Mengantar anak ke sekolah tidak hanya sebatas menemani mereka untuk memberikan suntikan keberanian agar bernyali melangkah ke luar dari zona anak-anak dengan rumah sebagai sentrum. Penyertaan orang tua bersama anak ke sekolah tidak bertujuan tunggal sekadar untuk membunuh rasa takut anak-anak usia tujuh tahunan untuk terjun dalam atmosfer baru. Dunia baru.Â
Actus  mengantar anak sesungguhnya adalah membangun jembatan antara rumah dan sekolah sebagai dua institusi penting dalam proses pendidikan seorang anak. Rumah dengan orang tua sebagai aktor utama terhubung dengan sekolah yang bertumpu pada para guru.Â
Secara sederhana, kedua institusi tersebut memang beda dalam banyak hal, namun sesungguhnya tak ubah dua sisi dari sebuah mata uang. Dengan tanpa meminggirkan pemerintah dan komponen lain, keberhasilan proses pendidikan seorang anak tak hanya ditentukan oleh salah satu institusi tersebut, tetapi mengabsahkan sinergi antara keduanya. Yang formal di sekolah dan non formal di rumah bersatu membentuk sang anak agar tak hanya cerdas secara intelektual saja tetapi juga moral, spiritual dan emosional.Â
Sebagai sebuah aksi, keberhasilan aktivitas tersebut menutut prasyarat penting yakni komunikasi. Â Mengutip pendapat filsuf sosial Jerman, Jurgen Habermas (87 tahun), proses komunikasi yang disebutnya sebagai dialog harus bebas represi atau tekanan. Agar komunikasi atau dialog bisa terjadi maka kedua pihak harus berada pada posisi sederajat. Yang satu tak boleh mengatasi yang lain. Tak ada superioritas. Tak ada subordinasi. Tidak ada pula yang mengklaim lebih tinggi dari yang lain.Â
Di wilayah tertentu, salah satunya di daerah saya, guru adalah sosok yang yang disegani. Namun, rasa segan dan hormat tersebut kadang melebihi batas. Melampaui kadar kepentingan mereka untuk mencetak para penerus bangsa untuk sampai pada pengkultusan yang bisa mengikis bahkan mengaburkan itikad baik rasa segan dan hormat itu.
Sebaliknya ada pula yang memandang orang tua dengan segala pangkat dan jabatannya sebagai figur yang patut diberi rasa hormat berlebihan. Terkadang hal tersebut berlanjut pada proses pendidikan dengan memberikan privilese-privilese tertentu kepada anak-anak tertentu yang masuk kategori anak pejabat atau anak bos.
Bila di antara para pihak masih berlaku relasi timpang tersebut, maka ikhtiar komunikasi dan dialog yang positif niscaya tak terjadi. Sasaran dialog yang oleh Habermas disebut sebagai saling pemahaman atau konsensus pun sama mustahilnya. Sebaliknya, yang terjadi kemudian adalah otoritarianisme, kepatuhan buta, hingga privilese tak berdasar. Sulit kita mengharapkan hasil baik dari sebuah proses pendidikan dalam iklim seperti ini.
Semestinya orang tua mengantar anak melewati pintu gerbang formalisme, bertemu dan berkomunikasi secara setara dengan para guru, juga para orang tua yang lain. Dalam proses komunikasi itu banyak hal bisa terjadi. Dimulai dengan tegur sapa, dan berlanjut dengan komunikasi yang lebih intens tentang proses pendidikan sang anak baik di sekolah dan kelak di luar gedung sekolah.Â
Banyak hal kemudian bisa terjadi. Saling berbagi kekuatan, pengalaman, hingga membangun kepercayaan. Pada gilirannya baik orang tua maupun para guru sama-sama merasa penting dalam proses pendidikan seorang anak. Tidak ada salah satu pihak yang merasa lebih berpengaruh, dan menganggap komponen lain sebagai suplemen semata.
Jamak kita temukan kenyataan bahwa sekolah kerap dijadikan sebagai tempat "sampah" atau arena "pembuangan" tanggung jawab dari salah satu pihak. Bisa jadi sebagai "pelepasan" dari tanggung jawab karena kesibukan atau apatisme orang tua. Atau sebaliknya sekadar "tempat" mencari makan bagi para guru.Â
Karena itu, mengantar anak di hari pertama sekolah menjadi langkah awal yang penting untuk membangun rantai kerja sama dan komunikasi antara guru dengan guru, guru dengan orang tua dan orang tua dengan sesama orang tua. Diharapkan rantai awal tersebut akan mewujud jembatan yang kokoh yang tidak hanya bertahan dalam hitungan hari, bulan, caturwulan atau semester saja.