Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tentang Sepak Bola Nasional, Sampai Kapan Kita (Terus) Memilih Jalan Sendiri?

10 Maret 2016   22:08 Diperbarui: 10 Maret 2016   23:22 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi INDOSPORT.com"][/caption]Sepak bola nasional belum juga membaik. Jalan di tempat?  Bisa jadi. Atau lebih tepat semakin melangkah mundur. Tak terlihat langkah signifikan untuk mengatasi prahara sepak bola nasional. Yang ada hanyalah perang kepentingan yang semakin membatu dan menyisahkan ‘korban’ di mana-mana.

Di tingkat elit, dua pemangku kepentingan, Menpora dan PSSI masih membangun tembok kukuh, malah semakin menjulang tinggi dan tebal. Penolakan kasasi yang diajukan Menpora, Imam Nahrawi oleh Mahkamah Agung, Senin (7/3) kemarin sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda penyelesaian.

Malah alarm genderang perang sudah mulai terlihat. Dengan dalih belum menerima petikan putusan kasasi langsung dari pihak MA, Menpora siap-siap mengajukan PK (Peninjauan Kembali) (Detik.com). Sejatinya Menpora sudah tahu tentang substansi putusan walau belum mendapat surat langsung. Dan tak harus menunggu sampai menerima surat itu di tangan bila ingin mengambil sikap. Singkatnya, dalih yang dikemukakan itu tak lebih dari sekadar basa-basi jika tak mau disebut berkeras hati.

Dengan tanpa mau bersinggungan dengan aspek legal, dan tokh akan bermuara pada labirin yang sama, situasi yang terjadi saat ini sudah sangat memprihatinkan. Tak terhitung berapa banyak ‘korban’ dari perang kepentingan ini. Bila para pihak benar-benar beritikad memajukan sepak bola nasional mestinya silang sengkarut itu tak berlarut-larut.

Bila mereka yang merasa bertanggung jawab dengan kemajuan sepak bola tanah air benar-benar berkiblat pada itikad baik, tentu tak akan membuka ruang bagi munculnya jeritan para pemain dan pelatih yang menganggur, suara teriakan minta tolong dari para pelaku sepak bola yang kehilangan pekerjaan, dan langkah ke luar para pesepakbola dan pelatih mencari penghidupan di luar negeri.

Berapa banyak pemain dan pelatih yang kini menganggur? Berapa banyak  pemain yang memilih ‘merantau’ ke Malaysia dan Timor Leste? Berapa banyak fasilitas, harta benda dan eksistensi klub yang telah ‘digadai’? Berapa banyak orang yang tersayat rindu melihat lapangan-lapangan bola dan stadion-stadion kembali bergeliat?

Pun dalam tingkat yang berbeda, bila para pemangku kepentingan benar-benar berpihak pada nasib baik sepak bola nasional, maka ketegaran hati dan egosentrisme itu sudah lama dibuang jauh-jauh. Dan bila memang pernah berselisih pandang maka sudah sepatutnya tak memangsa banyak waktu yang pada akhirnya membuat setiap orang mencari jalan sendiri, termasuk menjadi ‘dewa penyelamat’ sepak bola nasional dengan aneka turnamen.

Saya tak bermaksud menyalahkan munculnya banyak turnamen belakangan ini. Malah ini menjadi langkah positif untuk mengatakan pelipur lara di tengah mati suri sepak bola nasional. Singkatnya, lebih baik ada kompetisi dari pada tidak sama sekali.

Namun, munculnya beragam turnamen dengan nama dan sponsor silih berganti bukan tanpa masalah. Pengalaman terkini di pentas Piala Gubernur Kaltim bisa menjadi contoh.

Entah mengapa pada turnemen ini panitia menggunakan sistem trofeo untuk menentukan dua finalis. Enam tim yang lolos ke babak semifinal dibagi dalam dua grup, tiga tim di setiap grup  akan saling bertemu dengan durasi tiap pertandingan 45 menit.

Masalah muncul ketika harus mencari formula yang tepat untuk menentukan peraih tiket final. Pada turnamen ini tim yang menang dalam 1X45 menit mendapat nilai tiga. Kalah, tak mendapat nilai.

Sementara bila hingga 45 menit laga berakhir imbang, maka pemenang akan ditentukan melalui adu penalti. Pemenang dalam laga ini akan mendapat nilai dua, sementara yang kalah mendapat nilai satu.

Dengan tanpa harus membuat kalkulasi dan reka-mereka, sudah bisa kita bayangkan kemungkinan terburuk yang terjadi yang akan meninggalkan rasa ketidakpuasan. Bila tak mau mencari masalah, mengapa tidak mengguanakan formula yang lazim dikenal, walau kemungkinan ketidakpuasan itu akan selalu ada.

Namun itulah keputusan operator yang mau tidak mau diikuti oleh para kontestan. Suka tidak suka, operator pertandingan memiliki hak penuh untuk menentukan formula pertandingan. Bila tak mau kehilangan kesempatan bertanding, mau tidak mau, seperti apa pun keputusan itu harus diikuti. Lebih baik bertanding dari pada tidak sama sekali bukan?

Itulah salah satu konsekuensi yang diterima di tengah situasi chaos persepakbolaan dalam negeri. Klub dan para pemain hanya bisa berharap dan menggantung nasib pada kompetisi dadakan. Tak ada pilihan lain bila tak ingin dapur berhenti mengepul dan klub tinggal nama dan kenangan. Prinsip miris, minus malum, terpaksa harus kita genggam. Memilih yang terbaik dari deretan pilihan terburuk, yang pada intinya satu: kita mencari dan memilih jalan sendiri. 

Sampai kapan kita akan terus menjadi seperti anak ayam kehilangan induk? Apakah sampai sang induk menemui ajal? Lantas, bila menanti demikian, siapa kelak yang bisa kita jadikan pelindung, panutan dan suri teladan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun