Selama kurang lebih empat hari, bertempat di Usdiklat PLN di Jalan S. Parman, Slipi Jakarta Barat para ‘duta’ PLN itu bergulat dengan diri sendiri, mengolah pengetahuan dan pengalaman kerja.
Dengan bantuan (Kompas)iana, melalui sejumlah mentor seperti Pepih Nugraha, Isjet, Nurulloh, Hilman Fajrian, Gapey Sandy, Fikria Hidayat dan Roderick Adrian Mozes mereka dibimbing dan dicarikan jalan yang tepat untuk mengaktualisasikan diri, terutama dalam kaitan dengan tugas pengabdian di tengah realitas masyarakat Indonesia saat ini.
Hari Senin, 25 April lalu menjadi puncak dari rangkaian ziarah para duta PLN itu. Selama setengah hari mereka menunjukkan diri, walau sekilas, seperti apa mereka, dan seperti apa PLN yang mereka ‘bela’ dan ‘perjuangkan’.
Di hadapan para blogger Kompasiana, mereka mempertanggungjawabkan hasil pergumulan selama empat hari. Dan para juri dan peserta tak hanya bertindak sebagai penilai, atau evaluator hasil belajar mereka. Juri dan peserta adalah perwakilan pelanggan. Suara-suara dari bangku-bangku peserta tak lain representasi suara masyarakat luas.
Namun pertanyaan yang menggelitik, mengapa akhirnya memilih tulis-menulis sebagai sarana? Terlepas dari Kompasiana yang adalah blog tulis-menulis yang digandeng, seberapa penting menulis bagi mereka khususnya dan PLN umumnya?
Nah, pada titik ini, pernyataan dari seorang penulis Australia bernama Craig Pearce di salah satu blog pribadinya sekiranya relevan. “Writing is the number one skill of PR practitioners.” Ya, menulis menjadi skill utama bagi setiap praktisi humas.
Sebagian besar peserta yang mengikuti akademi PLN-Kompasiana adalah calon atau karyawan di bagian humas. Sebagaimana humas umumnya, mereka adalah corong perusahaan kepada masyarakat atau media. Merekalah yang berurusan dengan komunikasi dan publikasi dari dan kepada masyarakat luas.
“Selama ini, PLN begitu fokus kerja dan kerja serta hanya memperhatikan hal-hal teknis demi meningkatkan layanan namun melupakan komunikasi kepada masyarakat sehingga citra PLN kurang terbangun secara positif,”aku Wisnu Satrijono, manajer pelatihan dan pengembangan human capital PLN.
Karena itu, humas harus memiliki kemampuan menulis dan komunikasi yang baik. Kemampun tersebut tak hanya bertujuan untuk menghasilkan press release, advertorial dan press conference yang baik. Tetapi juga untuk menghasilkan media promosi, memberikan informasi dan komunikasi yang baik dan tepat sasar.
Aktivitas menulis itu, tak hanya berorientasi pada hasil atau output berupa tulisan yang baik. Menulis itu bersekutu dengan mendengar, melihat, meraba dan merasakan. Sebuah tulisan yang baik adalah hasil dari proses mendengar, melihat, meraba dan merasakan sesuatu yang terjadi baik berupa sikap, opini atau perilaku masyarakat. Tulisan yang dihasilkan merupakan produk dari kerja dan proses panjang hingga akhirnya bermuara pada pembangunan citra perusahaan yang baik.
Bila humas keseleo maka hasil yang keluar pun setali tiga uang. Jangan harapkan akan ada hubungan yang baik apalagi citra yang positif di tengah masyarakat bila proses dan kerja humas bermasalah.