Usiaku hampir kepala tiga. Namun kenangan akan ibuku bisa jauh lepih panjang dari usiaku saat ini. Bisa pula lebih dalam, lebih dari yang aku pahami tentang kembara tiga dekade di muka bumi.
Setelah aku menamatkan Taman Kanak-kanak (TKK), pendidikan formal pertama yang kuperoleh, setelah berusia empat tahun aku bertemu lagi dengan dia. Kali ini hampir separuh hari, berseragam putih-merah, di sebuah Sekolah Dasar, nun di Timur Indonesia.
Walau semangat kekanak-kanakan masih sangat kental, aku berusaha menjadi seperti anak-anak lainnya. Layaknya siswa SD umumnya. Menjalankan apa yang diperintah, menunaikan apa yang diajar, melaksanakan apa yang ditatar.
Dalam hati kecil sebenarnya aku ingin berharap lebih. Aku ingin lebih diperhatikan. Aku ingin mendapat porsi berbeda. Privilese dibanding rekan-rekan lainnya.
Saat mata pelajaran menulis, aku ingin tanganku lebih lama digerakan. Aku ingin mejaku lebih sering disambangi. Demikianpun saat pelajaran membaca. Di lubuk hati, aku berharap lama waktu aku dibimbing lebih besar. Untuk mengeja huruf demi huruf, merangkai kata demi kata, hingga membentuk kalimat.
Di luar ruangan, saat jam istirahat tiba, aku berharap didekati walau sekadar untuk memastikan uang jajanku ada. Aku ingin diperhatikan akan apa yang aku makan dan apa yang aku minum.
Saat upacara bendera, aku ingin tampil dan dibanggakan. Dari antara ratusan siswa, aku berharap mendapat jatah untuk menjadi pemimpin upacara, sebuah kepercayaan ‘wah’ dan bergengsi untuk anak-anak SD. Namun aku harus memeram itu hingga aku benar-benar dipastikan mampu memimpin, setelah sebelumnya diujicoba menjadi pemimpin regu untuk sekelompok kecil. Itu pun baru aku dapatkan saat duduk di kelas V.
Demikianlah selama enam tahun kerinduan yang sama tetap kupelihara. Tahun-tahun pertama, terutama tiga tahun awal, rasanya sulit untuk menahan diri dan menempatkan diri secara wajar, istilah beken bersikap profesional. Aku ingin berteriak dan protes. Aku ingin berkata langsung, berterus terang.
Namun, protes tersebut berhasil kuredam setelah melihat bagaimana guru-guru lainnya bersikap. Semakin tinggi kelas, rasa keberatan dan ingin menjadi anak emas itu perlahan-lahan terkikis. Walau hingga menamatkan Sekolah Dasar rasa tersebut masih tetap membekas. Hingga kini.
Sebagai pendidik, mereka tak pandang bulu. Yang salah, tak pernah dibenarkan. Yang benar, tetap dijaga pada jalannya. Yang bengkok segera diluruskan. Tanpa pernah memilah dan memilih. Saat aku salah, tak pernah ada kata ampun. Tak ada maaf untuk keterlambatan dan sikap indisipliner.
Aku tetap dijewer. Bahkan sampai dicubit tanganku hingga memerah. Mereka lakukan itu sama kepada setiap anak. Seperti mereka telah memiliki formula yang pas untuk mengambil sikap, entah sebagai apresiasi, atau sanksi.
Hingga aku menjadi seperti sekarang ini, nama-nama mereka tak pernah aku lupa. Walau raga mereka terus menua, tak kuasa menolak takdir, dedikasi mereka selalu muda dan segar dalam benakku.
Terlebih, pada dia, ibuku. Ibu yang telah melahirkan dan membesarkanku. Memperkenalkan aku dengan angka, huruf dan kata untuk pertama kalinya. Sekaligus ibu guruku yang menempa aku lebih lanjut di bangku Sekolah Dasar itu.
Ah, inginnya aku kembali ke masa-masa itu. Merasakan kembali sentuhan pengabdiannya berganda. Tanpa pernah kurang takarannya. Merasakan keadilan bertindak dan bersikap. Di rumah sebagai ibu yang penuh kasih dan cinta. Dan dengan saripati semangat yang sama, menuntun aku dengan ilmu majemuk hingga tuntas Sekolah Dasar.
Selamat Hari Pendidikan Nasional para pendidiku.
Selamat Hari Pendidikan Nasional ibu, ibu guruku.
Tenang dan damailah engkau di sana.
Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H