Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melewati Gerbang Sekolah, Melampaui Formalisme Hari Pertama

22 Juli 2016   11:17 Diperbarui: 22 Juli 2016   11:31 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu, hari pertama sekolah. Seturut amanat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan anak-anak tak dianjurkan datang sendirian. Mereka harus diantar orang tua.

Sesampai di sebuah Sekolah Dasar  ternyata hanya murid dan orang tua saja yang ada. Sementara para guru tak satupun kelihatan batang hidungnya.

Sang kepala sekolah bingung. Ia pun menghubungi para guru satu per satu. Ternyata jawaban semua guru yang tidak hadir  sama. 

"Ngantar anak di hari pertama sekolah bu..."

***

Sekilas cerita yang yang saya sadur dari salah satu grup WhatsApp di atas adalah dagelan. Namun, guyonan itu bukan tanpa makna. Setidaknya ada sejumlah poin penting yang mengemuka untuk diperbincangkan. 

Pertama, menyambut tahun ajaran baru kali ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, mengamanatkan dan menggalakkan "Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah." Seruan tersebut termaktub dalam Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Hari Pertama Sekolah yang ditandatangani sang menteri bernama lengkap Anies Rasyid Baswedan.

Sepengetahuan saya (tentu saja terbatas), sebagai sebuah gerakan bersama dan berskala nasional, hal ini baru pertama terjadi di republik ini. Walau demikian, dalam praksis, fenomena tersebut bukan hal baru. Sadar atau tidak sadar, menyertai anak di hari pertama sekolah, bahkan di hari-hari lainnya, sudah biasa terjadi, apalagi untuk anak yang baru pertama masuk di tingkat pendidikan tertentu seperti Sekolah Dasar.

Belasan tahun lalu, di salah satu daerah di sebuah kabupaten di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, saya pun merasakannya. Gagah dengan kemeja putih, dan celana pendek merah, plus topi merah dan dasi berwarna serupa, secara bergerombol kami berjalan kaki menuju sebuah Sekolah Dasar Inpres satu-satunya di kelurahan (jangan bayangkan kelurahan seperti di kota-kora besar yang relatif terpadu) itu. 

Rasa bangga dan tidak sabar tergambar jelas dari raut ceria dan langkah bergegas setengah berlari untuk segera mencapai halaman depan sekolah. Kami tak lagi peduli pada langkah cepat para ibu, yang tak lain adalah orang tua kami, yang memburu dari belakang.

Sesampai di muka sekolah, kami bertemu teman-teman sebaya yang juga tak sendirian. Hari itu SDI itu ramai seperti pasar, ada interaksi dan tawar-menawar. Para guru menyambut dengan tangan terbuka. Bercengkerama dengan para orang tua, atau bertegur sapa dengan para murid baru. Ada pula yang tengah membujuk rayu satu-dua murid yang "belum siap" memasuki bangku sekolah. Mereka merengek-rengek minta pulang. 

Bertemu kawan baru di hari pertama, bagi kami kala itu dan tentu ukuran anak-anak yang baru lewat lima tahun, tak lebih dari aksi pamer atribut yang untuk pertama kali dikenakan. Topi, baju, celana, tas dan seisinya dipertontonkan dengan percaya diri.  Masing-masing tak mau kalah, saling berlomba mengklaim keakuan bahwa milik saya adalah yang terbaik. 

Bahkan ada yang tak peduli bahwa baju yang dikenakan terlalu besar untuk ukuran tubuh yang ceking. Tak juga ambil pusing dengan kaki yang terlalu berjenjang dan potongan celana yang hanya menutup sebagian paha secara tak proporsional karena celana yang dikenakan terlalu kecil. Sebagian potret para murid baru, bocah-bocah Belitong, yang kemudian menjadi tokoh penting dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata seakan menyata kala itu. Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani, dan juga Harun, muncul secara baru dalam diri para murid baru di sekolah kami itu.

Selain itu, kami yang mengenakan barang-barang baru itu larut dalam aksi narsisme yang menguburkan latar belakang riil. Sebagian besar dari kami seakan tak sadar bahwa sebetulnya atribut-atribut tersebut adalah kristalisasi butir-butir keringat perjuangan keras orang tua mencangkul kebun berhari-hari, memelihara ternak berbulan-bulan hingga berganti tahun, atau menguji nyali dan menantang maut berkali-kali mengambil tuak di pucuk pohon enau yang tinggi menjulang. 

Dengan mayoritas penduduk sederhana-untuk mengatakan miskin yang menggantung nasib pada sektor pertanian dan peternakan tradisional, seperangkat pakaian sekolah itu harus diperoleh dengan perjuangan ekstra. Bahkan sangat ekstra dengan mengorbankan banyak hal.

Atau bagi yang lain-dari golongan “minoritas” yakni pegawai-yang tentu saja bukan dari kelas pejabat-atribut yang dikenakan anak-anak itu adalah hasil "ikat perut" dan laku "kencangkan ikat pinggang"  bersama dalam keluarga selama sekian waktu. Atau menjalani peri hidup super irit agar bisa menabung berhari-hari.

Ah, bagi kami kali itu, apa yang dilakukan orang tua untuk membuat kami tampak gagah di hari pertama itu berada jauh di luar batok kepala dan ruang kesadaran infantil. Mungkin juga tak peting diketahui, seperti para orang tua pejuang yang tak mau peduli dengan beratnya perjuangan mereka asalkan buah hati mereka bisa datang dan tampil percaya diri di hari pertama sekolah.

Dengan pemandangan yang jauh berbeda, setelah sekian tahun tak bersua, hal serupa saya temukan lagi pada awal pekan 18 Juli lalu. Bukan di daerah asal, tetapi di tanah rantau. Dalam perjalanan ke kantor, saat melintas di jalang potong menuju Stasiun Sudimara, Tangerang, Banten, saya melintas di salah satu sekolah dasar di daerah Serua. Tepat di hari pertama tahun ajaran baru 2016/2017, menuju jam masuk sekolah.

Jalan yang semula sempit, semakin kehabisan ruang untuk arus kendaraan yang cukup padat, akibat berjubel kendaraan roda dua yang terparkir begitu saja di sepanjang sisi jalan di halaman sekolah. Belum lagi lautan manusia yang membludak di sisi jalan. Bisa dipastikan kebanyakan dari mereka datang dari kalangan orang tua yang mengantar anak-anak mereka. Terbukti,  mereka tak mau peduli dengan ruang yang semakin sempit ditingkahi bunyi klakson dan erangan kendaraan yang meraung-raung, demi memandang tingkah anak-anak mereka yang tengah berkumpul di halaman sekolah. 

Saya mafhum dengan keadaan itu sehingga dengan lapang hati menikmati riak kesibukan pagi itu. Roda dua tua yang saya kendarai dipacu dengan santai, mencari ruang sempit untuk berlalu, sambil sesekali mencuri pandang pada kerumunan itu. Dalam hati, saya hanya bisa menduga. Apakah pemandangan ini baru pertama kali terjadi di tempat ini karena tersentuh seruan Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, atau lumrah terjadi saban tahun seperti di daerah kami? 

Bila terjadi setiap tahun, atau bahkan setiap hari, apakah gerakan tersebut hanya sebatas mengantar anak hingga di pintu gerbang sekolah, dan menatap sang anak dari luar pagar pembatas seperti yang saya temukan pagi itu?

Foto dokumen pribadi.
Foto dokumen pribadi.
Kedua, menyambung poin pertama, mengantar anak di hari pertama sekolah tentu bukan tanpa maksud. Menjadikan aktivitas ini sebagai gerakan berarti mengandung konsekuensi, untuk menyebut urgensi. Bila pada kisah lucu di atas letak konsekuensi (yang kemudian menjadi klimaks yang mengundang kelucuan) yakni absennya para guru karena pada waktu bersamaan harus mengantar anak mereka ke sekolah, maka di balik absennya para guru tersebut terkandung arti yang jauh lebih luas. 

Mengantar anak ke sekolah tidak hanya sebatas menemani mereka untuk memberikan suntikan keberanian agar bernyali melangkah ke luar dari zona anak-anak dengan rumah sebagai sentrum. Penyertaan orang tua bersama anak ke sekolah tidak bertujuan tunggal sekadar untuk membunuh rasa takut anak-anak usia tujuh tahunan untuk terjun dalam atmosfer baru. Dunia baru. 

Actus  mengantar anak sesungguhnya adalah membangun jembatan antara rumah dan sekolah sebagai dua institusi penting dalam proses pendidikan seorang anak. Rumah dengan orang tua sebagai aktor utama terhubung dengan sekolah yang bertumpu pada para guru. 

Secara sederhana, kedua institusi tersebut memang beda dalam banyak hal, namun sesungguhnya tak ubah dua sisi dari sebuah mata uang. Dengan tanpa meminggirkan pemerintah dan komponen lain, keberhasilan proses pendidikan seorang anak tak hanya ditentukan oleh salah satu institusi tersebut, tetapi mengabsahkan sinergi antara keduanya. Yang formal di sekolah dan non formal di rumah bersatu membentuk sang anak agar tak hanya cerdas secara intelektual saja tetapi juga moral, spiritual dan emosional. 

Sebagai sebuah aksi, keberhasilan aktivitas tersebut menutut prasyarat penting yakni komunikasi.  Mengutip pendapat filsuf sosial Jerman, Jurgen Habermas (87 tahun), proses komunikasi yang disebutnya sebagai dialog harus bebas represi atau tekanan. Agar komunikasi atau dialog bisa terjadi maka kedua pihak harus berada pada posisi sederajat. Yang satu tak boleh mengatasi yang lain. Tak ada superioritas. Tak ada subordinasi. Tidak ada pula yang mengklaim lebih tinggi dari yang lain. 

Di wilayah tertentu, salah satunya di daerah saya, guru adalah sosok yang yang disegani. Namun, rasa segan dan hormat tersebut kadang melebihi batas. Melampaui kadar kepentingan mereka untuk mencetak para penerus bangsa untuk sampai pada pengkultusan yang bisa mengikis bahkan mengaburkan itikad baik rasa segan dan hormat itu.

Sebaliknya ada pula yang memandang orang tua dengan segala pangkat dan jabatannya sebagai figur yang patut diberi rasa hormat berlebihan. Terkadang hal tersebut berlanjut pada proses pendidikan dengan memberikan privilese-privilese tertentu kepada anak-anak tertentu yang masuk kategori anak pejabat atau anak bos.

Bila di antara para pihak masih berlaku relasi timpang tersebut, maka ikhtiar komunikasi dan dialog yang positif niscaya tak terjadi. Sasaran dialog yang oleh Habermas disebut sebagai saling pemahaman atau konsensus pun sama mustahilnya. Sebaliknya, yang terjadi kemudian adalah otoritarianisme, kepatuhan buta, hingga privilese tak berdasar. Sulit kita mengharapkan hasil baik dari sebuah proses pendidikan dalam iklim seperti ini.

Semestinya orang tua mengantar anak melewati pintu gerbang formalisme, bertemu dan berkomunikasi secara setara dengan para guru, juga para orang tua yang lain. Dalam proses komunikasi itu banyak hal bisa terjadi. Dimulai dengan tegur sapa, dan berlanjut dengan komunikasi yang lebih intens tentang proses pendidikan sang anak baik di sekolah dan kelak di luar gedung sekolah. 

Banyak hal kemudian bisa terjadi. Saling berbagi kekuatan, pengalaman, hingga membangun kepercayaan. Pada gilirannya baik orang tua maupun para guru sama-sama merasa penting dalam proses pendidikan seorang anak. Tidak ada salah satu pihak yang merasa lebih berpengaruh, dan menganggap komponen lain sebagai suplemen semata.

Jamak kita temukan kenyataan bahwa sekolah kerap dijadikan sebagai tempat "sampah" atau arena "pembuangan" tanggung jawab dari salah satu pihak. Bisa jadi sebagai "pelepasan" dari tanggung jawab karena kesibukan atau apatisme orang tua. Atau sebaliknya sekadar "tempat" mencari makan bagi para guru. 

Karena itu, mengantar anak di hari pertama sekolah menjadi langkah awal yang penting untuk membangun rantai kerja sama dan komunikasi antara guru dengan guru, guru dengan orang tua dan orang tua dengan sesama orang tua. Diharapkan rantai awal tersebut akan mewujud jembatan yang kokoh yang tidak hanya bertahan dalam hitungan hari, bulan, caturwulan atau semester saja.

Bila ini terjadi, maka pada gilirannya setiap anak akan merasa semakin lapang berproses pendidikan yang tak lagi tersekat hanya di gedung sekolah atau tempat tinggal saja. Para orang tua dan guru bersekutu sebagai aktor-aktor penting, para pendidik yang urgen untuk mencetak generasi penerus. Kepada mereka, anak-anak pun mempertanggungjawabkan seluruh proses pendidikannya tanpa memandang yang satu lebih penting dari yang lain.

Ketiga, mengingat pentingnya aksi ini maka perlu dipertahankan dari tahun ke tahun. Bila perlu, komunikasi dan pertemuan antara orang tua dan guru, demikianpun sesama orang tua, tidak hanya bersifat tahunan, tetapi dilakukan secara rutin dan terprogram. 

Sejauh pengalaman saya, pertemuan-pertemuan tersebut bisa dihitung dengan jari. Bila tidak di awal tahun, maka saat momen tertentu seperti apa yang dimasa kami diistilahkan dengan "pertemuan orang tua murid" atau hajatan-hajatan sekolah tertentu seperti ulang tahun sekolah, pembagian rapor atau pentas seni dan budaya, dan sebagainya. Namun, terkadang pada momen-momen tersebut, ada orang tua yang mengutus pembantu, atau mendelegasikan kepercayaan kepada bibi, paman, tetangga, bahkan ada yang tidak hadir sama sekali.

Sebagai sebuah gerakan maka perlu dilakukan secara serentak dan masif. Agar bisa berhasil baik maka gerakan ini perlu dibarengi dengan langkah strategis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan sosialisasi tentang pentingnya aksi tersebut. Selain untuk menyadarkan kedua komponen itu (guru dan orang tua), juga instansi-instansi lain yang terkait dengan keberadaan para orang tua supaya merelakan mereka untuk mengantar anaknya di hari pertama sekolah, atau saat-saat penting lainnya. Termasuk pula, menyiasati bila sampai terjadi seperti dalam guyonan di awal tulisan ini.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun