Satu dari sembilan poin penting dalam visi kepemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yakni “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.” Poin ketiga dari apa yang disebut Nawa Cita ini antara lain bertujuan untuk mengubah pola pembangunan yang selama ini terpusat di pulau Jawa.
Fakta tak terbantahkan, derap pembangunan di pulau Jawa telah meninggalkan daerah-daerah lain jauh tertinggal. Kota-kota di pulau Jawa semakin gemerlap dengan gedung pencakar langit di sana-sini. Sementara daerah-daerah di luar pulau Jawa seperti berada di luar orbit perhatian sehingga tetap berkubang dalam ketertinggalan dengan serba kekurangan.
Saat saya kembali ke kampung halaman di salah satu wilayah di Nusa Tenggara Timur saat libur Lebaran beberapa waktu lalu, sangat terasa disparitas tersebut. Saat pesawat memasuki wilayah NTT usai terbang tiga jam lebih dari Jakarta dan singgah sebentar di Surabaya terasa lebar jurang perkembangan antara Kupang, ibu kota NTT di satu pihak dan Jakarta-Surabaya di sisi lainnya. Memasuki NTT, terlebih lagi bertolak lebih jauh dari ibu kota, seperti kembali ke masa lalu beberapa tahun silam, bertemu lagi dengan realitas yang hampir tak berubah signifikan. Berbeda dengan kedua kota besar yang terus bergeliat maju, infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, listrik dan air di daerah saya, belum tersentuh secara utuh.
Tak heran di masa pemerintahan Jokowi-JK selain daerah perbatasan yang hampir tak diperhatikan, nasib daerah-daerah di luar Pulau Jawa yang setali tiga uang pun hendak diangkat. Tujuannya, selain untuk mewujudkan ikhtiar pembangunan yang adil dan merata, juga memanfaatkan aneka potensi strategis daerah-daerah periferi itu.
Sebagai salah satu eksekutor, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menerjemahkan amanat Nawacita tersebut dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian PUPR 2015-2019. Di sektor infrastruktur Kemen-PUPR sedang mengangkat pola perencanaan pengembangan 35 Wilayah Pengembangan Strategis (WPS) untuk memenuhi pelayanan dasar serta konektivitas untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara terpadu. Daerah-daerah tersebut terkoneksi dengan Tol Laut dan dikembangkan secara sinergis sebagai kawasan strategis pariwisata, industri, dan infrastruktur sumber daya air.
“4 WPS di antaranya terletak pada kawasan perbatasan, yaitu WPS Temajuk – Sebatik, WPS Kupang – Atambua, WPS Jayapura – Merauke, dan WPS pulau-pulau kecil terdepan,” ungkap Dadang Rukmana, Sekretaris Badan Pengembangan Infrastuktur Wilayah (BPIW) dikutip dari www.pu.go.id.
Dengan tanpa berpanjang kata, butir ketiga Nawacita yang tengah diterjemahkan Kementerian PUPR itu bertujuan untuk memeratakan pembangunan agar kemajuan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, mengurangi beban berat yang selama ini dipikul kota-kota besar.
Menurut data yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat ini tak kurang dari 53 persen penduduk berdiam di wilayah perkotaan. Jumlah tersebut diperkirakan melonjak menjadi 64 persen pada 2050. Di Indonesia persentase penduduk perkotaan (tinggal di pulau Jawa) jauh lebih tinggi, mencapai 60 persen.
Pulau Jawa yang belum juga kehilangan pesonanya terus menarik orang untuk datang, bekerja dan berdiam. Daya tampung dan ketersediaan fasilitas yang terbatas akhirnya mengubah Jawa sebagai destinasi favorit menjadi kawasan dengan seribu prahara. Ledakan penduduk, transportasi publik yang minim, sanitasi dan air bersih yang terbatas, serta perumahan (hunian) yang tak seimbang menjadi mimpi buruk bagi warga kota besar saat ini. Di Jakarta, mimpi buruk tersebut sempurna terwujud.
Karena itu, jangan dikira orang-orang yang mendiami kota-kota besar itu benar-benar merasakan segala kemewahan dengan hati lega. Pada titik tertentu, beban dan tekanan mereka bisa jauh lebih besar dari penduduk pedesaan. Gedung bertingkat boleh terus bertumbuh, namun hati dan pikiran penghuninya belum tentu tenang dan nyaman.
Prahara Parkir
Mengerucut pembicaraan, salah satu persoalan pelik yang kini menghantui pembangunan Jakarta adalah masalah parkir. Soal parkir menjadi kompleks karena mencerminkan banyak hal. Di sana tergambar seperti apa konsep pembangunan infrastruktur publik kita. Terpampang nyata seperti apa regulasi yang dibangun dan dijalankan. Tergurat jelas seperti apa sistem transportasi kita. Dan akhirnya menjadi cermin seperti apa manusia dan budaya penghuninya.
Saban hari saat melaju ke ibu kota, entah menggunakan kendaraan pribadi atau transportasi umum, maka yang diakrabi adalah kemacetan. Bahkan kondisi tersebut sudah mengemuka sejak dari daerah penyangga. Infrastruktur jalan yang tak sebanding jumlah kendaraan semakin diperparah dengan kebiasaan pengguna kendaraan yang tak tertib.
Saat bertandang ke ibu kota saban pagi, dari arah Pamulang, Tangerang Selatan, kemacetan tersebut sudah langsung menyapa. Kemacetan semakin parah saat memasuki wilayah pasar Ciputat. Ketersediaan jalur flyover untuk mengatasi kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas di pasar tersebut sama sekali tak menolong. Di kedua jalur itu lalu lintas benar-benar menguras tenaga. Ditambah lagi, perilaku pengendara yang ingin menang sendiri dan sekehendak hati memarkir kendaraan di bahu jalan (on street).
Bila tak sabar, emosi pengguna jalan pun tersedot. Petugas kepolisian yang berkolaborasi dengan aparat dinas perhubungan tak bisa berbuat banyak karena infrastruktur jalan sangat terbatas untuk menampung lautan kendaraan.
Setelah berhasil melewati rintangan panjang di sepanjang jalan, tantangan kembali menghadang saat tiba di tempat tujuan. Tak hanya di wilayah perkantoran, di tempat-tempat umum seperti kompleks pertokoan, pusat perbelanjaan, stasiun serta terminal pun sama menyesakkan. Selain kapasitas tempat parkir yang terbatas, di tempat-tempat tertentu bahkan tak tersedia ruang untuk melabuhkan kendaraan. Bila pun ada, biayanya cukup menguras kantong.
Ibu kota yang baru mulai bergeliat menata dan membangun transportasi publik di antaranya berupa angkutan kereta massal cepat (Mass Rapid Transit/MRT) serta Simpang Susun Semanggi semakin memperparah keadaan. Di sepanjang jalur MRT tahap pertama yang sedang dibangun dari stasiun Lebak Bulus menuju Bundaran Hotel Indonesia dipastikan ruang gerak kendaraan pada jam-jam sibuk sangatlah terbatas.
Empat bor raksasa bernama Antareja I dan II serta Mustikabumi I dan II berlomba menembus bumi agar segera bertemu di titik tertentu, di permukaan tanah lautan manusia berjuang mencari ruang agar segera lepas dari kemacetan.
Pemandangan yang sama terjadi di sejumlah ruas jalan yang terdampak pengerjaan Simpang Susun Semanggi seperti jalur cepat dari arah Blok M menuju Slipi, jalur cepat dari arah Cawang mengarah ke Blok M serta jalur cepat dari arah Gatot Subroto menuju Sudirman. Jalur-jalur strategis tersebut terpaksa ditutup untuk mengoptimalkan pengerjaan proyek tersebut.
Bagi pengendara yang ingin memarkir kendaraan untuk beralih ke transportasi publik seperti transjakarta atau Kereta Rel Listrik (KRL) akan berhadapan dengan sempitnya ruang untuk memarkir kendaraan. Sepengetahuan saya, tak semua stasiun memiliki cukup ruang untuk menampung kendaraan pribadi. Bahkan di stasiun-stasiun tertentu yang berada di luar Jakarta pun sama nasibnya.
Beberapa kali dalam seminggu saya menggunakan KRL. Hemat waktu dan tenaga menjadi pertimbangan utama beralih menumpang ular besi itu. Dari arah Pamulang saya memilih stasiun terdekat yaki Stasiun Sudimara, Ciputat, Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Namun pada jam-jam tertentu, terutama pagi hari selama hari kerja, sehamparan tanah luas yang dipagari seadanya nyaris tak bisa menampung semua kendaraan roda dua. Bila dipaksa menampung pun kondisinya sangat menyulitkan para pemilik kendaraan yang pulang lebih cepat.
Situasi ini tak lepas dari terbatasnya kapasitas tempat parkir yang dikelola dengan sistem e-money, persis di samping stasiun. Dengan bayaran Rp.4000 sejak pagi hingga pukul 21.00 WIB, atau Rp6.000,00 hingga kereta terakhir tiba di stasiun (biasanya bisa sampai pukul 00.00), serta Rp13.000 bila kendaraan “menginap”, para pemilik kendaraan lebih memilih tempat parkir “swasta” itu.
Saat kereta tiba dan menumpahkan penumpang yang berjubel di Stasiun Sudimara maka situasi di sekitar tempat parkir itu mendadak ramai. Lalu lintas kendaraan pun menjadi kacau. Para pengendara motor berebut tempat dengan angkot yang ngetempersis di depan pintu keluar. Aduhai semrawut! Rupanya tak hanya Jakarta yang mengalami kemacetan dan keterbatasan ruang, kenyataan serupa pun terjadi di daerah-daerah penyangga seperti Sudimara.
Dalam kondisi Jakarta yang sudah berada di titik memprihatinkan membenahi sistem perparkiran menjadi pekerjaan penting. Walau demikian, usaha tersebut tak bakal mudah. Bahkan seperti memakan buah simalakama. Antara parkir dan transportasi umum, mana yang mesti didahulukan?
Ada yang menilai bahwa pembenahan transportasi umum akan menyelesaikan kemacetan. Bila akses transportasi publik memadai, maka para pengguna kendaraan pribadi akan memarkir kendaraannya di rumah. Dengan sendirinya akan berpengaruh pada tingkat kebutuhan tempat parkir.
Namun, di sisi berbeda, ikhtiar memasyarakatkan transportasi umum butuh proses dan waktu yang panjang. Publik tak bisa dipaksa meninggalkan kendaraan pribadi di saat akses transportasi umum sangat terbatas. Belum lagi, tingkat permintaan terhadap kendaraan baik roda dua maupun roda empat di ibu kota dan daerah sekitar terus meningkat saban tahun.
Tak mengherankan bila sederet kebijakan pemerintah DKI Jakarta mulai dari pembatasan kendaraan roda dua, jalan berbayar, parking meter hingga sistem ganjil-genap belum menampakkan hasil. Dalam keterjepitan itu Undang-Undang Nomor 22/2019 tentang Lalu Lintas dan Peraturan Pemerintah Nomor 79/2013 yang melarang penggunaan jalan nasional/provinsi sebagai tempat parkir terasa tak bertaji.
Sambil menanti pembenahan sistem transportasi umum di ibu kota, situasi saat ini menuntut langkah strategis baik bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Pertama, maksimalisasi ruang dengan memanfaatkan kolong jembatan layang atau flyove sebagai lahan parkir tambahan. Dengan penataan yang baik diharapkan ruang yang selama ini dipakai sebagai hunian kaum tunawisma yang berpotensi membuat kondisi menjadi kumuh atau pedagang kaki lima yang berjualan secara serampangan dimanfaatkan sebagai tempat parkir.
Wacana pemerintah DKI untuk memulai rencana tersebut di flyover Tebet, Jakarta Selatan adalah langkah positif. Tempat itu sangat pas dijadikan lokasi park and ride bagi para penumpang KRL, dan menjadi proyek percontohan untuk lokasi-lokasi lain.
Kedua, mewajibkan setiap pengembang untuk pemilik usaha untuk menyertakan lahan parkir dalam setiap rencana pembangunan dan pengembangan usaha. Menurut pakar tata ruang Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, saat ini belum ada regulasi yang mewajibkan setiap pemilik usaha untuk menyediakan lahan parkir sesuai jumlah pengunjung tempat usaha tersebut.
“Ada beberapa yang menyediakan tempat parkir, namun kapasitasnya tidak sebanding dengan orang yang datang," tandasnya seperti dilansir viva.co.id, 8 September 2014.
Ketiga,senada dengan pernyataan Yayat, dalam setiap pembangunan sarana transportasi umum pemerintah pun perlu serius memperhatikan ketersediaan tempat parkir sebagai bagian dari rencana prioritas.
Potret yang terjadi di Stasiun Sudimara sudah menggambarkan tingkat kebutuhan fasilitas parkir yang memadai, dan aman. Tak semua orang dengan mudah menjangkau moda transportasi umum karena itu memilih kendaraan alternatif menjadi pilihan yang mungkin. Ditambah lagi akses bagi pejalan kaki seperti trotoar dan jembatan penyebrangan yang jauh dari kata aman dan nyaman semakin mempertegas pilihan tersebut.
Keempat,pilihan lain yang mungkin adalah menyediakan gedung parkir khusus yang dibuat bertingkat dengan fasilitas modern. Mekanisas tempat parkir seperti menggunakan lift dan sebagainya tentu membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Selain itu, bisa dipastikan para pengguna pun harus merogoh kocek dalam-dalam. Namun, bila harga tersebut sebanding dengan tingkat kenyamanan dan keamanan mengapa tidak dicoba.
Akhirnya, Jakarta dengan segala kesemerawutannya adalah pelajar paling nyata untuk dipetik oleh daerah-daerah lain. Jakarta adalah laboratorium bagi pemerintah untuk merencanakan pembangunan secara terintegrasi. Seiring waktu, populasi penduduk Indonesia akan terus bertambah dan peluang daerah-daerah untuk berkembang terbuka lebar. Di tangan Jokowi-JK, cita-cita luhur Nawacita untuk menyasar daerah-daerah terbelakang akan terus digemakan, tidak hanya sebagai secondary city untuk mengurangi beban metropolitan tetapi juga memaksimalkan segenap potensi yang ada di daerah sehingga Jakarta tak lagi menjadi kiblat segalanya. Termasuk, meraup untung dari manajemen parkir yang tertata baik tanpa harus membuat kita pikir-pikir sebelum parkir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H