Rona kebahagiaan dan raut sukacita tentu belum juga lenyap dari wajah penghuni Ibu Pertiwi yang baru beberapa jam lalu mendengar Indonesia Raya berkumandang dan melihat Sang Merah Putih mengangkasa di Riocentro, Rio de Janeiro, Brasil. Siapa yang tak bangga saat nama Indonesia menjadi buah bibir bangsa-bangsa setelah ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir merengkuh emas Olimpiade?
Kemenangan tersebut menjadi sempurna karena diukir tepat saat Indonesia merayakan 71 tahun lepas dari penjajahan asing. Hari itu, segenap warga Indonesia dengan caranya masing-masing mengisi momen peringatan kemerdekaan, yang bisa saja telah menjadi ritus tanpa makna, sementara nun jauh di Amerika Selatan Owi/Butet berjuang mengurai segala tekanan dan beban kepercayaan untuk merebut poin demi poin dari wakil Malaysia Chan Peng Soon/Goh Liu Ying. Kerja keras keduanya pun berbuah kemenangan telak 21-14, 21-12.
Kemenangan Owi/Butet pun menjadi kemenangan bersama. Kemenangan segenap warga Indonesia. Bagi yang tak sempat mengikuti perkembangan karena aneka keterbatasan, bisa dipastikan akan merasakan tersentuh mendengar Indonesia akhirnya menginjak podium tertinggi.
Di Tanah Air, bulu tangkis sudah sangat familiar. Mendarah daging dan terus diwariskan turun temurun tak hanya sebagai olahraga rakyat, juga cabang potensial yang telah menorehkan banyak prestasi. Tak ayal, menyebut bulu tangkis, bangsa-bangsa lain tak bisa menafikan Indonesia.
Sempat pesimistis karena prestasi para jagoan kembang kempis dan ketiadaan bibit potensial di sektor tertentu, kemenangan Owi/Butet pada titik tertentu menandakan bahwa Indonesia masih memiliki nama.
Memang usia mereka sudah tak muda lagi, dan bisa jadi ini menjadi kesempatan terakhir bagi mereka tampil di ajang empat tahunan itu. Indonesia mendapat pekerjaan rumah untuk menyiapkan penerus demi mempertahankan tradisi emas di Tokyo, Jepang, empat tahun mendatang.
Dalam rangka itu, generasi penerus bisa belajar banyak hal. Owi/Butet melangkah ke Brasil dalam bayang-bayang kritik dan pesimisme. Melempem sepanjang tahun 2015 yang berujung nirgelar, Owi/Butet baru mendapat mahkota di Malaysia Open Super Series Premier pada awal April tahun ini.
Gelar tersebut ternyata hanya sementara saja, karena setelah itu penampilan Owi/Butet terjun bebas. Di dua turnamen pemanasan jelang ke Rio, masing-masing di Indonesia Open Super Series Premier dan Australia Open Super Series, Owi/Butet tersungkur di babak awal.
Kondisi ini tentu menjadi pukulan telak bagi keduanya yang menjadi salah satu harapan untuk mengembalikan tradisi emas Olimpiade yang sempat lepas empat tahun lalu di London. Ternyata, pasang surut penampilan tak membuat Owi/Butet patah arang. Justru memotivsi mereka tampil all outuntuk membalikkan segala kecemasan dan ragu banyak pihak menjadi prestasi.
Tampil mulus sejak awal, tak pernah kalah dan selalu menang dua game langsung, termasuk saat melumat favorit juara Zhang Nan/Zhao Yunlei di semi final, membuktikan bahwa Owi/Butet belum usai. Indonesia masih patut mempercayai mereka untuk menghadirkan kebanggaan dan mengharumkan nama bangsa di mata dunia. Owi/Butet saja masih bisa bangkit dari keterpurukan, maka tidak ada alasan bagi generasi penerus untuk menyerah sebelum bertanding demi mempertahankan nama bangsa yang sedang haus prestasi.
Melampaui Emas
Jujur, menulis bagian ini saya berutang pada tulisan Zen RS “Kita Berutang pada Bulu Tangkis.” Zen menyentil saya, juga Anda, bahwa medali emas Owi/Butet tidak lahir dari perjuangan seorang diri. Tanpa salah seorang dari antara mereka cerita hari ini bisa berbeda.
Memang sektor tersebut mengandaikan perpaduan seorang pemain putra dan putri, tetapi sadarkah kita betapa harmonisnya perpaduan dari banyak berbedaan yang kentara di antara mereka? Yang satu berkulit sawo matang, satunya lagi berkulit kuning langsat. Yang satu bermata sipit yang satu seperti orang kebanyakan. Yang satu Muslim, yang satu Katolik.
Tanpa bermaksud memancing prasangka rasial, kemenangan Owi/Butet membuktikan bahwa perbedaan bukan halangan untuk meraih prestasi. Melampaui sekat-sekat kategoris, keduanya bersatu demi Indonesia yang satu.
Sebelum Owi/Butet menginjak podium utama, Tanah Air masih saja bergejolak karena aneka klaim oposisional “pribumi-non pribumi”, “saya-Anda”, “kami-mereka”, “orang kita-orang mereka”, “orang Jawa-orang Timur”, bahkan hingga menyangkut seksisme (pria-wanita) dan keyakinan atau agama. Perseteruan terbuka di dunia nyata dan di jagad maya mempersoalkan perbedaan itu belum juga hilang. Seakan-akan keberbedaan itu adalah jualan yang pantas dihargai dengan cela dan hina.
Zen mengemukakan kenyataan pahit yang dialami Susi Susanti dan Alan Budikusuma, penyumbang medali emas pertama bagi Indonesia dalam sejarah Olimpiade. Enam tahun setelah menyumbang dua keping emas di Barcelona, 1992, jalan keduanya menjadi sepasang suami istri dipersulit karena perbedaan rasial. Emas dibalas dengan ketidakadilan.
"Saya jelas kecewa saat itu sampai-sampai saya berucap apakah saat memenangi emas olimpiade, ada tanda Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) di belakang baju saya. Tidak kan? Hanya ada tulisan Indonesia.”
Jelas, Susi dan Alan bukan korban pertama dari gagal paham primordial ini. Tak terhitung berapa banyak orang yang diperlakukan tidak adil dan semena-mena karena perbedaan jenis kelamin, ras, agama, suku dan status sosial. Belum bisa dipastikan sampai kapan Indonesia benar-benar lepas dari pikiran sempit dan perlakuan picik yang mencederai kebhinekaan, selama perbedaan masih dipandang sebagai petaka dan keberagaman adalah musibah.
Padahal keberbedaan itulah yang membuat kita berdiri sebagai bangsa berdaulat saat ini. Perbedaan itulah yang membuat kita terpandang di mata bangsa-bangsa seperti yang ditunjukkan Owi/Butet di Rio. Semoga kemenangan Owi/Butet adalah juga perayaan suka cita kebhinekaan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H