‘Hidup adalah semua tentang perpindahan’ (film Manusia Setengah Salmon)
Â
Perpindahan pertama, …..
Akhir Oktober 2014. Di sebuah rumah sakit swasta di timur Indonesia. Status saya bertambah. Tak hanya seorang suami, tetapi juga seorang ayah. Namun untuk menjadi seorang ayah, saya harus menyaksikan dari dekat bagaimana perjuangan istriku selama sembilan bulan. Dan terlebih saat-saat penuh rintihan dan erangan sakit tak tertahankan menjelang detik-detik persalinan.
Namun semua tak berjalan semudah itu. Selama pemeriksaan kehamilan dokter memberitahu bahwa kondisi ibu dan janin tak mengalami masalah apa pun. Namun saat kehamilan memasuki tujuh bulan, dokter mulai mewanti-wanti untuk bersiap jika ada sesuatu yang tak biasa.
Dan ternyata istri saya harus menjalani operasi caesar meski ia telah mencapai beberapa ‘pembukaan’. Ada alasan tertentu yang mengharuskan dokter mengambil pilihan untuk menjalani bedah di siang hari, sebelum pukul 12 siang.
Empati pada penderitaan istri setidaknya sedikit terobati dengan kehadiran bayi mungil yang lucu. Selama beberapa jam saya tak bisa secara total mendampingi istriku dan berada dekat dengan putri kecil. Selama beberapa jam itu saya berkutat dengan dokumen-dokumen administrasi.
Bersama pihak rumah sakit, saya mengurus BPJS. Tentu, telat memang. Pasalnya BPJS sendiri telah mulai beroperasi sejak 1 Januari 2014. Artinya, sekitar sembilan bulan lebih saya ketinggalan untuk ambil bagian.
Saat masa-masa awal kehamilan kami sudah memilih rumah sakit mana yang akan dipilih untuk menjalani proses persalinan. Kami juga telah mencari informasi terkait pengurusan BPJS. Informasi yang didapat bunyinya melegakan dan membuat saya akhirnya mengurungkan niat untuk mengurus BPJS lebih dini. BPJS bisa diurus saat masuk rumah sakit dan akan dibantu oleh pihak rumah sakit bersangkutan.
Dan terbukti memang demikian adanya. Pengurusannya mudah, dan diselesaikan dalam rentang waktu sehari saja. Selama beberapa hari istri saya dirawat di rumah sakit tersebut, dan saat kami check out saya tak mengeluarkan biaya sepeser pun karena semua telah dicover oleh BPJS……
Perpindahan kedua….
Kehadiran BPJS terasa amat bermanfaat. Setidaknya sudah dirasakan dalam diri istri saya. Selanjutnya giliran si kecil yang harus mendapatkan kartu BPJS. Saat pengurusan kartu saya mendapat informasi bahwa proses pengurusan tak bisa diselesaikan dalam tempo sehari. Segala urusan hingga mendapatkan kartu baru bisa diperoleh setelah satu minggu. Itu pun harus berdesak-desakan dengan antrian panjang masyarakat yang membludak di kantor BPJS saban hari.
Memang patut dimaklumi dari waktu ke waktu animo masyarakat untuk menjadi bagian dari peserta BPJS terus meningkat. Per Juli 2015 sudah melayani 147 juta penduduk (Kompas, 8 Agustus 2015). Itu artinya, dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 an juta bahkan lebih, penambahan peserta dari waktu ke waktu mengalami peningkatan yang signifikan.
Saya memaklumi, antusiasme yang tinggi jika tak dibarengi dengan ketersediaan sarana dan prasarana maka akan terjadi ketimpangan. Termasuk juga bagaimana memberikan pemahaman kepada masyarakat terkati regulasi yang ada.
Perpindahan ketiga…..
Kebersamaan saya bersama istri dan buah hati sedikit terpotong karena saya harus kembali merantau ke ibu kota. Hubungan kami pun hanya diantarai lewat udara melalui telepon dan pesan singkat. Relasi dengan BPJS tetap berlanjut karena saya harus membayar preminya setiap bulan.
Pada titik tertentu, saya boleh menyebut diri beruntung. Setidaknya jika saya membandingkan dengan pengalaman teman sekantor. Ia kelimpungan ketika mengetahui anaknya harus lahir secara prematur dan menanggung biaya perawatan sebesar Rp.65,932 juta (kisah ini pernah diangkat pula oleh Kompas, 12 Mei 2015).
BPJS yang dimilikinya tak berarti apa-apa. Menurut pihak terkait, pihak keluarga terlambat melakukan pendaftaran yang semestinya dilakukan sejak bayi dalam kandungan. Tak heran saat bayi harus mendapat perawatan intensif dan khusus, biaya yang harus ditanggung keluarga sedemikian besar sebagaimana pasien umumnya yang bukan peserta BPJS Kesehatan. Dengan kata lain, jika sang bayi sebelumnya telah terdaftar sebagai anggota BPJS Kesehatan maka situasi tak akan serumit ini.
Pengalaman ini memberi saya pelajaran berarti untuk lebih memahami regulasi BPJS Kesehatan. Seperti teman saya itu, kami mengambil bagian dalam keanggotaan ini dengan tanpa bekal pemahaman yang cukup. Boleh dikata, kami mendapat pemahaman dari pengalaman yang telah terjadi. Peristiwa sini kinilah yang mendorong kami untuk menjadi anggota.
Saya membayangkan jika saat pengurusan, para peserta langsung dibekali dengan pemahaman yang memadai maka kejadian seperti di atas tak bakal terjadi. Atau lebih jauh, masyarakat telah diberi pemahaman sebelum mendaftar. Masyarakat menjadi peserta karena paham dan mafhum manfaat, dan bukan karena terpaksa dan terjepit masalah.
Bila seseorang menjadi peserta karena didorong oleh situasi pelik maka yang disasar adalah kartu yang membuatnya selamat dari tanggungan saat ini dan bukan manfaat berkelanjutan.
Tentu masyarakat tidak bisa disalahkan dalam hal ini. BPJS Kesehatan merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 untuk melindungi masyarakat dan menciptakan kesejahteraan yang kemudian diturunkan dalam No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang No.24/2011 tentang BPJS. Setiap masyarakat perlu diberi pemahaman dan difasilitasi untuk ambil bagian sebagai peserta.
Negara tidak bisa hanya menuntut masyarakat untuk menjadi peserta, tetapi juga memungkinkan masyarakat untuk mendapat layanan yang memadai. Disadari atau tidak dengan dasar iuridis yang ada BPJS sebenarnya berkekuatan menekan masyarakat untuk menjadi peserta dan membayar premi seperti yang ditentukan.
Semestinya kekuatan yang sama pula digunakan untuk menjalin mitra dengan semakin banyak fasilitas kesehatan (faskes) dan ‘memaksa’ faskes untuk memberikan layan yang prima kepada masyarakat. Sehingga rupa-rupa keluhan terkait minimnya fasilitas dan kurang primanya pelayanan bisa diminimalisir.
Dalam sebuah survey oleh harian Kompas, tercatat sekitar 42,9 persen responden yang masih belum puas dengan sistem pelayanan yang ada. Ada beragam alasan, di antaranya terkait prosedur untuk mendapat layanan sejak pendaftaran hingga pemeriksaan.
Banyak peserta yang mengeluhkan kebebasan memilih faskes karena program JKN menggunakan pola berjenjang. Masyarakat tak bisa serta merata mendapat layanan lebih lanjut jika tanpa melewati faskes tingkat pertama seperti klinik, puskesmas atau dokter keluarga. Anda tak bisa langsung ke dokter spesialis jika tak lebih dulu dirujuk ke puskesmas lalu rumah sakit.
Persoalan muncul. Bagaimana jika peserta mendapat serangan penyakit yang membuatnya harus segera ditangani oleh faskes tingkat lanjut? Apakah masih harus ke faskes tingkat pertama dan selanjutnya? Belum lagi jika faskes tingkat bawah memiliki sumber daya dan fasilitas yang terbatas. Antrian dan penumpukan pasti terjadi.
Sebagian situasi ini mencerminkan bagaimana sebuah kebijakan digagas, dirancang dan dilaksanakan. Kekurangan di sana sini hanya bisa diselesaikan dengan evaluasi yang mendasar dan menyeluruh baik pada tataran pelaksanaan maupun kebijakan. Anggap saja tahun pertama ini menjadi tahun pembelajaran ibarat kaca pengilon untuk berkaca diri melihat sejauh mana tingkat persiapan dan pelaksaan.
Pihak pengelola harus segera melakukan perpindahan fundamental: menanggalkan atribut sebagai instrumen pemerintah yang berdaya memaksa, menjadi bagian dari negara yang tak menafikan kehadiran pihak-pihak lain sebagai partner dan mitra baik dalam merancang bangun maupun melaksanakan kebijakan.
Saya membayangkan jika pemerintah, organisasi profesi kesehatan, tokoh masyarakat dan agama duduk bersama, maka berbagai persoalan yang ada saat ini bisa segera diatasi. Selain keluhan dari masyarakat luas, perbedaan pandangan dari organisasi keagamaan tertentu (MUI misalnya) tentang BPJS Kesehatan mustahil terselesaikan jika tak ada kerja sama dan dialog secara terbuka.
Pertemuan pihak BPJS Kesehatan, pemerintah, MUI, DJSN dan OJK (bandingkan laman resmi BPJS) pada awal Agustus ini adalah langkah maju. Namun pertemuan bersama itu seyogyanya tidak terbatas untuk isu-isu tertentu saja tetapi juga menyangkut aspek-aspek lain yang juga tak kalah mendasar. Intinya, kerja sama dan dialog selalu menjadi instrumen utama menuju saling pemahaman. Dan pemahaman menjadi kunci bagi jalannya roda kebijakan apalagi menyangkut kemaslahatan dan hajat hidup orang banyak.
Program ini merupakan kerja kebudayaan yang multidimensional yang melibatkan manusia sebagai ‘pasien’ sekaligus ‘agen’ kebudayaan itu. Masyarakat sebagai sasaran sekaligus pelaku tidak bisa dipisahkan dari aspek sosial, kultural dan ekonomi yang melingkupinya. Artinya, keberhasilan program ini tak lepas dari sejauh mana tingkat kesejahteraan, pendidikan, dan pemahaman masyarakat bersangkutan. Karena itu  pelaksaan program dan sistem jaminan ini harus bersentuhan dengan lembaga pendidikan sebagai pintu masuk menuju dimensi-dimensi kebudayaan itu. Pendidikan membantu menanamkan kesadaran untuk membangun pola hidup sehat, dan mengupayakan kesejahteraan agar program indah dan luhur ini bukan menjadi pelarian dan tumpuan semata.
Mari bergabung dengan BPJS, mari kita ‘berpindah’ mencari titik kesetimbangan baru untuk bersama membangun masyarakat karena di depan sana ada masa depan peradaban yang sehat, adil dan sejahtera.
Â
N.B: gambar-gambar yang digunakan diambil dari google.com
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI