dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia. IPM tahun 2015-yang digagas PBB untuk mengukur mutu manusia berdasarkan kemampuan berusia panjang dan sehat, berpengetahuan dan hidup layak-menempatkan kita di belakang sejumlah negara ASEAN dan Pasifik Barat. Indonesia berada di urutan 110 dari 188 negara, kalah bersaing dengan Thailand (93), Tiongkok (90), Malaysia (62), dan Singapura (11) (Kompas,Sabtu 27 Agustus 2016, hal.14).

Data tersebut bisa dielaborasi. Masih menurut sumber yang sama, angka harapan hidup saat lahir manusia Indonesia menunjukkan tren positif (terus naik), namun angka kematian anak dan balita tinggi. Gizi buruk membuat lebih dari sepertiga anak balita mengalami stunting, atau bertubuh lebih pendek dari biasanya. Dampaknya, genetika berubah, pertumbuhan otak terganggu dan sistem metabolisme tubuh berubah.

Kurangnya asupan gizi, pernikahan dini dan buruknya sanitasi melatari gizi buruk penduduk Indonesia. Situasi ini menjadi ancaman serius karena semakin banyak penduduk usia produktif mengalami penyakit degeneratif seperti jantung, stroke, dan diabetes maka ongkos kesehatan baik yang harus ditanggung masyarakat maupun negara akan semakin tinggi. Hitung saja berapa banyak kerugian yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) saat ini.

Selain itu mutu pendidikan Indonesia memprihatinkan. Berdasarkan laporan Programme International of Student Assessment 2012 di 65 negara, 85 persen anak Indonesia usia 15 tahun hanya mampu berpikir di tingkat rendah dan amat rendah yakni menghafal.

Anak yang hanya mampu menghafal akan mengalami keterbatasan dalam menganalisis dan memahami konsep, termasuk menguasai pelajaran sains dan Matematika. Eksesnya mereka sulit mengaplikasikan pelajaran di sekolah-sekolah. Jangan berharap lebih pada anak seperti ini untuk kreatif berinovasi dan berkreasi.

Keterbatasan infrastruktur dan akses terhadap sarana-sarana vital seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi masih menjadi mimpi buruk sebagian besar masyarakat Indonesia. Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia tak memburuk, untuk mengatakan pada posisi wajar, kue pembangunan masih menjadi milik kalangan tertentu. Ironisnya, pendapatan nasional bruto per kapita yang terus membaik,  namun jurang kesenjangan kian lebar.

Rasio gini Indonesia pada 1980-1996 berada di angka 0,32-0,35, lebih baik dari 2007-2013 sebesar 0,35-0,41. Artinya, sentralisasi aset dan sumber-sumber ekonomi semakin kuat. Yang kaya semakin kaya, sementara kaum misik semakin terjerembab. Dapatkan kita berharap Indonesia mampu melangkah maju bila kondisi seperti ini masih saja terjadi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun