Sementara bila hingga 45 menit laga berakhir imbang, maka pemenang akan ditentukan melalui adu penalti. Pemenang dalam laga ini akan mendapat nilai dua, sementara yang kalah mendapat nilai satu.
Dengan tanpa harus membuat kalkulasi dan reka-mereka, sudah bisa kita bayangkan kemungkinan terburuk yang terjadi yang akan meninggalkan rasa ketidakpuasan. Bila tak mau mencari masalah, mengapa tidak mengguanakan formula yang lazim dikenal, walau kemungkinan ketidakpuasan itu akan selalu ada.
Namun itulah keputusan operator yang mau tidak mau diikuti oleh para kontestan. Suka tidak suka, operator pertandingan memiliki hak penuh untuk menentukan formula pertandingan. Bila tak mau kehilangan kesempatan bertanding, mau tidak mau, seperti apa pun keputusan itu harus diikuti. Lebih baik bertanding dari pada tidak sama sekali bukan?
Itulah salah satu konsekuensi yang diterima di tengah situasi chaos persepakbolaan dalam negeri. Klub dan para pemain hanya bisa berharap dan menggantung nasib pada kompetisi dadakan. Tak ada pilihan lain bila tak ingin dapur berhenti mengepul dan klub tinggal nama dan kenangan. Prinsip miris, minus malum, terpaksa harus kita genggam. Memilih yang terbaik dari deretan pilihan terburuk, yang pada intinya satu: kita mencari dan memilih jalan sendiri.Â
Sampai kapan kita akan terus menjadi seperti anak ayam kehilangan induk? Apakah sampai sang induk menemui ajal? Lantas, bila menanti demikian, siapa kelak yang bisa kita jadikan pelindung, panutan dan suri teladan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H