Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Neymar, Marta, dan Maracana

21 Agustus 2016   16:33 Diperbarui: 21 Agustus 2016   20:01 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sulit dibayangkan seperti apa reaksi publik Brasil bila hasil akhir pertandingan final cabang sepak bola Olimpide 2016, Minggu (21/8/) pagi WIB berbeda. Demikianpun tak terbayangkan bagaimana reaksi Neymar, pemain senior sekaligus bintang dunia yang rela “turun kelas” mendampingi para pemain U-23, andai saja timnya gagal mendulang medali emas.

Umpatan masyarakat, tentu saja. Resesi ekonomi dan instabilitas politik akut telah melahirkan amarah dan apatisme publik pada perhelatan Olimpiade, bakal memancing reaksi lebih dan meluas. Di Brasil, seperti beberapa negara Amerika Latin lainnya, sepak bola adalah segalanya. Tidak hanya sekedar cabang populer dan bergengsi, bahkan telah menjadi seperti agama yang disembah, dipuja-puji dan didewakan. Bagaimana jadinya bila sepak bola Brasil gagal menghadirkan kebahagiaan dan sukacita di tengah himpitan hidup yang menyiksa?

Dalam keadaan seperti itu, rasa sesal para pemain akan bertambah-tambah. Terlebih Neymar Jr. Sengaja tak diikutsertakan di Copa America pada Juni lalu agar lebih siap untuk mendulang prestasi di negeri sendiri. Emas olimpiade masih menjadi harapan yang diperam sepak bola Brasil, walau di laci prestasi sudah ada lima gelar Piala Dunia, empat trofi Piala Konfederasi dan delapan mahkota Copa America.

Meski sukar menjadi juara umum di pesta bangsa-bangsa empat tahunan-dan hal itu terbukti saat ini-setidaknya dengan meraih medali emas cabang paling bergengsi ini, akan menjadi kado manis bagi negara dan masyarakat. Hati Neymar pasti begitu remuk, bila harapan besar itu gagal terwujud.

Namun, sejarah akhirnya berkata lain. Tampil di hadapan publik sendiri, Neymar sukses memimpin rekan-rekannya untuk merebut emas di stadion kebanggaan, sekaligus sangat keramat, Maracana.

Tangis Neymar pecah setelah bola hasil eksekusi dari titik 12 pas sukses bersarang di gawang Timo Horn. Bintang Barcelona itu benar-benar digelayut perasaan yang mengharu-biru. Bahagia dan haru jadi satu.

Neymar tahu, emas itu  tak diraih dengan mudah. Jerman bukan tim gampangan. Gol cantik Neymar hasil tendangan bebas di menit ke-26 bukanlah penentu. Kapten Tim Panser, Max Meyer, mencetak gol balasan di menit 59 yang memaksa laga ditentukan melalui adu tos-tosan. Di situ, sepakan Neymar benar-benar menjadi penentu. Eksekusi Nil Petersen berhasil digagalkan kiper Brasil, Weverton dan dibalas dengan sepakan keras Neymar ke pojok kanan atas yang berbuah manis. Dialah eksekutor terakhir yang memastikan kemenangan Brasil.

Kemenangan ini pun menjadi klimaks dari perjalanan tak menentu Brasil sejak fase penyisihan. Dua pertandingan pertama, masing-masing menghadapi Irak dan Afrika Selatan berakhir tanpa gol. Pesimisme publik menguat dan Neymar menjadi sasaran olok-olokan masyarakat.

Baru setelah melewatkan 180 menit pertandingan tanpa gol, Brasil akhirnya melewatkan saat-saat kritis itu. Empat gol tanpa balas atas Denmark memastikan langkah Brasil ke perempatfinal. Kemenangan itu menjadi titik awal kebangkitan. Kemenangan 2-0 atas Kolombia berlanjut, Honduras dilumat 6-0 di semi final.

Menariknya, melihat lawan Brasil di final kali ini. Jerman. Ya, tim yang telah menggoreskan luka di hati masyarkat Jerman. Walau di tempat berbeda, dua tahun lalu, di Mineirao, Belo Horizonte, Brasil menjadi bulan-bulanan Der Panzer. Di semi final Piala Dunia 2014, tujuh gol bersarang di gawang Brasil. Neymar yang absen karena cedera bergabung dengan puluhan ribu masyarakat Brasil menyaksikan kekalahan tragis 1-7 itu.

Kemenangan ini setidaknya sedikit mengobati sakit hati Brasil atas Jerman, meski di level berbeda. Selain itu, sedikit mengurangi keangkeran Maracana dan ketidakberpihakan stadion terbesar di dunia itu kepada Brasil, sejak Piala Dunia 1950. Masih lekat dalam ingatan publik tragedi Maracana atau Maracanazo,saat Brasil dipecundangi Uruguay di final Piala Dunia 1950. Sebanyak 174.000 fans Brasil harus menelan pil pahit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun