Selain mendampingi sang anak, di hari pertama sekolah, orang tua (tentu saja ayah dan ibu) akan bertemu dan berkomunikasi dengan para guru. Menurut Anies, pada saat itu, para guru adalah representasi negara yang bertugas untuk menyambut amanah yang diberikan negara dan orang tua untuk mendidik generasi penerus bangsa.
“Tugas negara adalah memastikan negara hadir menyambut anak di sekolah,”tegas pria kelahiran Kuninga, Jawa Barat, 47 tahun silam.
Lebih lanjut, menurut Anies, pada saat pertemuan tersebut, orang tua dan pihak sekolah bisa melakukan banyak hal. Mulai dari bertukar nomor handphone, berbagi tentang rencana belajar sang anak dan orang tua bisa menyampaikan kondisi, kebutuhan hingga kekhawatiran sang anak. Dengan demikian, pihak orang tua tahu apa yang akan terjadi dengan sang anak di sekolah, siapa wali kelas sang anak, sementara sekolah akan mengetahui kondisi peserta didik yang akan ditempa dan dibina selama kurang lebih enam sampai tujuh jam di ruang sekolah.
“Jangan sampai orang tua tidak tahu sekolah, sekolah tidak kenal orang tuanya. Padahal yang dididik sama, anaknya. Ini namanya kolaborasi tanpa komunikasi.”
Sebagai dua institusi yang bertanggung jawab terhadap pendidikan sang anak, sekolah dan orang tua semestinya bermitra melalui komunikasi yang dimulai pada hari pertama sekolah itu. Jangan sampai tugas mendidik sang anak dilimpahkan kepada salah satu pihak. Padahal keberhasilan pendidikan sang anak tidak hanya ditentukan oleh kesuksesan belajar di ruang kelas. Dengan porsi waktu belajar yang terbatas di sekolah, rumah dan orang tua memegang porsi tanggung jawab yang besar untuk melanjutkan pendidikan sang anak.
Salah satu langkah reformatif adalah menghapus segala bentuk perpeloncoan yang selama ini menjadi menu wajib untuk menyambut para siswa baru. Melalui program Sekolah Aman, negara beritikad memastikan bahwa setiap anak bebas dari ancaman kekerasan (bullying) dari siapa pun.
Selain itu, menghapus Masa Orientasi Sekolah (MOS) yang sarat kekerasan dan praktik tak terpuji dan diganti dengan program Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS). Melalui Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016 ditegaskan pentingnya PLS untuk “mengenali potensi diri siswa baru; membantu siswa baru beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya, antara lain terhadap aspek keamanan, fasilitas umum, dan sarana prasarana sekolah; menumbuhkan motivasi, semangat, dan cara belajar efektif sebagai siswa baru; mengembangkan interaksi positif antarsiswa dan warga sekolah lainnya; menumbuhkan perilaku positif antara lain kejujuran, kemandirian, sikap saling menghargai, menghormati, keanekaragaman dan persatuan, kedisiplinan, hidup bersih dan sehat untuk mewujudkan siswa yang memiliki nilai integritas, etos kerja dan semangat gotong royong.”
Saat hari pertama itu, orang tua memberikan dukungan semangat dan menanamkan sikap positif walau mereka secara material “kalah” dibandingkan anak-anak lain. Kehadiran orang tua menamamkan kepercayaan diri kepada anak mereka untuk bertekun dalam pendidikan, terlibat persaingan sehat di ruang belajar. Tak sedikit anak-anak dari kalangan tidak mampu merasa minder sejak hari pertama sekolah sehingga mengganggu seluruh proses belajar dengan membawa serta rasa rendah diri, inferior sehingga memilih menjauh dari ruang pergaulan sosial.
Dengan demikian penting hari pertama sekolah yang telah digagas dan digelorakan secara masif oleh Anies Baswedan. Diharapkan penggantinya, Profesor Muhadjir Effendy, dapat melanjutkan gagasan bernas tersebut dengan memikirkan cara untuk menambal sejumlah celah dari gerakan tersebut. Beberapa dari antaranya adalah, pertama,mengatasi kemungkinan bila orang tua juga berprofesi sebagai guru.