[caption caption="Rio Haryanto (Kompas.com)"][/caption]Membaca judul ini, apa yang Anda pikirkan dan pahami? Tentu, dengan tanpa diantarai tanda baca, beragam pemahaman akan muncul. Ya, memang itulah maksud saya. Setidaknya, beberapa dari antaranya seperti yang saya maksudkan di bawah ini.
Seperti judul multitafsir di atas, kiprah Rio Haryanto di ajang F1 pun demikian adanya. Sejak nama pebalap kelahiran Surakarta itu mulai diorbitkan ke ajang jet darat tersebut, aneka suara bermunculan di sana sini. Polemik mengemuka. Pro-kontra hadir dalam rupa jamak.
Salah satu titik perbincangan ialah ikhwal mahar fantastis yang harus disetor ke Manor Racing, tim yang kini dibelanya. Bagi kamu penentang-untuk mengatakan yang menyuarakan keberatan, uang 15 juta Euro atau Rp225 miliar terlalu mahal untuk satu kursi di tim asal Inggris itu.
Sebagai debutan atau rookie, dana sebesar itu dinilai terlalu berisiko alias berpeluang mubazir. Manor bukan tim elit dengan sumberdaya yang memadai sehingga jaminan sebagai pay driver akan bertepuk sebelah tangan.
Bisa dipastikan suara miring itu kini terdengar kian nyaring, walau tingkat amplifikasi melalui publikasi berkurang, melihat performa Rio di tiga seri terakhir. Di seri pembuka di Australia, driver 21 tahun itu gagal finis. Seri berikutnya di Bahrain, Rio mampu merengkuh hasil positif. Target minimalis sukses diraih yakni menginjak garis akhir, walau hanya berada di posisi ke-17. Rio tertinggal di belakang rekan setim Pascal Wehrlein yang menempati tempat ke-13.
Prestasi penting di seri kedua itu membuncahkan optimisme di seri berikutnya di Shanghai, China. Pengalaman menggauli sirkuit tersebut saat tampil di ajang Asian Formula Renault Challenge dan Formula BMW Pacific, membuat Rio yakin bisa menggeber MRT05 lebih baik. Harapan memperbaiki posisi pun disemai.
Hasilnya? Posisi dan catatan waktu Rio melorot. Seperti rekannya asal Jerman, posisi akhir mereka menurun. Rio di posisi ke-21, sementara sang tandem berada tiga strip di atasnya.
Dengan hasil ini, maka pemilik suara kontra pun semakin menemui pembenaran. Sinisme pada Rio menguat. Belum lagi, dengan sisa dana yang masih sekitar 7 juta Euro (Rp100 miliar), kaum "penentang" itu pun memelihara harapan terburuk. Bisa jadi, secara kasar, mereka memintanya mundur.
Situasi ini membuat soal Rio Haryanto semakin "seksi". Tak hanya di mata Indonesia, juga manca negara. Euforia pada Rio Haryanto yang sudah tumbuh sejak awal sebagai satu-satunya pebalap Asia di F1 musim ini, berubah menjadi "demam" yang menyergap masyarakat luas hingga sejumlah sendi pemberitaan nasional dan internasional, dan kini bersekutu dengan rumor terancamnya posisi Rio.
Seakan membenarkan perjanjian dengan Tim Manor, batas akhir pelunasan sisa pembayaran yang kian mendekat, membuat gosip masa depan Rio kian kencang. Nama Alexander Rossi dan Will Stevens semakin disebut sebagai pengganti Rio setelah 10 seri nanti. Hal itu menjadi konsekuensi terburuk bila tunggakan tak dilunasi pada Mei ini.
“Seems Rio Haryanto is low on funds, he has been asking for donations to allow him to race. Rossi or Stevens to replace him at Manor?” demikian kicau akun @ThePitStraight, salah satu komunitas pemerhati otomotif yang berbasis di Inggris.
[caption caption="Gambar diambil dari INDOSPORT.com."]
Kemampuan teknis boleh saja Rio miliki, dan campur tangan berbagai pihak bisa dengan mudah menyempurnakan tunggangannya. Namun, soal fokus dan konsentrasi adalah hal penting yang bisa dengan gampang merusak semua rencana. Pada titik ini, bila tak disikapi secara bijak, suara-suara miring tersebut bisa menjadi racun yang menggerogoti pikiranya perlahan demi perlahan.
Bisa saja Rio mengatakan bahwa tantangan seperti itu sudah biasa dialami, bahkan tak terlalu menantang dibandingkan kompetisi yang sudah diakrabinya sejak lama. Namun, dalam hati kecil dan pikiran terdalam, tak ada yang tahu dan bisa memastikan itu.
Karena itu, tak ada pilihan lain, Rio harus bersikap awas dalam membaca situasi. Berbagai suara miring yang kadang dalam intensitas yang sama besarnya seperti puja-puji yang melambung tinggi harus dibaca secara bijak, untuk mengatakan tidak tenggelam di dalamnya. Berbagai seremoni dan tetek-bengek acara yang tak penting sejatinya diposisikan sama tingginya dengan rumor yang harus dibuang jauh-jauh. Karena bila tidak, itu semua hanya akan memerangkap Rio, menjebak langkahnya untuk maju. Jadi, waspadai jebakan itu, Rio!
Jebakan lainnya
Dukungan positif yang mengalir dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, komunitas hingga masyarakat luas, menetralkan bahkan menegasikan skeptisisme dan suara miring di atas.
Rio setidaknya bisa lebih tenang dengan semakin giatnya pemerintah, melalui Kemenpora, mencari cara untuk melunasi sisa pembayaran. Di tengah suara bersebrangan, kehadiran sejumlah tokoh pemerintah, seperti Menpora, Imam Nahrawi yang berani "pasang badan" untuk Rio memberikan kekuatan tambahan bahwa sejatinya Rio tidak berjalan sendiri. Walau tak sedikit yang menolak, keberadaan Menpora merepresentasikan keberadaan negara dan bangsa di belakang Rio.
Namun, kehadiran Menpora itu sejatinya bukan tanpa soal. Campur tangan pemerintah pada Rio bukan tanpa bahaya. Dengan tanpa melebarkan topik pembicaraan, pada dunia balap khususnya dan otomotif umumnya, Indonesia sejatinya tak hanya memiliki Rio.
[caption caption="Sean Gelael (Kompas.com)"]
Demikianpun di dunia balap motor. Indonesia juga memiliki deretan talenta potensial. Ada Andi Farid Izdihar atau santer disebut Andi Gilang yang baru saja menjuarai Asia Talent Cup 2015. Bersama Andi Gilang yang tampil di Moto3 Junior World Championship, Dimas Ekky Pratama pun siap mengaspal di Moto2 European Championship.
Selama ini Andi dan Dimas dibina oleh Astra Honda Motor (AHM). Tak sebatas itu, AHM juga memiliki deretan bibit muda lainnya yang akan berkiprah di level Asia seperti Irfan Ardiansyah, Alif Akbar Utama, Dwiki Herdhiana Suparta, Yassin Somma, Gerry Salim, dan M Febriansyah.
[caption caption="Andi Gilang dan trofi Asian Talent Cup 2015 (otomotif.tempo.co)."]
Sama seperti Rio, pemerintah tak bisa lepas tangan, apalagi mengabaikan mereka. Sebagaimana cara yang kini ditempuh untuk membantu Rio, langkah yang sama pun sejatinya dipakai untuk mendukung mereka. Kreatif mencari sponsor, memberikan kemudahan administratif, membuka peluang pendanaan, dan langkah konstruktif lainnya, menjadi sumbangsih berharga bagi mereka untuk bisa berprestasi.
Tak hanya pemerintah, para pihak lainnya pun, sejatinya memberikan dukungan yang sama pula. Mereka adalah penerus Rio. Jangan sampai kita hanya terpaku pada Rio. Karena setelah Rio, mereka-mereka itulah kebanggaan kita berikutnya. Euforia sah-saha saja. Support militan boleh saja. Tetapi, kita harus tetap mewaspadai "jebakan" Rio Haryanto yang bisa membuat kita lupa pada para penerusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H