Berbagai persoalan dikisahkan dalam LSN seperti ”tarik-ulur” rencana pertambangan (LSN. hlm. 69-72), kemiskinan ekonomi dan ketertinggalan (LSN, hlm. 59-65;85-87;139-145), tekanan kelompok penguasa atas masyarakat kecil (LSN, hlm. 211-219) dan beberapa persoalan dalam tubuh Gereja berkenaan dengan kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil serta hirarkisme (LSN, hlm. 150-151). Persoalan-persoalan ini selalu saja memiliki keterkaitan dengan Gereja Katolik. Problematika yang mengemuka menjadi tanda bahwa Gereja tetap memiliki kedekatan dengan umatnya.
Dan anggapan bahwa persoalan mereka adalah persoalan Gereja masih tetap berlaku. Dan bukan tanpa pertimbangan. Faktor historis telah mempertautkan kita dengan cerita tentang ”perkawinan” masyarakat dengan Gereja Katolik. Pinangan Gereja Katolik dengan senang hati diterima masyarakat. Mas kawin yang dibayar Gereja Katolik ialah pemberian dirinya dalam rupa donasi institusionalisasi benih iman menjadi sebuah kepercayaan akan Gereja Katolik. Dan pemberian ini dipertegas dengan pemeliharaan tubuh jasmani dalam rupa sumbangan meterial untuk pembangunan kesejahteraannya sehingga memungkinkan benih iman itu tumbuh dan berkembang.
Di sisi lain misi utam Gereja Katolik ialah membawa keselamatan. Keselamatan menjadi kata kunci. Manifestasi akan keselamatan itu dapat ditemukan dalam beberapa bentuk. Beberapa ajaran gereja secara terang-terangan menguraikannya. Di antara berbagai macam ajaran yang ada dapat disebutkan beberapa seperti masalah buruh yang oleh Paus Leo XIII diterbitkan eksiklik Rerum Novarum pada tahun 1891 dan jauh sesudah itu refleksi atas kerja manual manusia dalam Laborem Exercens. Refleksi iman atas persoalan sosial politik dan keamanan yang dihadapi dunia dapat ditemui dalam Quadragesimo Anno dan Mater et Magistra.
Di samping itu, Pacem in Terris (1963) juga berbicara tentang perdamaian antarbangsa dalam kebenaran, keadilan, kasih dan kebebasan. Ensiklik Gaudium et Spes memuat idealisme reformasi di tubuh Gereja dalam pendekatannya dengan dunia. Ada pula Populorum Progressio oleh Paus Paulus VI yang berusaha meneruskan semangat dialog dan karya sosial Gereja dari Konsili Vatikan II. Dalam ensiklik Sollicitudo Rei Socialis dapat dijumpai sikap Gereja di tengah persoalan hal hak-hak asasi, nilai-nilai spiritual, dan lingkungan.
Aneka ajaran Gereja yang beberapanya disebutkan di atas merupakan manifestasi tanggung jawab Gereja melalui para gembala dan pemimpinnya terhadap panggilannya dalam tubuh Gereja Katolik. Karena itu menjadi jelas bahwa di hadapan berbagai kenyataan tersebut Gereja tidak bisa berdiam diri dan berada sebagai kubu yang apatis. Gereja mesti bertindak. Tindakan Gereja ini serentak menjadi seruan persuasif yang mempengaruhi para warganya untuk menjadi kaki-tangan Gereja dalam mengaplikasikan secara konkret setiap kata-kata yang tercetak di atas lembaran ajaran Gereja. Kata-kata tertulis yang terangkai indah mesti diwujudkan dalam tindakan nyata.
Dengan demikian, Gereja menggeluti setiap persoalan yang memiliki cakupan karakteristik dan wilayah geografis yang begitu luas. Ruang dunia adalah ruang praktik Gereja untuk mengembangkan diri dalam menerjemahkan panggilan dan tanggung jawabnya. Itu berarti kompleksitas dunia menjadi tanggungan Gereja dan para anggotanya. Gereja tidak membatasi diri pada hal-hal tertentu yang dirasa urgen, penting dan menguntungkan serta sebaliknya, bersikap masa bodoh terhadap hal-hal lain yang menguras tenaga dan menyita perhatian. Gereja tidak semata-mata berkutat dan memfokuskan atensinya pada urusan religius dan khas Gereja Katolik semata, tetapi juga masalah-masalah publik seperti ekonomi, politik dan sosial. Singkatnya, dunia yang luas adalah dunia Gereja. Cita-cita kesejahteraan, kedamaian, kemakmuran dan keadilan yang diserukan oleh setiap orang di seantero jagat adalah cita-cita Gereja pula.
Segebung ajaran Gereja di atas merupakan tanda keberpihakan Gereja terhadap dunia. Di atas dunia ini Gereja menegakkan kerajaan Allah. Bersama masyarakat di dunia berarak menuju tanah air surgawi tempat keselamatan yang paripurna dialami. Karena itu satu pertanyaan penting bisa diajukan, apakah mungkin umat akan tetap berjalan bersama Gereja jika Gereja tidak lagi mengakomodasi mereka atau telah hilang kepercayaan umat terhadap Gereja karena adanya pengalaman yang tidak meyakinkan mereka akan kepastian keselamatan itu? Karena itu dengan berkaca pada selentingan Pedro, tokoh utama dalam LSN, Gereja Katolik bisa merefleksikan spiritnya yang khas, Ecclesia semper reformanda. Selentingan Pedro “…apa saja yang telah dikerjakan oleh Gereja, hingga umat kita tetap misikin?” (LSN, hlm. 61) dalam kadar tertentu sesungguhnya hendak mengukur sejauh mana Gereja Katolik terbuka terhadap dunia dengan segala perkembangannya yang menuntut Gereja untuk mengambil sikap.
Persoalan “roti-anggur” adalah sebagian dari aneka persoalan yang lahir dari bilik pertanyaan masyarakat. Berbagai persoalan yang dihadapai masyarakat dan Gereja sendiri terkristalisasi dalam “roti-anggur” ini. “Roti-anggur” merupakan bahasa lain untuk hirarkisme yang tertanam kuat dalam tubuh gereja. “Roti-anggur” merupakan nama lain dari tradisi baku dan ajeg yang dipertahankan dari waktu ke waktu . “Roti-anggur” menjadi forma baru dari bentuk kerja sama Gereja dan jaringan kapitalisme yang senantiasa ditakuti masyarakat luas. “Roti-anggur” juga adalah symbol dari kepasifan Gereja dan ketertutupannya terhadap berbagai kemungkinan reformatif yang bisa diambil. Karena itu ketika Gereja terus berkutat dengan tradisi ini maka Rahardi menawarkan cara lain entahkan sebagai sebentuk kritik, sindirian atau alternatif yang mungkin dipilih sebagaimana yang dilakonkan tokoh Pedro dalam aksinya menggiatkan tradisi baru “moke-jagung titi”. Tidak sampai di situ. Aksi Pedro kian menjadi-jadi. Ia tidak hanya menegakan tradisi “moke-jagung titi” sebagai ganti “roti-anggur” tetapi ia juga memilih mundur dari dunia yang dianggapnya belum mengejawantahkan keselamatan kepada umatnya sehingga ia merasa perlu mengusahakan sendiri gandum dan anggur bagi masyarakat setempat sebagai sebuah counter act.
Dengan mengusahakan gandum dan anggur bagi rakyat terkandung cita-cita kesejahteraan yang bakal dirasakan masyarakat di sekitarnya. Kesejahteraan inilah yang sesungguhnya mau menjawabi pertanyaan apakah keselamatan itu hanya terjadi pada saat terakhir dalam dunia kebakaan. Dan Rahardi dengan aksinya ini menjawab sendiri bahwa keselamatan itu mesti dirasakan pula saat sekarang ini. Dengan demikian iapun semakin bergiat mengusahakan kesejahteraan rakyat sekalipun usahanya itu terlampau luar biasa. Ketika ia memilih mundur dari jabatan imam dan menekuni status barunya itu sesungguhnya Pedro sedang menantang setiap bentuk pengkultusan kaum terpanggil yang merasa dirinya berarti ketika mengenakan jabatan mulia itu dan akan mengalami kehilangan artinya serentak setelah statusnya ditanggalkan.
Catatan akhir
Di balik tema LSN mengkritisi peran gereja katolik sebagai institusi pengusaha keselamatan rohani dan kesejahteraan jasmani, terkandung sebuah kecemasan. Kecemasan ini merupakan akibat dari ketergantungan masyarakat yang terlampau kukuh kepada Gereja yang bisa membuat mereka selalu hidup dalam mentalitas yang siap menerima saja tanpa mau berusaha sendiri. Dengan kekuatan ikatan itu para pemeluk akan sulit membebaskan diri dari perihidup parasit yang hidup dan matinya ada pada Gereja Katolik. Memang telah dikatakan bahwa Gereja menawarkan jalan keselamatan dan adalah tugas Gereja untuk menyediakannya bagi umatnya dalam berbagai bentuk tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa dengan cara seperti itu Gereja sesungguhnya telah memupuk sikap ketergantungan dari umatnya.