Bertemu kawan baru di hari pertama, bagi kami kala itu dan tentu ukuran anak-anak yang baru lewat lima tahun, tak lebih dari aksi pamer atribut yang untuk pertama kali dikenakan. Topi, baju, celana, tas dan seisinya dipertontonkan dengan percaya diri. Masing-masing tak mau kalah, saling berlomba mengklaim keakuan bahwa milik saya adalah yang terbaik.
Bahkan ada yang tak peduli bahwa baju yang dikenakan terlalu besar untuk ukuran tubuh yang ceking. Tak juga ambil pusing dengan kaki yang terlalu berjenjang dan potongan celana yang hanya menutup sebagian paha secara tak proporsional karena celana yang dikenakan terlalu kecil. Sebagian potret para murid baru, bocah-bocah Belitong, yang kemudian menjadi tokoh penting dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata seakan menyata kala itu. Lintang, Sahara, Mahar, A Kiong, Syahdan, Kucai, Borek, Trapani, dan juga Harun, muncul secara baru dalam diri para murid baru di sekolah kami itu.
Selain itu, kami yang mengenakan barang-barang baru itu larut dalam aksi narsisme yang menguburkan latar belakang riil. Sebagian besar dari kami seakan tak sadar bahwa sebetulnya atribut-atribut tersebut adalah kristalisasi butir-butir keringat perjuangan keras orang tua mencangkul kebun berhari-hari, memelihara ternak berbulan-bulan hingga berganti tahun, atau menguji nyali dan menantang maut berkali-kali mengambil tuak di pucuk pohon enau yang tinggi menjulang.
Dengan mayoritas penduduk sederhana-untuk mengatakan miskin yang menggantung nasib pada sektor pertanian dan peternakan tradisional, seperangkat pakaian sekolah itu harus diperoleh dengan perjuangan ekstra. Bahkan sangat ekstra dengan mengorbankan banyak hal.
Atau bagi yang lain-dari golongan “minoritas” yakni pegawai-yang tentu saja bukan dari kelas pejabat-atribut yang dikenakan anak-anak itu adalah hasil "ikat perut" dan laku "kencangkan ikat pinggang" bersama dalam keluarga selama sekian waktu. Atau menjalani peri hidup super irit agar bisa menabung berhari-hari.
Ah, bagi kami kali itu, apa yang dilakukan orang tua untuk membuat kami tampak gagah di hari pertama itu berada jauh di luar batok kepala dan ruang kesadaran infantil. Mungkin juga tak peting diketahui, seperti para orang tua pejuang yang tak mau peduli dengan beratnya perjuangan mereka asalkan buah hati mereka bisa datang dan tampil percaya diri di hari pertama sekolah.
Dengan pemandangan yang jauh berbeda, setelah sekian tahun tak bersua, hal serupa saya temukan lagi pada awal pekan 18 Juli lalu. Bukan di daerah asal, tetapi di tanah rantau. Dalam perjalanan ke kantor, saat melintas di jalang potong menuju Stasiun Sudimara, Tangerang, Banten, saya melintas di salah satu sekolah dasar di daerah Serua. Tepat di hari pertama tahun ajaran baru 2016/2017, menuju jam masuk sekolah.
Jalan yang semula sempit, semakin kehabisan ruang untuk arus kendaraan yang cukup padat, akibat berjubel kendaraan roda dua yang terparkir begitu saja di sepanjang sisi jalan di halaman sekolah. Belum lagi lautan manusia yang membludak di sisi jalan. Bisa dipastikan kebanyakan dari mereka datang dari kalangan orang tua yang mengantar anak-anak mereka. Terbukti, mereka tak mau peduli dengan ruang yang semakin sempit ditingkahi bunyi klakson dan erangan kendaraan yang meraung-raung, demi memandang tingkah anak-anak mereka yang tengah berkumpul di halaman sekolah.
Saya mafhum dengan keadaan itu sehingga dengan lapang hati menikmati riak kesibukan pagi itu. Roda dua tua yang saya kendarai dipacu dengan santai, mencari ruang sempit untuk berlalu, sambil sesekali mencuri pandang pada kerumunan itu. Dalam hati, saya hanya bisa menduga. Apakah pemandangan ini baru pertama kali terjadi di tempat ini karena tersentuh seruan Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, atau lumrah terjadi saban tahun seperti di daerah kami?
Bila terjadi setiap tahun, atau bahkan setiap hari, apakah gerakan tersebut hanya sebatas mengantar anak hingga di pintu gerbang sekolah, dan menatap sang anak dari luar pagar pembatas seperti yang saya temukan pagi itu?