[caption caption="Gambar telegraph.co.uk"][/caption]
6 Februari boleh kita anggap remeh. Tapi tidak bagi Manchester United. Tanggal yang sama, 58 tahun silam, kisah kelam itu mengemuka.
Euforia kedigdayaan lenyap seketika. Kidung duka bergema, bertiup dari landasan bandar udara Munich-Riem, Muenchen, Jerman. Sekitar pukul 15:04 waktu setempat, pesawat British European Airways dengan nomor penerbangan 609 luluh lantah di ujung landasan.
Pilot kapten James Thain, dan copilot Kenneth Rayment gagal menerbangkan pesawat berpenumpang 44 orang itu setelah tak berhasil dalam dua kali percobaan. Hilang kendali, rinai salju menggelincirkan pesawat, menabrak pagar dan mengakhiri laju di rumah warga. Tanki bahan bakar robek, nyala api tak terhindarkan. Kebakaran hebat pun terjadi.
“Ketika saya melihat sekeliling, saya tidak percaya dengan mata saya sendiri. Pesawat itu terpotong setengah dan terlihat menjadi sekedar massa logam bergerigi. Mayat berserakan di lumpur di mana salju telah mencair,”kenang bek tengah, Bill Foulkes, dalam otobiografinya, United in Triumph and Tragedy.
Sebanyak 21 jiwa tak tertolong. Tujuh pemain Setan Merah kehilangan nyawa di tempat kejadian dan seorang lain tutup usia 15 hari kemudian. Tak hanya itu, United juga harus rela kehilangan tiga staf mereka.
Perjalanan dari Bograd seusai menghadapi Red Star Belgrade di pentas Piala Eropa ternyata harus berakhir di Muenchen. Separuh sejarah generasi terbaik, The Busby Babes tutup buku.
Pengalaman kelam itu tak pernah akan terlupakan, setidaknya bagi publik Setan Merah. Sampai kapanpun. Tak hanya telah menguburk nyawa para pemain terbaik, layar kejayaan yang telah terkembang pun patah seketika.
Namun United tidak berakhir di situ. Justru setelah titik kelam itu, United menunjukkan diri sebagai sebuah tim besar. Bukan kebesaran dengan trofi dan prestasi, tetapi kebesaran jiwa untuk bangkit dari titik paling kelam.
Tak larut dalam duka, dengan sisa tim yang ada, di bawah komando ketua klub Harold Hardman, panji United tetap terkembang. Hardman sadar, United belum berakhir. Tanggung jawab kepada masyarakat dan dunia sepakbola jauh lebih besar. Karena itu tak ada pilihan lain selain bangkit.
“Di saat paling berat seperti ini pun, kami akan melanjutkan program musim ini. Kami memiliki utang kepada masyarakat dan juga sebuah kewajiban kepada sepakbola,”pekik Hardman yang membuat publik saat itu mendengar dengan separuh rasa tak percaya.
Benar, niat mundur dari semua kompetisi tersisa, berubah haluan. Dengan segala kekuatan, Jimmy Murphy memadukan pemain cadangan dan pemain muda yang lolos dari maut untuk menghadapi Sheffield Wednesdey di Piala FA.
Simpati mengalir dari mana-mana, menawarkan bantuan pemain, dan kebijakan cup ties yang memungkinkan satu pemain bisa membela dua tim berbeda.
Dalam situasi seperti ini United masih bisa melangkah hingga partai puncak sebelum ditumbangkan Bolton Wanderers. Empat pemain yang selamat dari tragedi Muenchen, Charlton, Foulkes, Gregg dan Dennis Viollet turut hadir memberi semangat.
Dengan separuh jiwa dan kekuatan, United sanggup bangkit kembali. Melanjutkan petualangan di lembaran sejarah sepakbola Inggris dan dunia sebagai salah satu klub terbaik yang pernah ada. Mungkin pengalam kelam itulah yang menyemangati Setan Merah untuk terus maju, menghadapi segala rintangan, memenangkan pertarungan di tengah kerasnya persaingan.
Bila mengingat peristiwa 1958 itu, serasa miris, bila Setan Merah kini lebih banyak menyerah dan serasa tak sanggup bangkit dari keterpurukan. Justru sebaliknya, sejarah hitam itu, menjadi penyemangat untuk bangkit. Historia magistra vitae est-sejarah adalah guru terbaik, demikian seruan orator ulung, Marcus Tulius Cicero.
Bila hilang semangat dan buntu pikiran, ingatlah 6 Februari, 58 tahun lalu. Itulah guru terbaik bagi Anda, United!
Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H