Gambar Dailymail.co.uk
Di bawah kolong langit tak ada yang tak mungkin terjadi. Seperti kata Cassius Marcellus Clay Jr atau yang kemudian dikenal sebagai Muhammad Alli benar adanya. Impossible is nothing. Ketidakmungkinan itu tidak ada.
Hasil imbang 2-2 Tottenham Hotspur versus Chelsea Selasa (03/5) dinihari WIB, memastikan mahokta gelar juara Liga Primer Inggris musim ini jatuh ke tangan Leicester City. Klub yang merangkak dari kasta bawah, langsung mengejutkan sejak awal musim. Menggusur dominasi para langganan dan raksasa yang sarat bintang dan modal fantastis.
Dengan modal pemain seadanya, di bawah asuhan pelatih yang kerap berpindah-pindah markas karena hampir tak pernah mempersembahkan gelar bergengsi, Leicester akhirnya meraih sukses. Berdiri sejak 1884, klub berjuluk The Foxes itu akhirnya tampil sebagai yang terbaik di Negeri Ratu Elizabeth. Untuk pertama kalinya.
Kesuksesan Leicester sekaligus menempis anggapan bahwa uang bisa mengatasi segalanya. Kekayaan berlimpah untuk membeli deretan pemain beken tak menjamin kesuksesan. Tradisi dan nama besar pun tak selamanya berbicara banyak. Segala kemewahan itu sama sekali tak bisa membayar prediksi, apalagi membelinya. Ketidakmungkinan itu tidak pernah bisa dikerangkeng.
Leicester bukan bukti pertama. Di jagad olahraga sudah banyak kisah yang menunjukkan bahwa yang dianggap lemah bisa memberikan kejutan. Underdog bisa berubah menjadi raksasa. Tanpa diduga-duga sebelumnya.
Tak ada yang menyangka bahwa 26 tahun lalu, Mike Tyson harus menelan kekalahan dari Buster Douglas. Sebelum pertemuan di Tokyo itu, Tyson begitu superior. Petinju yang dijuliki Si Leher Beton itu mencatatkan rekor tak terkalahkan: 37 kemenangan dalam 37 pertarungan professional. Sementara sang lawan, walau sukses meraih 42 kemenangan namun pernah menelan sekali kekalahan Menghadapi Tyson, Douglas sama sekali tak diunggulkan.
Memang benar, ronde kedelapan Douglas mencium kanvas. Namun siapa sangka dua ronde berikutnya Douglas menjadi sosok yang tak dibayangkan sebelumnya. Sedikit brutal, ia melayangkan pukulan membabi buta. Dalam kondisi fisik yang tak prima akibat flu serta beban emosional lantaran ditinggal sang ibu tiga minggu sebelum laga berubah menjadi tenaga mahadasyat. Membuat Si Leher Beton itu tak berdaya.
Demikianpun Boris Becker di lapangan tenis. Tahun 1985 tak ada yang menyangka, seorang siswa yang seharusnya belajar untuk ujian di perguruan tinggi, tampil sebagai juara Wimbledon. Dalam usia sangat muda, 17 tahun Becker mampu menyisihkan para senior. Bahkan prestasinya sudah terlihat sebelum itu.
Masih banyak lagi ketidakmungkinan yang menjadi mungkin. Secara tim, prestasi Leicester mengingatkan kita pada Nottingham Forest. Saat itu, Januari 1975 ketika Brian Clough mengambil alih jabatan manajer, mereka dipromosikan ke Divisi Pertama kedua. Lantas juara Liga Primer Inggris tahun berikutnya. Setahun kemudian, mereka menjadi juara Eropa.
Prestasi Nottingham luar biasa. Tak dianggap sebelumnya, sukses menjadi raja Eropa, melalui perjuangan tak kurang dari empat tahun dan lima bulan. Bahkan setelah menjadi juara Eropa, mereka masih sanggup mempertahankannya di tahun berikutnya.
Leicester dan contoh-contoh yang telah disebutkan di atas membuktikan filosofi Muhammad Ali. Namun ketidakmungkinan yang menjadi mungkin itu tidak bisa diraih begitu saja. Dengan mudah, tanpa perjuangan.
Leicester memiliki Claudio Ranieri, serta tim yang kompak. Para pemain menyatu sebagai satu kekuatan yang sulit dibendung. Walau harga para pemain secara keseluruhan sama dengan harga satu pemain Manchester City, mereka membuktikan bahwa uang tak menjamin segalanya.
Ketidakmungkinan itu tidak pernah ada. Walau jarang terjadi, ketidakmungkinan itu tetap tidak pernah bertahan secara permanen. Seperti kata Muhammad Ali, “Impossible is just a big word thrown around by small men who find it easier to live in the world they've been given than to explore the power they have to change it. Impossible is not a fact. It's an opinion. Impossible is not a declaration. It's a dare. Impossible is potential. Impossible is temporary. Impossible is nothing.”
Bravo The Foxes…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H