Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Pesan Kebhinekaan Emas Olimpiade Owi/Butet

18 Agustus 2016   18:19 Diperbarui: 19 Agustus 2016   07:32 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Owi/Butet di antara Chan Peng/Goh Liu asal Malaysia yang meraih medali perak dan Zhan Nan/Zhao Yunlei (Tiongkok) yang meraih medali perunggu Olimpiade Rio 2016/@Badmintonupdates

Jujur, menulis bagian ini saya berutang pada tulisan Zen RS “Kita Berutang pada Bulu Tangkis.” Zen menyentil saya, juga Anda, bahwa medali emas Owi/Butet tidak lahir dari perjuangan seorang diri. Tanpa salah seorang dari antara mereka cerita hari ini bisa berbeda.

Memang sektor tersebut mengandaikan perpaduan seorang pemain putra dan putri, tetapi sadarkah kita betapa harmonisnya perpaduan dari banyak berbedaan yang kentara di antara mereka? Yang satu berkulit sawo matang, satunya lagi berkulit kuning langsat. Yang satu bermata sipit yang satu seperti orang kebanyakan. Yang satu Muslim, yang satu Katolik.

Tanpa bermaksud memancing prasangka rasial, kemenangan Owi/Butet membuktikan bahwa perbedaan bukan halangan untuk meraih prestasi. Melampaui sekat-sekat kategoris, keduanya bersatu demi Indonesia yang satu.

Sebelum Owi/Butet menginjak podium utama, Tanah Air masih saja bergejolak karena aneka klaim oposisional “pribumi-non pribumi”, “saya-Anda”, “kami-mereka”, “orang kita-orang mereka”, “orang Jawa-orang Timur”, bahkan hingga menyangkut seksisme (pria-wanita) dan keyakinan atau agama. Perseteruan terbuka di dunia nyata dan di jagad maya mempersoalkan perbedaan itu belum juga hilang. Seakan-akan keberbedaan itu adalah jualan yang pantas dihargai dengan cela dan hina.

Zen mengemukakan kenyataan pahit yang dialami Susi Susanti dan Alan Budikusuma, penyumbang medali emas pertama bagi Indonesia dalam sejarah Olimpiade. Enam tahun setelah menyumbang dua keping emas di Barcelona, 1992, jalan keduanya menjadi sepasang suami istri dipersulit karena perbedaan rasial. Emas dibalas dengan ketidakadilan.

"Saya jelas kecewa saat itu sampai-sampai saya berucap apakah saat memenangi emas olimpiade, ada tanda Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) di belakang baju saya. Tidak kan? Hanya ada tulisan Indonesia.”

Jelas, Susi dan Alan bukan korban pertama dari gagal paham primordial ini. Tak terhitung berapa banyak orang yang diperlakukan tidak adil dan semena-mena karena perbedaan jenis kelamin, ras, agama, suku dan status sosial. Belum bisa dipastikan sampai kapan Indonesia benar-benar lepas dari pikiran sempit dan perlakuan picik yang mencederai kebhinekaan, selama perbedaan masih dipandang sebagai petaka dan keberagaman adalah musibah.

Padahal keberbedaan itulah yang membuat kita berdiri sebagai bangsa berdaulat saat ini. Perbedaan itulah yang membuat kita terpandang di mata bangsa-bangsa seperti yang ditunjukkan Owi/Butet di Rio. Semoga kemenangan Owi/Butet adalah juga perayaan suka cita kebhinekaan kita. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun