Paus Fransiskus mempunyai satu julukan yang menarik untuk kaum muda masa kini. Generasi “sofa dan kentang.” Julukan itu keluar dari mulut pemimpin agama Katolik sejagad pada puncak perayaan Hari Pemuda Sedunia tahun ini yang dihelat di Brzegi, Krakow, Polandia beberapa waktu lalu (Kompas,Selasa 2 Agustus 2016, hal.7).
Paus bernama asli Jorge Mario Bergoglio tentu memiliki alasan di balik sematan tersebut. Keterikatan dengan gawai dan memberhalakannya sambil duduk manis di atas sofa empuk sambil mengunyah keripik kentang, menjadi potret hidup kaum muda Eropa, masa kini. Tentu, kelekatan bahkan kecanduan pada gadget dan perangkat elektronik sejenis serta menikmati kesenangan diri dengan kentang dan makan-minum yang mengenakkan lidah, lumrah adanya. Bisa jadi, bukan lagi kecenderungan, tetapi gaya hidup kaum muda umumnya.
Predikat itu tidak hanya mengkonklusi trend mencolok kehidupan kaum muda masa kini, serentak menjadi bentuk kekhawatiran tersendiri dari sosok kharismatik berusia 79 tahun itu. Walau seruan itu digemakan di hadapan segelintir kaum muda dengan berkaca pada Eropa, bisa jadi, yang dikatakan pria asal Argentina itu menembus bentuk dan ruang.
“Sofa dan kentang” adalah representasi kesenangan diri yang bisa meninabobokan pergaulan dan kepedulian sosial. “Sofa dan kentang” adalah locus pemujaan dan berhala baru yang memerangkap kaum muda dalam kepentingan diri yang sifatnya sesaat.
Dengan duduk manis di atas “sofa” kesenangan dengan “kentang” kenikmatan yang menggoda di tangan kiri dan gawai mutakhir di tangan kanan, maka perlahan tetapi pasti kaum muda tengah digiring oleh industri raksasa bernama kapitalisme yang menyuntikkan firus konsumerisme dan hedonisme yang mematikkan kreativitas,menumpulkan sikap kritis, mengikis hasrat kerja keras dan mengunci pembentukan diri secara konstruktif.
Memang, tak semua kaum muda sudah dan sedang berada dalam kelompok generasi “sofa dan kentang” tersebut. Banyak kaum muda yang tengah berada di gerbong berbeda dengan prestasi dan keberhasilan yang gilang gemilang.
Hanya saja, bagi kaum muda yang belum move on dari “sofa dan kentang” bila tak segera diwaspadai, maka populasi virus kapitalisme dengan rayuan maut kebutuhan palsu akan terus berbiak dalam mentalitas easy goingatau instan. Ujungnya, masa depan yang suram tinggal menghitung waktu. Jangan bicara tentang prestasi, apalagi kontribusi dari generasi seperti itu!
Prihatin
Sebelum terlambat, seruan tokoh asal Argentina itu perlu diamini lekat-lekat. Potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh “sofa dan kentang” itu sungguh luar biasa hebat. Membuka mata dan mulai menata diri adalah sikap bijak yang patut diambil.
Menjadi generasi yang sehat dan berpendidikan adalah antitesis dari generasi “sofa dan kentang” yang merusak mental dan pikiran. Selain itu, mengkonsumsi cemilan kentang dalam jumlah banyak jelas tak sehat bukan? Bila bisa memilih dan mengambil sikap, sudah tentu, tak ada satu pun dari generasi muda Indonesia saat ini, yang ingin memperpanjang litani kesengsaraan di negeri ini dengan destruksi tambahan dari “sofa dan kentang” itu.
Menurut perkiraan banyak pihak, saat ini Indonesia tetap sebagai negara dengan populasi terbanyak keempat di dunia setelah Tiongkok, India dan Amerika Serikat. Terus meningkat signifikan dari tahun ke tahun, kini jumlah penduduk Indonesia menginjak angka 255 juta jiwa.