Selama delapan bulan ke depan roda sepak bola dalam negeri seakan bergeliat dan sejumlah regulasi yang dipatok memberikan angin segar bagi format penyelenggaraan kompetisi yang diidamkan. Anggap saja, TSC menjadi kesempatan uji coba sekaligus pencarian model ideal untuk kompetisi dalam negeri.
Namun, bagaimana dengan nasib regenerasi pemain? Setelah delapan bulan apa yang akan terjadi dengan para pemain muda, dan ke mana perginya para pemain potensial? Dari format TSC jelas terlihat tak ada degradasi sehingga mengerangkeng nuansa kompetisi di antara para pemain dan klub peserta. Mereka bertanding semata-mata untuk TSC. Tak ada yang lain.
Setelah TSC berakhir tak ada jaminan bagi para pemain untuk ‘naik level’ ke tim nasional. Demikian pun klub juara hanya berakhir dengan nama, dan menggenggam trofi untuk dipajang di kandang sendiri. Ruang lingkup pergerakan pemain dan klub-klub terbatas. Tak ubahnya seperti katak dalam tempurung, maksudnya bergerak dalam ruang lingkup yang sangat sempit dan tertutup.
Dalam situasi seperti ini, langkah reformasi struktural-administratif menjadi penting. Di satu sisi, pencabutan pembekuan PSSI oleh pemerintah menjadi momentum introspeksi bagi para pihak terkait untuk menata diri secara baik.
Di sisi lain, pemerintah dan pihak terkait terutama PSSI harus duduk bersama untuk mencari jalan keluar terbaik. Dialog merupakan bentuk komunikasi yang baik. Namun dialog, menyitir pemikiran filsuf Jerman, Jurgen Habermas menyaratkan sikap saling pengertian dan menempatkan satu sama lain dalam posisi setara. Menganggap diri benar hanya akan melahirkan sikap apatis dan arogan. Jangan harap masalah akan menumui titik penyelesaian bila para pihak saling membentengi diri dengan sikap superior.
Persis situasi inilah yang yang membuat pemerintah dan PSSI menjadi seperti ‘kucing dan anjing”. Kedua kubu menganggap diri paling benar dan mengatasi yang lain. Alhasil insan persepakbolaan tak berdosa jadi korban. Arah persepakbolaan kita pun tak jelas arah.
Bila situasi ini tak segera diatasi, maka jangan harap prahara sepak bola Indonesia berakhir. Turnamen demi turnamen yang dibuat tak lebih dari pelipur lara sesaat, tanpa arah dan menyasar tujuan esensial yakni kebangkitan sepakbola Indonesia dan prestasi individu, klub dan tim nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H