Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola

Homeless World Cup: Jalan Pulang yang Terbuang

22 September 2015   09:58 Diperbarui: 22 September 2015   09:58 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hinca Panjaitan boleh saja mengaku sepak bola itu milik FIFA. Ketika match fixing mengguncang status quo sepak bola Indonesia, dia yang kini menjadi Wakil Ketua Umum PSSI, boleh saja berbusa-busa berdalih sepak bola harus tunduk pada otoritas dan berkiblat ke Zurich.

Taka ada yang salah. Namun sang politisi itu tak sadar kalau Zurich yang selama ini diagung-agungkan telah lama menjadi sarang korupsi dan gudang mafia. FIFA yang selalu dipatuhi tak bedanya lumbung bisnis yang menggemukkan segelintir elit selama bertahun-tahun. Dan mungkin itu akan terus terjadi hingga bertahun-tahun..

FIFA dan segala tetek bengeknya perlahan tapi pasti menggiring bola pada satu episentrum, menarik dunia dengan serba keanekaragaman menuju satu titik, dan sedikit memaksa untuk patuh pada satu sistem tunggal. Ya, dengan berasal dari dan menuju ke FIFA.

FIFA menggelar kompetisi, memberi dana, menyusun aturan dan memfasilitasi setiap negara untuk berlomba-lomba menjadi yang terbaik, dan memacu setiap individu untuk menjadi nomor satu. Yang ditekankan: kompetisi, dan keunggulan. Siapa yang kuat dialah yang berjaya, siapa yang cemerlang dialah yang mendapat tempat.  Outputnya jelas: prestise, uang, laba dan nama besar.

Antitesis

Gelaran Homeless World Cup (HWC) atau Piala Dunia Tunawisma merupakan antitesis atas keagungan dan nama besar sepakbola. Turnamen yang digagas oleh dua pengusaha koran jalanan Mel Young dan Harald Schmied telah menjadi panggung unjuk gigi bagi kaum yang tersisih, kaum marjinal karena beragam alasan sosial-ekonomi

Mel dan Harald ingin memberi tempat kepada kaum tuna wisma dan kini meluas juga sebagai arena aktualisasi bagi kalangan ODHA (pengidap virus HIV/AIDS), (eks) pengguna narkoba, dan kalangan miskin kota.

Turnamen yang mulai digelar dua tahun setelah obrolan lepas Mel dan Harald pada 2001, lebih sebagai ruang bertemu dan saling menguatkan di antara mereka yang senasib sepenanggungan untuk mencari jalan pulang ke ‘rumah’ yang sejati.

HWC dengan segala kesederhanaannya merupakan bentuk perlawanan terhadap Piala Dunia sesungghnya. Nafsu Brasil untuk menghelat Piala Dunia 2014 yang glamour dan dipuja-puji harus dibayar dengan jeritan dan protes rakyat miskin. Negara Amerika Selatan itu menghabiskan tak kurang dari  14 miliar dollar AS (setara Rp165,2 triliun) untuk acara yang tak lebih dari satu bulan itu. Namun apa yang diperoleh?  Kegagalan. Kalah memalukan.  Rakyat tersakiti dan luka sejarah yang tak akan terhapus.

Dana besar pun dikucurkan FIFA, sang induk semang. Untuk keperluan Piala Dunia saja FIFA merogoh kocek sekitar 2 miliar dollar AS (Rp23,6 triliun). Dana yang terus meningkat dari tahun ke tahun sebagian besar dialokasikan untuk hadiah bagi para peserta. Sebanyak 32 peserta akan mendapat jatah sesuai prestasi.

Sementara HWC tak butuh anggaran triliunan dan menjanjikan dana fantastis. HWC menyediakan ruang yang jauh lebih berharga, dan kesempatan yang jauh lebih bernilai yakni kehidupan. Dengan tiga piala yang diperebutkan, trofi HWC untuk pria dan wanita serta satu trofi lainnya, para peserta berpacu untuk mengatasi keterpurukan mental, membangkitkan semangat yang sempat padam dan perlahan tapi pasti merayakan kehidupan yang sempat layu.

Sebagian besar peserta yang berpartisipasi dalam ajang ini mengaku adanya dampak positif dari keikutsertaan mereka. Mereka mengalami perubahan yang signifikan. Transformasi menuju ‘jalan yang benar’.

Indonesia

Indonesia sudah lima kali berpartisipasi di HWC. Peran penting Rumah Cemara tak bisa ditampik. Organisasi berbasis komunitas ini telah menjadi national organizer timnas Indonesia sejak berpartisipasi pertama kali di HWC 2011 di Prancis. Berbagai proses dilakukan hingga membawa serangkaian prestasi yang membanggakan.

Tahun pertama, Merah Putih finish di posisi keenam. Tahun berikutnya saat digelar di Meksiko Indonesia naik dua peringkat setelah kandas di semifinal di tangan Brasil. Tahun lalu Indonesia hanya menembus sepuluh besar.

Tahun ini Indonesia berjaya di Amsterdam. Meski hanya mampu finish di posisi kelima untuk perebutan trofi HWC, wakil Merah Putih berhasil menggondol trofi Amsterdam Cup yang diperebutkan oleh tim peringkat 5 dan 6 di klasemen akhir fase kedua. Kembali bertemu Norwegia di partai puncak, Merah Putih tampil sebagai juara.

Prestasi kontingan Indonesia ini menjadi pelipur lara di tengah keterpurukan sepakbola tanah air. Di tengah keterbatasan mereka mampu mengibarkan panji Merah Putih di kancah global.

Lebih dari itu, mereka telah membuktikan bahwa sepakbola bukan milik segelintir orang. Dunia olah bola bukan semata kepunyaan kaum elit. Sepak bola adalah milik bersama, dunia yang bisa dimasuki siapa saja dan bisa dirasakan nikmatnya oleh semua orang.

Semoga para peserta HWC tak hanya unjuk prestasi tetapi lebih dari itu benar-benar menemukan jalan pulang ke ‘rumah’ yang semestinya: rumah yang nyaman bagi jiwa yang tenang, rumah yang membuat mereka benar-benar dihargai, rumah yang memungkinkan mereka menjadi sebagaimana mestinya.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun