[caption caption="Ilustrasi INDOSPORT.com"][/caption]Sepak bola nasional belum juga membaik. Jalan di tempat?  Bisa jadi. Atau lebih tepat semakin melangkah mundur. Tak terlihat langkah signifikan untuk mengatasi prahara sepak bola nasional. Yang ada hanyalah perang kepentingan yang semakin membatu dan menyisahkan ‘korban’ di mana-mana.
Di tingkat elit, dua pemangku kepentingan, Menpora dan PSSI masih membangun tembok kukuh, malah semakin menjulang tinggi dan tebal. Penolakan kasasi yang diajukan Menpora, Imam Nahrawi oleh Mahkamah Agung, Senin (7/3) kemarin sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda penyelesaian.
Malah alarm genderang perang sudah mulai terlihat. Dengan dalih belum menerima petikan putusan kasasi langsung dari pihak MA, Menpora siap-siap mengajukan PK (Peninjauan Kembali) (Detik.com). Sejatinya Menpora sudah tahu tentang substansi putusan walau belum mendapat surat langsung. Dan tak harus menunggu sampai menerima surat itu di tangan bila ingin mengambil sikap. Singkatnya, dalih yang dikemukakan itu tak lebih dari sekadar basa-basi jika tak mau disebut berkeras hati.
Dengan tanpa mau bersinggungan dengan aspek legal, dan tokh akan bermuara pada labirin yang sama, situasi yang terjadi saat ini sudah sangat memprihatinkan. Tak terhitung berapa banyak ‘korban’ dari perang kepentingan ini. Bila para pihak benar-benar beritikad memajukan sepak bola nasional mestinya silang sengkarut itu tak berlarut-larut.
Bila mereka yang merasa bertanggung jawab dengan kemajuan sepak bola tanah air benar-benar berkiblat pada itikad baik, tentu tak akan membuka ruang bagi munculnya jeritan para pemain dan pelatih yang menganggur, suara teriakan minta tolong dari para pelaku sepak bola yang kehilangan pekerjaan, dan langkah ke luar para pesepakbola dan pelatih mencari penghidupan di luar negeri.
Berapa banyak pemain dan pelatih yang kini menganggur? Berapa banyak  pemain yang memilih ‘merantau’ ke Malaysia dan Timor Leste? Berapa banyak fasilitas, harta benda dan eksistensi klub yang telah ‘digadai’? Berapa banyak orang yang tersayat rindu melihat lapangan-lapangan bola dan stadion-stadion kembali bergeliat?
Pun dalam tingkat yang berbeda, bila para pemangku kepentingan benar-benar berpihak pada nasib baik sepak bola nasional, maka ketegaran hati dan egosentrisme itu sudah lama dibuang jauh-jauh. Dan bila memang pernah berselisih pandang maka sudah sepatutnya tak memangsa banyak waktu yang pada akhirnya membuat setiap orang mencari jalan sendiri, termasuk menjadi ‘dewa penyelamat’ sepak bola nasional dengan aneka turnamen.
Saya tak bermaksud menyalahkan munculnya banyak turnamen belakangan ini. Malah ini menjadi langkah positif untuk mengatakan pelipur lara di tengah mati suri sepak bola nasional. Singkatnya, lebih baik ada kompetisi dari pada tidak sama sekali.
Namun, munculnya beragam turnamen dengan nama dan sponsor silih berganti bukan tanpa masalah. Pengalaman terkini di pentas Piala Gubernur Kaltim bisa menjadi contoh.
Entah mengapa pada turnemen ini panitia menggunakan sistem trofeo untuk menentukan dua finalis. Enam tim yang lolos ke babak semifinal dibagi dalam dua grup, tiga tim di setiap grup  akan saling bertemu dengan durasi tiap pertandingan 45 menit.
Masalah muncul ketika harus mencari formula yang tepat untuk menentukan peraih tiket final. Pada turnamen ini tim yang menang dalam 1X45 menit mendapat nilai tiga. Kalah, tak mendapat nilai.