Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Indonesia Belum Bisa Move On di Istora yang Kian Menua

5 Juni 2016   21:39 Diperbarui: 6 Juni 2016   20:07 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil final Indonesia Open 2016/gambar dari @badmintonupdates

Berakhirnya BCA Indonesia Open Super Series Premier 2016, Minggu (05/06) menorehkan sejarah tersendiri bagi perbulutangkisan Indonesia. Alih-alih naik podium utama, Merah Putih pun mengukir hattrick tanpa gelar di kandang.

Sejak terakhir kali ganda putra Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan naik podium utama tahun 2013, Merah Putih tak lagi berkibar di ajang Indonesia Open. Istora Bung Karno, Senayan, Jakarta tampaknya semakin tak bersahabat walau kecintaan masyarakat pada tempat tersebut tak juga memudar.

Sebagai satu-satunya stadion dengan fasilitas terlengkap di Tanah Air, perhelatan Indonesia Open tak pernah beranjak dari tempat tersebut. Meski demikian patut diakui tingkat kepantasannya semakin berkurang seiring usia yang menua dan perawatan yang tak maksimal.

Hampir tak pernah ada perubahan signifikan di tempat tersebut dari tahun ke tahun, selain balutan dekoratif yang meperlihatkan kesan semarak dan wah di titik-titik tertentu. Buktinya langsung terlihat di babak pertama saat hujan lebat mengguyur Ibu Kota.

Atap stadion kebanggaan itu bocor dan mengganggu pertandingan di tiga lapangan yang ada. Pertandingan Jonatan Christie menghadapi Hsu Jen Hao asal Taiwan sempat terhenti beberapa menit menunggu para petugas mengeringkan lapangan.

Lin Dan yang bertemu tunggal Malaysia Zulfadli Zulkiffli pun tak bisa menutup mulut melihat kondisi miris itu. Menurut jagoan Tiongkok itu, peristiwa tersebut tak pernah ditemuinya selama ini. Seloroh yang sangat menohok, bukan?

Kondisi ini mengisyaratkan bahwa Istora tak bisa lagi diandalkan. Sebagai negara dengan tradisi bulu tangkis yang kuat dan mengandalkan cabang tersebut untuk berkibar di pentas internasional, fasilitas dan infrastruktur dasar itu mesti sudah disiapkan dan diantisipasi jauh-jauh hari.

Namun, yang terjadi Indonesia hampir tak pernah bisa berbenah dan move on dari tempat tersebut. Bahkan, di ajang Indonesia Open kali ini Indonesia ‘melanggar’ ketentuan BWF terkait arena pertandingan.

Seperti ditulis Harian Kompas,Kamis, 2 Juni 2016 hal. 28, satu dari empat poin terkait arena untuk sebuah turnamen kelas super series/super series premier, ialah dimainkan minimum di empat lapangan.

“Banyak alasan mengapa kami memakai tiga lapangan, mulai dari faktor kenyamanan pemain dan penonton, aktivitas di lapangan, sampai pada kepentingan sponsor,” dalih Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri PP PBSI Bambang Rudy Roedyanto.

Alasan yang dikemukakan di atas sebetulnya bertitik pangkal pada kesanggupan Istora, walau ‘pelanggaran’ sejenis pernah terjadi di tahun ini di Hong Kong Terbuka dengan kompensasi durasi turnamen diperpanjang seperti terjadi di Indonesia Open kali ini.

Rekor
Dengan kondisi demikian, perhelatan Indonesia Open selalu mendapat apresiasi dari BWF. Dari tahun ke tahun, BWF dan para pebulutangkis dunia selalu angkat topi untuk kesuksesan penyelenggaraan dan antusiasme penonton yang luar biasa.

Hemat saya, tahun ini pun predikat sebagai turnamen terbaik di dunia masih pantas dialamatkan kepada Indonesia. Untuk kesuksesan itu kita pun patut memberikan apresiasi kepada para penyelenggara dan para pihak yang terkait.

Berkat kerja keras dan kerja bersama semua pihak ajang ini bisa berlangsung sampai akhir dan memberikan andil bagi terciptanya sejumlah rekor. Pertama, Istora adalah tempat kelima bagi ganda putri Jepang Misaki Matsutomo/Ayaka Takahashi naik podium utama sepanjang tahun ini.

Kemenangan atas ganda Tiongkok Yu Yang/Tang Yuanting, dengan skor 21-15, 8-21, 21-15, melengkapi prestasi ganda terbaik dunia ini di Malaysia Masters, All England, India Open Super Series dan Kejuaraan Badminton Asia.

Kemenangan tersebut sekaligus mematahkan dominasi Tiongkok di Indonesia Open dalam lima tahun terakhir.

Kedua, Istora masih berpihak pada ganda campuran Tiongkok Xu Chen/Ma Jin. Kemenangan atas Ko Sung Hyun/Kim Ha Na (Korea), dengan skor 21-15, 16-21, 21-13, membuat unggulan lima tersebut sukses mempertahankan gelar.

Kemenangan tersebut sekaligus memperbaiki rekor pertemuan keduanya menjadi 2-4. Dalam usia yang tak muda lagi, Xu (31) dan Ma (28) masih belum kehilangan taji. Pemandangan ini berbanding terbalik dengan ganda campuran Indonesia, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir.

Finalis ganda campuran Indonesia Open 2016/badmintonindonesia.org
Finalis ganda campuran Indonesia Open 2016/badmintonindonesia.org
Ketiga, Istora menjadi saksi kedigdayaan pemain veteran Lee Chong Wei. Jagoan Malaysia itu masih terlalu tangguh bagi tunggal senior Denmark, Jan O Jorgensen. Melalui pertarungan sengit tiga set 17-21, 21-19, 21-17, tunggal 33 tahun itu pun melaju dalam rekor pertemuan menjadi 16-1 sekaligus mengukuhkan kejayaannya di Indonesia Open untuk keenam kalinya, setelah sebelumnya di tahun 2007, 2009, 2010, 2011 dan 2013.

Pencapaian sang Dato ini menyamai tiga legenda Indonesia yakni Taufik Hidayat (juara tahun 1999, 2000, 2002, 2003, 2004, 2006), Ardy B Wiranata (juara tahun1990, 1991, 1992, 1994, 1995 dan 1997) dan mantan tunggal putri Susy Susanti di tahun 1989, 1991, 1994, 1995, 1996 dan 1997.

Keempat, ganda putra terbaik dunia Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong berhasil mengulangi kejayaan di tahun 2014 usai meladeni ganda muda Tiongkok Chai Biao/Hong Wei, 13-21, 21-13, 21-16.

Kemenangan Tai Tzu Ying di sektor tunggal putri melengkapi persebaran gelar di Indonesia Open kali ini. Tunggal 21 tahun itu menggantikan tunggal nomor dua dunia Ratchanok Intanon di podium utama, serentak menggagalkan menggagalkan Tiongkok mengulangi pencapaian dua gelar tahun lalu

Hasil final Indonesia Open 2016/gambar dari @badmintonupdates
Hasil final Indonesia Open 2016/gambar dari @badmintonupdates
Harapan
Seperti disinggung sebelumnya perhelatan Indonesia Open kali ini masih meninggalkan catatan hitam bagi para wakil Tanah Air. Ironi terjadi di cabang-cabang unggulan yang ditargetkan meraih juara seperti ganda putra, ganda campuran dan ganda putri. Alih-alih berbicara banyak, para andalan itu keok secara tak terduga.

Situasi ini mendatangkan kecemasan tersendiri bagi persiapan mereka jelang perhelatan Olimpiade Rio Janeioro, Brasil pada Agustus nanti. Bila tak segera disikapi secara serius bukan mustahil target medali bakal lepas.

Berbanding terbalik dengan para senior, para pemain muda justru bersinar. Walau akhirnya hanya satu yang lolos ke semi final, tercatat lima penerus mampu menembus babak delapan besar. Mereka adalah duo ganda putri Anggia Shitta Awanda/Ni Ketut Mahadewi Istarani dan Tiara Rosalia Nuraidah/Rizki Amelia Pradipta, duo tunggal putra Jonatan Christie dan Ihsan Maulana Mustofa, serta pasangan ganda campuran, Alfian Eko Prasetya/Annisa Saufika.

Dengan tanpa mengabaikan wakil lainnya, kiprah Jonatan Christie dan Ihsan Maulana mengalami peningkatan signifikan. Jonatan nyaris menjegal ‘pembunuhnya’ tahun lalu, Jan O Jorgensen, bila saja fisik dan konsentrasinya prima. Sebelumnya pebulutangkis yang karib disapa Jojo itu mampu menumbangkan sang idola sekaligus salah satu pebulutangkis kawakan, Lin Dan.

Sementara Ihsan mampu mengukir sejarah tersendiri. Pebulutangkis 20 tahun itu membuat sang juara Lee Chong Wei kerepotan di semi final. Keduanya pun mendapat apresiasi dari lawan-lawannya dan digadang-gadang memiliki masa depan yang cerah.

Ihsan Maulana dan Hendri Saputra/badmintonindonesia.org
Ihsan Maulana dan Hendri Saputra/badmintonindonesia.org
Berbekal pencapaian tersebut, tunggal asal Tasikmalaya, Jawa Barat itu akan naik 10 strip ke rangking 19 dunia pekan depan, menggeser rekan seangkatan Jojo.

“Namun masih banyak yang mesti ditingkatkan dari pemain-pemain ini, soal mental adalah pekerjaan besar. Semangat masih kurang, dan masih kurang ulet juga,” evaluasi Kepala Pelatih Tunggal Putra Hendry Saputra dikutip dari badmintonindonesia.org.

Mudahan-mudahan apresiasi dini itu tak membuat mereka cepat berpuas diri. Tetapi menjadi pelecut untuk bekerja keras menempa teknik dan mengasah mental melalui berbagai kejuaraan.

Hingga akhirnya harapan yang digantung kepada mereka bisa berbuah pada waktunya. Salah satunya saat Indonesia Open kembali dihelat di tahun berikutnya, mereka mampu mengakhiri kisah buruk di Istora, yang tentu saja sudah berubah rupa setelah direnovasi untuk Asian Games 2018.

N.B

Daftar pengoleksi gelar super series tahun 2016 berdasarkan negara/@badmintonupdates
Daftar pengoleksi gelar super series tahun 2016 berdasarkan negara/@badmintonupdates

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun