Penyebaran medali yang lebih merata di Olimpiade kali ini mengindikasikan peta kekuatan bulu tangkis dunia sudah berubah. Dominasi Tiongkok perlahan tetapi pasti mulai berkurang seiring meningkatnya prestasi negara-negara lain.
Tak banyak pemain yang mampu menjaga konsistensi sehingga masih tetap berprestasi hingga Olimpiade kali ini. Mungkin hanya Lee Chong Wei, Lin Dan, Chen Long, Zhan Nan/Zhao Yunlei dan Fu Haifeng yang stabil prestasinya di pesta olahraga terakbar itu selama beberapa edisi.
Sementara itu Indonesia masih tertatih-tatih mengembalikan supremasi sehingga para pemain kawakan masih menjadi tumpuan. Persoalannya, para pemain senior itu terbentur dengan persoalan klasik yang mudah menyerang pemain mana saja yakni konsistensi. Hal itu tercerim jelas dalam diri Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan. Dan tak terkecuali Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir.
Owi/Butet-sapaan Tontowi/Liliyana memang sukses mengembalikan tradisi emas bulu tangkis Indonesia yang lepas empat tahun lalu. Namun, pencapaian membanggakan ini diraih setelah meniti lorong gelap selama setahun penuh, lantas sedikit meraih titik cereh, sebelum kembali masuk dalam ruang pesimisme sebelum tampil di Rio de Janeiro.
Lantas, setelah Owi/Butet dan para senior itu gantung raket, siapa yang harus mengambil peran? Pertanyaan ini krusial mengingat usia mereka tak bisa dikompromi, walaupun masih bisa dipaksakan seperti Chong Wei atau Lin Dan-rasanya sulit untuk tetap berada di jalur persaingan di Olimpiade berikutnya di Tokyo, Jepang.
Di sisi lain, negara-negara lain sudah unjuk gigi dengan bibit-bibit muda. Spanyol dan India, dua negara yang tak memiliki tradisi bulu tangkis sekuat Tiongkok dan Indonesia, misalnya, sudah mengirim pemain muda mereka ke puncak tertinggi. Duel perebutan emas tunggal putra Olimpiade Rio antara Carolina Marin (23 tahun) dan P.V.Sindhu (21 tahun) adalah gambaran jelas.
Demikian pun di tunggal putra, Denmark dan India sudah memiliki Axelsen dan Kidambi. Pencapaian mereka kali ini menjadi alarm bagi para pemain muda kita. Di satu sisi, Axelsen dan Kidambi menjadi pelecut semangat Jonatan Christie, Anthony Sinisuka Ginting, Ihsan Maulana Mustofa-beberapa pemain muda masa depan Indonesia, untuk bersaing di gelanggang . Di sisi lain, mengguratkan tantangan bagi para pengurus PBSI dan para pihak terkait untuk serius menempa para pemain muda agar bisa meramaikan arena persaingan, dan tidak ketinggalan kereta.
PR besar tentu di sektor putri. Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari menjadi pelipur lara keterpurukan para pemain putri kita. Di Olimpiade Rio, pasangan rangking empat dunia itu hanya mampu berbicara hingga babak delapan besar sebelum ditaklukkan Tan Yuanting/Yu Yang.
Sementara tunggal putri Lindaweni Fanetri tampil jauh dari kesan memuaskan. Alih-alih ke fase knock out pemain 26 tahun itu kandas di fase penyisihan. Selain menjadi bulan-bulanan pemain muda Jepang, Nozomi Okuhara, pemain berperingkat 25 dunia itu dipermalukan wakil Vietnam yang berperingkat 42 dunia, Vu Thi, dua game langsung.
Dengan tanpa terlalu mempertebal pesimisme pada masa depan perbulutangkisan kita, sekiranya rentang waktu empat tahun ke depan menjadi momen introspeksi, evaluasi, dan rekonstruksi untuk menyiapkan generasi penerus agar pada waktunya saat Olimpiade 2022 tiba, Merah Putih mampu berkibar lagi.