Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Tenis Kusayang, Tenis Indonesia-ku Malang

18 April 2016   20:52 Diperbarui: 19 April 2016   08:02 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Yayuk Basuki saat meraih medali emas Asian Games 1998 (gambar Juara.Net)"][/caption]Sebagai pencinta olahraga, tenis menjadi salah satu cabang yang disukai. Walaupun tak memiliki kemampuan sama sekali untuk bermain tenis, ditambah pengetahuan dasar seadanya, sepak terjang olahraga tersebut hampir tak pernah luput dari pantauan.

Walau akhirnya saya harus jujur, pesona tenis mancanegara jauh lebih memikat. Meski sedikit terlambat, kiprah dan kompetisi antar para petenis top dunia, baik putra maupun putri sejauh dapat saya ikuti.

Turnamen-turnamen tenis bergengsi, terutama level Grand Slam, hampir tak pernah luput dari pantauan. Daya pikat kompetisi berkelas itu, mulai dari benua Australia (Australia Open) di awal tahun, berlanjut ke benua Eropa (Prancis Open dan Wimbledon) dan berakhir di Amerika (US Open)  menjelang akhir tahun, begitu memikat.

Hadiah menjanjikan, antusiasme penonton yang luar biasa, sarana prasarana tanpa kekurangan sedikitpun, berpadu padan dengan pesona para petenis terbaik dari seantero jagad. Mereka datang berkompetisi, berjuang menjadi yang terbaik.  

Dunia benar-benar disuguhkan atraksi yang sempurna, sesempurna rupa sejumlah petenis jelita seperti Maria Sharapova yang baru saja tersangkut doping, Sorana Cirstea, Ana Ivanovic, dan Elena Dementieva--beberapa dari deretan petenis cantik versi majalah pria dewasa Maxim.

Belum lagi teriakan menggelegar sebagai representrasi kegigihan  si wanita tangguh Serena Williams. Meski hanya sanggup menyaksikan lewat layar kaca, atraksi-atraksi tersebut sungguh menghibur. 

Sementara di sektor putra, persaingan klasik antara Rafael Nadal dan Roger Federer selalu menarik dinanti, sama memikat dan menggetarkan seperti laga El Clasico antara Real Madrid dan Barcelona bagi para pencinta sepakbola, terutama La Liga.

Demikian pun sepak terjang petenis Serbia, Novak Djokovic yang begitu digdaya, selalu mengundang tanya di benak: siapa lawan yang bakal menjungkalkan dan menggesernya dari puncak ATP? Pun rasa penantian yang sedikit nakal, kapan Djokovic menemui kesudahan, atau setidaknya mengikuti riwayat Barcelona yang kini mulai menurun?

Penantian demi penantian serta perrtanyaan demi pertanyaan tersebut membuat tenis dunia semakin menarik di mata saya. Walau sempat dihebohkan dengan kasus meldonium yang menyeret Sharapova ke ujung karir, tenis tetap tak kehilangan pesona.

Lantas, bagaimana tenis Tanah Air?

Sambil menarik nafas panjang, patut diakui, tak hanya kehilangan pesona, prestasinya pun setali tiga uang. Pada era 90-an, Indonesia memiliki Sri Rahayu Basuki, atau karib disapa Yayuk Basuki. Wanita yang kini berusia 45 tahun itu menjadi salah satu kebanggaan Indonesia.

Ia menjadi satu-satunya petenis Indonesia dengan peringkat terbaik. Ia pernah berada di urutan 19 WTA untuk kategori tunggal dan peringkat sembilan di sektor ganda.

Pada masa jayanya, wanita asal Yogyakarta ini sukses merengkuh prestasi di tingkat dunia. Sejumlah petenis top pada masa itu seperti Martina Hingis, Lindsay Devenport, Anke Huber, Anna Kournikova, Mary Pierce, Gabriel Sabatini hingga Amelia Mauresmo pernah ditaklukkan.

Wanita yang pernah mengharumkan Indonesia di Asian Games 1998 di Bangkok, total merengkuh enam gelar tunggal WTA Tour dan sembilan gelar ganda.

Setelah gantung raket, satu-satunya anggota Eight Club (lembaga yang menampung alumni delapan besar Wimbledon), yang kini menjadi politisi itu, Indonesia masih memiliki  Angelique Widjaja.

Wanita yang akrab dipanggil Angie mulai bersinar sejak menjadi juara Wimbledon Junior tahun 2001. Kelahiran Bandung, 31 tahun silam itu, membanggakan Indonesia saat menjadi tuan rumah WTA Tour. Sepanjang 2003 hingga 2004 kiprahnya di sektor ganda pun kemilau.

Seperti pendahulunya Yayuk, sejumlah petenis top dunia pun pernah jadi korban. Beberapa dari antaranya seperti Dinara Safina, Anna Kournikova, Patty Schnyder, hingga legenda kelahiran Amerika Serikat, Tamarine Tanasugarn.

Di sektor putra kita pernah memiliki Daniel Heryanto. Sayang, pria tersebut telah menjadi ‘milik’ Singapura dengan status permanent resident yang dimiliki dan kini giat mengasah bibit-bibit muda Negeri Singa.

Setelah masa Daniel, kita bergantung pada Christopher Rungkat. Walau prestasinya tak secemerlang Yayuk atau Angie, pria yang kini berusia 26 tahun itu tetap menjadi tulang punggung sektor putra.

Kemampuan yang dimiliki petenis berdarah Belanda dan Kamboja itu tak bisa lagi diandalkan. Ia seperti berjuang sendiri. Seperti di sektor putri, perkembangan negara-negara lain sudah sedemikian jauh. Arena Piala Fed Grup II Zona Asia Oseania yang baru saja berakhir menjadi bukti.

Sejak keikutsertaan Indonesia di ajang tenis beregu wanita sejak 1969, tahun ini menjadi tahun terburuk. Kekalahan demi kekalahan yang ditorehkan, pada gilirannya menempatkan Indonesia di posisi kelima dari 11 peserta. Indonesia berada di belakang Malaysia, Singapura dan Filipina yang berada di peringkat pertama.

Kapten tim Fed Indonesia, Sri Utamingsih mengakui perkembangan pesat negara-negara tetangga. “Mungkin Indonesia tidak mundur, namun yang sudah pasti adalah negara lain di kawasan Asia Tenggara seperti Thailand, Filipina, Singapura dan Malaysia sudah maju pesat meninggalkan Indonesia,”ucap Sri dikutip dari Kompas.com.

Perkembangan negara tetangga yang sudah meninggalkan Indonesia diakui juga oleh Yayuk. “Terus terang saya pas dengar kabar itu, hati saya patah sepanjang sejarah kita kalah dari Singapura. Bukan tidak mau menerima Singapura bermain lebih bagus, tapi ada apa ini? Kesalahan siapa ini? Itu yang lebih saya pikirkan, pemain dan pelatih hanyalah prajurit dan juga korban akan ketidakbecusan dan ketidakmampuan para pengurusnya,” ungkap Yayuk usai Indonesia dibekuk Singapura 1-2.

Tak hanya di ajang beregu itu, aroma kemunduran sudah tercium di arena SEA Games dalam beberapa tahun terakhir. Alih-alih meraih medali, Indonesia tak lebih dari penggembira (Kompas.com).

Maka, sampai kapan keterpurukan ini dipelihara? Siapa yang harus mengambil tanggung jawab untuk mengembalikan kejayaan tenis Indonesia?

Apa perlu seperti kata penyanyi Ebiet G.Ade, kita bertanya kepada ‘rumput yang bergoyang’?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun