[caption caption="HERKA YANIS PANGARIBOWO/BOLA/JUARA.NET"][/caption]De facto, Rio Haryanto sudah dan akan merasakan atmosfer Formula One (F1) setidaknya hingga akhir musim 2016. Namun secara administratif, posisi Rio belum aman. Ia dan pihak sponsor (dalam hal ini Pertamina), masih memiliki tunggakan pada Tim Manor Marussia.
Pihak Rio baru membayar 2,2 juta Euro dari total 15 juta Euro (sepadan dengan kira-kira Rp 225 miliar) yang diminta tim asal Inggris itu. Pertamina akan menyetor 3 juta Euro untuk melengkapi 5,2 juta Euro sesuai kesepakatan sebelum seri ketiga di Tiongkok, 17 April mendatang. Sementara sisanya lagi?
Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pemuda dan Olahraga, telah menjanjikan untuk memberikan Rp 100 miliar. Menpora Imam Nahrawi sudah meyakinkan pembalap berusia 23 tahun tentang bantuan tersebut. Namun realisasinya tak semudah yang diucap Cak Imam.
Kini, politisi PKB itu sedang resah dan gelisah. Imam mendapat hadangan dari sejumlah pihak dengan seribu satu alasan. Oleh mereka yang menolak, dana sebesar itu dianggap terlalu berlebihan untuk satu kursi di F1. Belum lagi, Rio dianggap debutan, dan masa depannya di ajang ‘wah’ itu bak masih berada di awang-awang. Selain itu, ada yang menilai, dana Rp 100 miliar lebih tepat dialokasikan untuk cabang olahraga lainnya, salah satunya untuk persiapan para atlet tampil di beberapa ajang bergengsi yang sudah di depan mata seperti Olimpiade Rio de Janeiro.
Secara birokrasi pun setali tiga uang: tak bisa dikucurkan dengan mudah. Bahkan dianggap salah sasaran.
“Menpora tak bisa sembarang mengucurkan dana karena Menpora tidak pernah mengajukan anggaran untuk Rio,” ungkap Yayuk Basuki, Anggota Komisi X DPR (Kompas, 25/02/2016).
Bila tetap memaksa, mantan petenis nasional itu menilai Menpora melanggar aturan. “Ya, melanggar aturan karena pemerintah hanya membantu pembinaan cabang olahraga amatir,” tuturnya untuk mengatakan Rio adalah atlet profesional.
Hadangan dari sejumlah sudut tak membuat Menpora patah arang. Sejumlah strategi dicoba. Pertama, tetap mengeluarkan uang negara melalui APBN Perubahan. Kedua, melalui revisi internal APBN dengan mengurangi anggaran untuk sejumlah pos.
Ketiga, melalui penggalangan dana. Untuk yang satu ini, Menpora sudah berkoordinasi dengan Ikatan Motor Indonesia (IMI) DKI Jakarta dan akan memulai melaksanakan ‘Pundi untuk Rio’ dari kalangan internal di lingkungan Kemenpora.
Rencana penggalangan dana untuk pemilik nomor 88 itu sejalan dengan apa yang sudah dimulai oleh komunitas pendukung Rio Haryanto, Sahabat Rio. Mereka mengkampanyekan dukungan melalui media sosial. Dan sejauh ini dana yang terkumpul sudah mencapai Rp273 juta.
[caption caption="Sumber Gambar: Manor Racing"]
'Dijamah' Tetangga?
Di tengah perjuangan Menpora dan berbagai pihak yang peduli dengan Rio Haryanto, muncul kabar bahwa pihak tetangga tertarik menjadi sponsor. Salah satunya dari Malaysia Tourism Board (MTB). Meski belakangan sudah dikonfirmasi bahwa MTB tak berniat mempromosikan ‘Visit Malaysia’ melalui Rio, kabar ini sebenarnya memberikan banyak makna.
Pertama, ajang bergengsi tersebut memang ‘mahal’ dan membutuhkan sokongan finansial yang kuat. Namun, gemerlap ajang jet darat tersebut seiring sejalan dengan tingkat popularitas yang luas sehingga menjadi salah satu cabang olahraga yang ‘seksi’ untuk menarik sponsor dan mempromosikan diri.
Kehadiran tandem Pascal Wehrlein di ajang tersebut, sejatinya dilihat secara lebih luas sebagai kesempatan untuk memperkenalkan dan mempromosikan Indonesia. Rumor bahwa sejumlah negara tertarik untuk mempromosikan diri menjadi sinyal bahwa F1 pun memiliki nilai jual yang tinggi dan kendaraan yang menjanjikan untuk ‘berjualan’.
Kedua, sejalan dengan poin pertama, bila kehadiran Rio di ajang F1 sebagi momentum untuk mempromosikan diri maka kementrian yang sejatinya turut bergerak adalah Kementrian Pariwisata. MTB dengan ‘Visit Malaysia’-nya mesti menjadi lecutan bagi Kemenpar untuk ambil bagian mendukung Rio sehingga tulisan ‘Wonderful Indonesia’ pun bisa muncul di MRT05 yang ditunggangi Rio.
Bila selama ini kita masih terus mencari cara untuk mendongkrak sektor pariwisata melalui aneka promosi, mengapa tidak kita manfaatkan Rio untuk hal itu. Olahraga, tak terkecuali F1 adalah juga kendaraan yang efektif untuk promosi. Hitung-hitung, dukungan finansial yang dikucurkan akan bermakna ganda: sebagai promosi sekaligus bentuk dukung kepada anak bangsa.
Ketiga, bila pihak luar mampu melihat peluang emas melalui Rio, mengapa kita masih saja menutup mata? Benar bahwa ada skeptisisme terkait prestasi dan masa depan Rio. Tak ada yang tahu seperti apa Rio di masa depan. Namun di sisi lain, kehadiran Rio di ajang F1 adalah momentum yang pas untuk menunjukkan diri, mempromosikan diri, ‘menjual’ kekayaan dan potensi yang kita miliki.
Rio memang baru dipastikan tampil semusim. Namun, waktu sesingkat itu adalah juga saat menaruh investasi berharga yang hasilnya niscaya bisa dipetik selama bermusim-musim. Perputaran uang yang menggila dengan magnet sponsor dan perhatian publik yang luar biasa, bukan mustahil menjadi momentum yang pas untuk memperkenalkan Indonesia secara lebih luas.
Bila kita masih ragu dengan hal ini, dan lamban bergerak membantu, tak ada salahnya, dan memang sah-sah saja, bila Rio dan timnya ‘dijamah’ dan ‘direbut’ para tetangga untuk mempromosikan diri. Dan kita tinggal menunggu waktu, melihat mereka memetik hasil dari aset berharga yang kita punya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H