Tak sampai dengan memberikan kartu hijau di lapangan. Selanjutnya pada akhir musim kartu-kartu hijau yang dikoleksi akan dihitung dan pemain yang paling banyak mengemas kartu hijau akan diberi penghargaan.
Bentuk penghargaan musiman yang bersifat kuantitatif seperti ini bukan hal baru dalam dunia sepak bola. Kita tahu ada gelar pencetak gol terbanyak yang mengacu pada pemain yang paling banyak memasukan bola ke gawang lawan dalam satu musim. Setidaknya pemberian kartu hijau ini menambah daftar apreasisi kuantitatif kepada seorang pemain meski lagi-lagi masih bersifat problematis.
Konteks Indonesia
Tentu butuh waktu kartu hijau itu diterima secara luas termasuk digunakan di kompetisi tanah air. Alih-alih memikirkan kartu hijau, situasi persepakbolaan saja masih carut marut. Kompetisi resmi vakum, dengan dalih masih dibenahi. Butuh proses, bersakit-sakit dahulu, nikmati dulu pil pahit. Demikian kata para bijak.
Namun sebelum FIFA menjatuhkan sanksi dan kompetisi domestik membeku, situasi persepakbolaan dalam negeri juga sama buruknya. Dengan tanpa mengabaikan keterpurukan lainnya, apresiasi yang diterima seorang pemain berupa gaji, jaminan masa depan dan sebagainya sama mirisnya. Maka dalam arti tertentu, saya berpikir perilaku tak terpuji yang kerap mewarnai sepakbola tanah air seperti pemukulan wasit, anarkisme pemain dan sebagainya bisa menjadi gunung es dari minimnya apresiasi yang diterima.
Jadi tidak salah, jika kompetisi dalam negeri belum bisa memberikan apresiasi yang memadai kepada para pemain, mengapa tidak menggunakan kartu hijau agar para pemain merasakan bahwa mereka diapresiasi meski cuma oleh selembar kartu hijau!
Bravo sepak bola dalam negeri!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H