Jujur, saya baru dua kali bertemu langsung, walau beberapa menit saja, dengan dua dari deretan menteri Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pertama adalah DR. Ir. Mochamad Basoeki Hadimoeljono, M. Sc, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Yang kedua adalah Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong.
Berbeda dengan pertemuan pertama, pada pertemuan kedua intensitas dan nilai rasa sedikit berbeda. Dengan tanpa bermaksud membuat komparasi, apalagi penilaian, dengan Tom Lembong saya mendapat kesan berbeda. Bisa saja, suasana atau atmosfer yang diciptakan memungkinkan hal itu. Namun tak kalah menentukan penampilan lahiriah menteri kelahiran Jakarta, 45 tahun silam itu.
Senyumnya selalu mengembang. Berpadu dengan lesung pipit yang tergurat jelas. Anggukan tegas, dan tak pernah alpa mengucapkan kata “terima kasih” untuk setiap pertanyaan dan komentar, apapun itu. Genggaman tangannya erat, dan nyaris tak mau melewatkan momen untuk mengucapkan patah kata kepada setiap orang yang disalami. Memberi diri untuk didekati, dan sepertinya enggan untuk pergi setelah sesi foto-foto yang sarat euforia.
“Iyah bapak suka momen seperti itu, dia senang hal-hal begitu. Tidak keberatan,” seorang ibu yang menjadi bagian dari anggota rombongan sang menteri coba menjelaskan kepada sejumlah orang yang memandang keseruan sesi salam-salaman dan foto bersama.
Momen itu terjadi pada Rabu, 22 Juni lalu. Aroma aneka jenis kopi tercium jelas di sana-sini. Batas-batas antara para pengunjung dan peserta Nangkring Kompasiana bersama Kementerian Perdagangan sangat kabur di Anomali Coffee, Menteng, Jakarta Pusat, sore itu.
Senyum sang menteri yang terus mengembang selama kurang lebih tiga jam kebersamaan terasa kontras dengan topik yang diperbincangkan saat itu. Daging sapi. Ya, tema ini sangat sensitif dan seksi, terutama saat-saat menjelang hari raya seperti saat ini. Buah bibir dan pemberitaan luas tentang sumber protein hewani tertinggi itu cukup menyita ruang publik. Bahkan sampai menggoda Presiden Jokowi, turun tangan.
Instruksi untuk menurunkan harga daging sapi hingga Rp.80.000 dari kisaran Rp.120.000 hingga Rp.130.000 menjadi titik kulminasi dari campur tangan orang nomor satu di negeri ini. Bagi sebagian orang perintah Jokowi itu lebih sebagai retorika belaka, untuk mengatakan sesuatu hal mustahil. Buktinya, hingga saat ini masih ada yang berteriak-teriak tentang harga daging sapi yang tinggi.
Tom Lembong menyambut perintah Jokowi itu dengan tenang, mungkin dengan tetap tersenyum, walau usaha penurunan secara signifikan itu disebutnya sebagai bagian dari proses “jungkir balik.”
Tidak Ada Harga Tunggal
Ketika Jokowi memerintahkan bahwa harga daging sapi harus menyentuh angka Rp.80.000, pertanyaan penting yang muncul, jenis dan kualitas daging sapi yang mana? Apakah harga tersebut berlaku bagi semua jenis dan kualitas daging sapi?
Jawabannya, tentu saja tidak. Dari pemaparan sang menteri terlihat jelas bahwa setiap bagian dari tubuh makhluk berkaki empat itu memiliki kualitas dan peruntukan tersendiri, yang pada gilirannya berpengaruh pada harganya.
Secara umum dari pemotongan seekor sapi akan menghasilkan edible meat atau daging yang bisa dikonsumsi dengan standar mutu tertentu, serta offale meatatau lazim disebut sebagai daging apkir atau daging yang tidak dikonsumsi serta tak memiliki standar mutu.
Dalam konteks Indonesia, pemisahan antara kedua jenis tersebut pada tingkat tertentu kabur, bahkan bisa hilang sama sekali. Bila mau jujur, hampir tak ada bagian dari tubuh seekor sapi yang tak berarti dan berharga di Tanah Air ini. Dari ujung kepala hingga ujung kaki seekor sapi ada manfaatnya, terutama untuk konsumsi manusia. Sebagai contoh, kuping dan bagian bibirnya bisa dijadikan rujak cingur, kulit diolah menjadi rambak dan, buntut dijadikan sup. Padahal, di luar negeri, jenis tersebut masuk kategori offale meat yang dijadikan sebagai pakan ternak dengan harga sangat murah.
Secara umum kita mengenal beberapa jenis potongan daging sapi. Daging dengan kualitas sangat bagus disebut dengan primary cut. Termasuk dalam jenis ini yakni has dalam atau tenderloin (dihasilkan dari pemotongan dari otot utama sekitar pinggang sapi, atau sekitar bahu dan tulang pinggul, dengan tingkat kelunakannya yang tinggi karena otot-toto di bagian tersebut jarang digunakan untuk beraktivitas), bagian has dalam (tenderloin), has luar atau sirloin (dari bagian iga)), lamusir atau lamosir (bagian belakang sapi di sekitar has dalam, has luar dan tanjung), yang biasa dimanfaatkan untuk membuat steak, wagyu dan kebutuhan unggulan untuk restoran dibanderol seharga Rp120.000/kg-Rp130.000/kg.
Tingkat di bawahnya disebut secondary cut tipe A-B yang kerap dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia umumnya untuk rendang, semur, dendeng, abon yang berasal dari pemotongan bagian samacan, tanjung atau rump (berasal dari daerah punggung bagian belakang), sengkel (diambil dari kaki bagian depan atas, umumnya untuk menghasilkan kaldu), dan sebagainya dihargai dari Rp80.000,00/kg hingga Rp115.000,00/kg.
Jenis lainnya adalah manufacturing meatuntuk keperluan industri seperti daging dadu, daging tetelan, daging giling, berharga Rp40.000/kg-Rp60.000,00/kg. Berikutnya, bagian lidah, buntut, daging kepala yang dikenal dengan sebutan fancy and variety meal(daging variasi), dihargai Rp65.000/kg-Rp100.000,00/kg. Jenis terakhir adalah jeroan yakni hati, limpa, usus, paru, otak, jantung, babat, dibanderol Rp.30.000/kg-Rp40.000/kg.
Dengan mengacu pada tingkat kebutuhan masyarakat, harga Rp.80.0000/kg untuk bagian sengkel, tanjung, samcan, dan lain-lain dianggap masuk akal. Pertimbangan bahwa kebutuhan untuk kualitas unggul untuk steak dan wagyu yang lebih terjangkau untuk kaum berkantong tebal, maka mengejar harga Rp.80.000 untuk setiap kilogram daging sapi yang lebih menyasar masyarakat umumnya adalah bagian dari usaha populis.
Selain itu, mematok harga tunggal untuk semua jenis potongan akan berdampak pada para peternak kecil di Indonesia. Pasalnya harga yang dipatok tersebut sebagian besar berasal dari konversi harga sapi di luar negeri, dari mana selama ini kita menggantungkan diri. Bahkan hingga menjelang hari Lebaran ini pasokan daging sapi untuk wilayah Indonesia berasal diimpor dari Australia hingga juli sebanyak 1.000 ton atau hingga akhir tahun mencapai 29.500 ton (Viva.co.id,Jumat, 17 Juni 2016).
Apakah masyarakat Indonesia tak berhak untuk mengkonsumsi daging kualitas nomor satu? Tentu saja berhak. Persoalannya, apakah masyarakat mampu mendapatkan jenis tersebut dengan harga tinggi? Alih-alih mendapatkan primary cutperjuangan untuk mendapatkan secondary cutdengan harga Rp.80.000.00/kg penuh perjuangan.
Menurut Tom Lembong, tingginya harga daging sapi di Indonesia, dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, tak lepas dari beragam faktor yang saling berpautan. Pertama,soal efisiensi. Biaya dalam proses produksi khususnya dan ekonomi umumnya di Indonesia sangat tinggi (high cost economy). Akibatnya terjadi inefisiensi atau pengeluaran tambahan untuk sesuatu yang semestinya bisa dipangkas.
Tom Lembong mencontohkan salah satu kendala akut di Tanah Air yang berpengaruh pada efisiensi tersebut yakni soal infrastruktur. Dibandingkan para negara tetangga, Indonesia mengalami keterbatasan infrastruktur dan akses yang mempermudah dalam rantai ekonomi.
Sebagai contoh, antara feedlotatau tempat penggemukan sapi, RPH (Rumah Potong Hewan) dan pasar, masih berjarak. Dalam jarak itu masih diperparah lagi, misalnya dengan kemacetan. Coba tengok situasi Jakarta. Hampir tak ada sudut kota yang tak tersentuh kemacetan, bukan?
Kedua,berkaitan dengan fasilitas. Indonesia selain mengalami keterbatasan juga keandalan sarana. Tom Lembong mencotohkan, berdasarkan hasil kunjungannya ke sejumlah negara seperti Australia, di negara-negara maju itu mereka menggunakan alat-alat modern. Setiap RPH sudah pasti menggunakan alat potong modern sehingga karkas (hasil utama pemotongan yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi disbanding non karkas atau offal) atau daging semi kemas, jauh lebih maksimal. Menurutnya dengan menggunakan alat modern itu maka cost per unitmenjadi rendah.
“Coba bandingkan dengan di negara kita yang sebagian besar masih secara manual, menggunakan pisau,”ungkapnya membandingkan.
Ketiga,keterbatasan tersebut tak hanya terjadi di kota-kota besar seperti Jabodetabek dan Jawa Barat yang nota bene menjadi barometer harga daging sapi di Tanah Air. Di luar daerah pun memiliki kendala tersendiri.
Dalam kunjungannya ke Nusa Tenggara Timur, salah satu provinsi denga potensi peternakan yang menjanjikan, beberapa waktu lalu, Tom menemukan keterbatasan mendasar yakni air. Kekurangan air yang menjadi sumber utama kehidupan dan pertanian dengan sendirinya berdampak pada usaha peternakan.
Keempat,berkaitan dengan poin ketiga, daerah-daerah di luar Jawa memiliki potensi untuk menjadi sentra-sentra peternakan yang menjanjikan. Selain Nusa Tenggara Timur, ada pula Sulawesi, Kalimantan, Lampung, Bali dan beberapa tempat lainnya.
Berbeda dengan Jabodetabek dan Jawa Barat yang menjadikan sapi sebagai industri, daerah-daerah masih mengandalkan pola peternakan keluarga atau persapian keluarga. Ternak-ternak yang dihasilkan sebagian besar untuk konsumsi dan belum dikelola secara baik sebagai industri. Bahkan masih merebak praktik yang disebut Tom sebagai pengrusakan struktural yakni membantai induk-induk sapi.
Walau masih mengandalkan pola tradisional, tingkat swasembada daging sapi di luar Jabodetabek dan Jawa Barat lebih tinggi, untuk mengatakan sudah tercapai. Menurut Tom Lembong, di Jabodetabek dan Jabar, seiring tingkat urbanisasi yang tinggi, permintaan akan pasokan daging sapi pun setali tiga uang.
Pola industri yang sudah dihidupi tetap saja tak mampu mencukupi kebutuhan yang terus meningkat. Tak pelak saat hari-hari raya tiba, permintaan akan melonjak naik, dan dengan sendirinya akan mempengaruhi fluktuasi harga.
Dengan tingkat permintaan yang tinggi, daerah-daerah masih belum bisa diandalkan untuk mencukupi kebutuhan itu. Keterbatasan di daerah-daerah, termasuk soal ongkos dan biaya pengiriman yang tinggi, semakin melengkapi penderitaan kita. Pemerintah pun tak memiliki pilihan lain selain membuka dan meningkatkan keran impor sebagai solusi sementara.
Kedaulatan pangan
Dalam situasi seperti ini, dengan senyum yang terus mengembang, Tom sama sekali tak terlihat patah semangat. Malah, semakin malam semangatnya semakin menggebu. Ruang kafe yang tak terlalu luas, terus melebarkan tangannya menampung pengunjung yang datang dan pergi, membuat suasana semakin hangat.
Kondisi persapian Indonesia yang memprihatinkan, dan tekanan masyarakat yang tinggi tak membuatnya kehilangan harapan. Baginya impor adalah solusi jangka pendek untuk menyelamatkan situasi. Namun di depan sana, di masa datang, menurut Lembong, cita-cita swasembada daging harus terus digemakan.
Walau membutuhkan proses panjang, sekitar 10 tahun, Tom optimistis dengan program yang saat ini sedang digalakkan Jokowi-Jusuf Kalla yang menempatkan infrastruktur (irigasi, pengangkutan melalui tol laut, dll) sebagai salah satu prioritas pembangunan. Baginya infrastruktur adalah mutlak untuk mengatasi keterbatasan serta membuka keran investasi untuk membangun sarana-sarana produksi, sentra-sentra persapian, RPH modern, serta berbagai hal penting lainnya.
Ia mencontohkan Nusa Tenggara Timur. Saat ini di NTT, sedang dibangun tujuh waduk yang beberapa dari antaranya akan segera beroperasi. Ketersediaan air yang memadai dengan sendirinya akan membuka jalan bagi sektor pertanian (untuk pakan ternak) dan sektor-sektor pendukung lainnya.
Usaha tersebut akan berpelukan dengan program pemerintah yang menargetkan populasi 1 juta sapi pada 2018. Seperti diberitakan Bisnis.com (Kamis, 28/05/2015), Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro mengaku bahwa tren pertumbuhan jumlah populasi sapi di NTT dalam 3 tahun terakhir mengalami peningkatan.
Untuk mendukung program tersebut, selain giat menjalankan program perbaikan genetik sapi melalui inseminasi buatan (IB), juga mengambil langkah untuk mengantisipasi kekurangan pakan ternak terutama pada musim kemarau.
Menurut Syukur, "Di NTT… 3-4 bulan musim basah, sisanya musim kering. Itu salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas sapi-sapi kita yang ada. Terobosan yang dilakukan untuk mengantisipasi hal ini, yaitu membangun embung, atau tempat penampungan air.".
Selain itu, yang tak kalah penting adalah kerja sama lintas komponen, terutama antarkementrian terkait. Tak dipungkiri, urusan sapi bertalian juga dengan sejumlah kementrian seperti pertanian dan perindustrian.
Sejauh ini menutur Tom, hubungan di antara kementrian tersebut berlangsung harmonis. “Kerja sama dan koordinasi kita dengan beberapa kementrian baik. Hubungannya sangat cair.”
Namun demikian, Tom tetap mengharapkan dukungan dari masyarakat luas melalui kritik dan masukan konstruktif.
“Kami harus terus diingatkan, dipressure, ditekan, agar tidak ego sektoral,”pesan Tom kepada para blogger yang mayoritas hadir saat itu.
Tak kalah penting, dalam rangka tersebut, Tom berharap agar masyarakat semakin tercerahkan untuk menggalakkan konsumsi daging beku, sebagai ganti daging segar. Menurutnya perubahan pola pikir tersebut penting, mengingat sifat daging beku yang bisa disimpan dengan tanpa mengurangi kualitasnya sehingga bisa tahan terhadap fluktuasi harga.
Akhirnya, “jungkir balik” ala Tom tersebut bermuara pada satu itikad yakni ketercukupan gizi bagi seluruh rakyat, keterjangkauan harga dengan kualitas terbaik, kesejahteraan para pekerja dan peternak, serta mampu meningkatkan pasokan atau ketersediaan sehingga pola konsumsi dari impor berubah menjadi ekspor. Inilah cita-cita yang digantungkan Tom dalam senyum simpul optimismenya itu, dalam istilah yang sangat disukainya, yakni kedaulatan pangan.
Semoga antara cita-cita luhur sang menteri dan realisasi bisa berpelukan, seperti persenyawaan antara wangi kopi dan aroma daging rendang yang disantap malam itu (seturut penuturan sang pemilik kafe, Irvan Helmi berasal dari jenis yang seharga Rp.80.000,00/kg). Aduhai, nikmatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H