[caption caption="foto: Daily Mail.com"][/caption]
Brendan Rodgers akhirnya didepak. Masa kepelatihannya selama tiga tahun di Anfield pun berakhir. Hasil imbang kontra Everton dalam derby Merseyside, Minggu (04/10) menjadi laga pamungkas sekaligus partai perpisahan bagi pria 42 tahun itu. Tambahan satu poin sama sekali tak banyak berarti untuk menyelamatkan karirnya di Anfield.
Namun bukan hasil imbang itu yang membuat pria Iralandia Utara ini harus angkat kaki. Posisi Liverpool yang kini berada di urutan ke-10 klasemen sementara atau terpaut enam poin dari Manchester City di pucuk klasemen, merupakan puncak dari gunung es hasil buruk selama semusim terakhir.
Musim ini saja Liverpool baru memenangkan empat laga dari 11 pertandingan di semua kompetisi. Termasuk kemenangan dramatis lewat adu penalti atas tim Divisi Empat atau Ligue Two, Carlisle di pentas Capital One Cup.
Tanpa hasil
Sejak mengambil alih jabatan pelatih pasca pengunduran diri Dick Advocaat pada Juni 2012, Rodgers sedikitnya telah membelanjakan tak kurang dari 292 juta poundsterling. Namun amunisi-amunisi baru yang dibeli sama sekali tak banyak membantu. Jika tidak menghuni bangku cadangan, menjadi sasaran cemooh fans, para pemain pilihan Rodgers itu berakhir sebagai pemain pinjaman.
Tengok saja nasib bek Dejan Lovren yang dibeli seharga 20 juta poundsterling. Pun harga yang sama digelontorkan untuk Lazar Markovic yang kini ‘disekolahkan’ ke Turki bersama Fenerbahce setelah menjalani musim yang buruk di Anfield.
Demikian pun mahar 12 juta poundsterling untuk menggaet Daniel Sturridge dari Chelsea. Namun pemain asal Inggris itu harus menghabiskan sebagian besar waktu di meja perawatan karena serangkaian cedera yang datang silih berganti.
Rodgers pun menjadi salah satu pihak yang paling bertanggung jawab di bursa transfer meski beban tersebut pun dipikul oleh kelompok khusus yang disebut ‘Komite Transfer’ yang bertugas untuk menganalisis dan mengambil kebijakan.
Tak kurang dari 23 pemain yang diikat secara permanen selama masa kepemimpinan Rodgers. Namun hasilnya tak sesuai ekspektasi.
Rodgers pun banyak dikecam terkait pelepasan sejumlah pemain bintang. Kepergian Luis Suarez dari Anfield menjadi salah satu kehilangan besar bagi Si Merah. Namun lepasnya Suarez saat itu bisa dimaklumi setelah pemain asal Uruguay itu melakukan skandal: menggigit bek Italia Giorgio Chiellini di Piala Dunia Brasil 2014.
Sementara Liverpool sama sekali tak mendapat apa-apa dari 75 juta poundsterling itu. Dana besar tersebut seakan menguap di tangan Rodgers. Lihat saja, dana Suarez, plus 49 juta poundsterling dari penjualan Raheems Sterling ke Manchester City sama sekali tak berbekas. Alih-alih mendapat pemasukan, Rodgers malah dikecam telah membiarkan para bintang pergi.
Publik Anfield sempat ditenangkan dengan niat Rodgers mendatangkan bintang lainnya. Alexis Sanchez masuk dalam radar namun apa lacur Arsenal lebih gesit dan lihai untuk memboyongnya ke Emirates Stadium. Taka da pilihan lain, terpaksa Rodgers mendatangkan Rickie Lambert dari Southampton dengan mahar sebesar 4 juta poundsterling.
Dana segar yang diperoleh akhirnya dihamburkan begitu saja untuk mendatangkan Dejan Lovren, Lazar Markovic, Alberto Moreno, Adam Lallana dan Emre Can. Namun hasilnya?
Bahkan di bursa transfer musim panas ini, tak kurang dari 80 juta poundsterling dihabiskan untuk mendatangkan Christian Benteke, Danny Ings, Roberto Firmino, Nathaniel Clune dan Joe Gomez. Namun lagi-lagi hasilnya?
Nyaris
April 2014. Rodgers nyaris membuat sejarah sebagai manajer Liverpool pertama yang mampu meraih gelar Liga Primer Inggris dalam 24 tahun terakhir. Tampil impresif sejak awal, The Reds sempurna dalam 16 laga. Namun apa daya euforia yang hampir mencapai titik puncak itu layu tak lama setelah Manchester City sukses menelikung di partai pamungkas.
Liverpool pun puas berada di posisi kedua, posisi terbaik yang pernah diraih Rodgers selama tiga musim setelah pada musim pertama hanya mampu finish di urutan ketujuh. Sementara musim lalu performa The Reds seperti kembali ke titik nol, pulang ke musim pertama saat Rodgers datang.
Rodgers pun menjadi manajer pertama sejak 1950 yang gagal mempersembahkan satu trofi pun. Sejak saat itu semboyan You’ll never walk alone seperti jauh dari Rodgers.
Meski demikian apresiasi patut diberikan kepada Rodgers yang telah memberikan kontribusi dengan caranya sendiri. Meski gagal mempersembahkan trofi setidaknya ada warisan yang ditinggalkan, setidaknya pelajaran bagi manajemen dan para suksesor untuk jeli me-manage klub.
“"We would like to place on record our sincere thanks to Brendan Rodgers for the significant contribution he has made to the club and express our gratitude for his hard work and commitment,”ungkap petinggi Liverpool.
Ancelotti atau Klopp
Ancelotti memiliki nama besar di jagat kepelatihan. Ia telah meraih serangkaian trofi di tingkat Eropa dan malang melintang di sejumlah klub besar di benua biru. Namun pentas domestik sepertinya bukan spesialisasi pria yang akrab disapa Don Carlo ini.
Selama delapan tahun membesut AC Milan, Ancelotti hanya mempersembahkan satu gelar scudetto. Terakhir Don Carlo gagal mempersembahkan satu trofi La Liga selama dua musim melatih Madrid meski ia mampu mengukir La Decima atau pencapaian gelar Liga Champions ke-10 bagi klub ibu kota Spanyol itu.
Padahal saat ini Liverpool pertama-tama ingin bangkit di pentas domestic. Setidaknya mampu kembali ke empat besar dan memangkan gelar liga setelah terakhir kali pada 1990.
Berbeda dengan Ancelotti, Klopp lebih hoki dengan gelar domestik. Ia mampu mencaplok dua gelar Bundesliga dari dominasi raksasa Bayern Muenchen. Ia pernah meraih gelar Piala Jerman dan mencapai final Liga Champions.
Tentu koleksi gelar Klopp tak sebanding Ancelotti. Namun bukan tidak mungkin kemampuan sihir di level domestik lebih mendesak dan dibutuhkan untuk membuat Si Merah kembali cerah di mata publik Inggris.
Selamat jalan Rodgers, selamat datang fajar baru…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H