Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Copa America Centenario, Proyek Gagal Carlos Dunga

14 Juni 2016   14:29 Diperbarui: 14 Juni 2016   15:04 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
HECTOR RETAMAL/Getty Images

Lucas Lima bermain impresif saat menghadapi Peru namun tak memberikan dampak signifikan, Jim Rogash/Getty Images
Lucas Lima bermain impresif saat menghadapi Peru namun tak memberikan dampak signifikan, Jim Rogash/Getty Images
Namun, kehadiran Lima sama sekali belum menyentuh inti kebutuhan Brasil. Bukannya mengubah gaya bermain, perjudian yang dilakukan Dunga justru lebih pada formalisme bentuk.

Menghadapi Peru, Dunga mengubah formasi dari 4-1-4-1 menjadi 4-2-3-1. Jelas formasi ini membuat Brasil kehilangan keseimbangan. Lima lebih memainkan peran ofensif, ketimbang menjaga agar pergerakan tim tak limbung. Malah Lima mencaplok ruang yang semestinya menjadi sasaran empuk Coutinho yang gemar memotong dari sisi kiri.  

Ketidakakuratan Dunga meracik komposisi tim berbanding lurus dengan kelambanan strategis. Dalam posisi terjepit, saat tim kehilangan keseimbangan dan kreativitas, semestinya dibutuhkan solusi cepat. Minimal ada rencana B yang bisa dimainkan. Pertandingan pertama dan terakhir, menghadapi Ekuador dan Peru, nir gol adalah potret lemahnya Dunga mengantisipasi situasi saat lawan bermain lebih taktis.

Untuk tim sekelas Brasil semestinya ada cara lain untuk mengubah startegi. Namun, hal seperti itu tak kita temukan. Bahkan di laga terakhir, selama 90 menit penuh, Dunga ‘keukeuh’ dengan formasi 4-2-3-1. Satu-satunya pergantian yang dilakukan hanyalah memasukan Gabriel Barbosa. Apa arti deretan pemain potensial di bangku cadangan?

Dalam kondisi seperti ini terlihat bahwa Brasil telah kehilangan roh, semangat dan kreativitas. Ketiadaan ujung tombak mumpuni berpelukan dengan ketergantungan yang sangat pada Neymar. Saat Neymar tak ada maka terlihat jelas rupa kepelatihan Dunga yang karut-marut. Ambisi dan tekadnya untuk membangun kembali kejayaan Brasil malah berakhir miris. Dunga dan proyek gagalnya berpelukan.

Gambaran kegagalan ini, serta target emas di Olimpiade Rio kurang dari dua bulan ke depan, apakah Brasil masih tetap berharap pada Dunga?

Menanggapi berbagai rumor miring terkait masa depannya di timnas, Dunga berujar, “Ketika Anda bekerja untuk tim Brasil, Anda tahu bahwa kritik akan datang secara intensif saat hasil tak datang. Di Brasil kami ingin semuanya berubah dalam dua menit, tetapi dalam sepak bola Anda harus bersabar. Saya tidak takut pemecatan, saya hanya pada kematian.”

Apakah dua tahun bukan waktu yang panjang, Dunga?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun