Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola

Akhir Puasa 99 Tahun La Roja

5 Juli 2015   11:36 Diperbarui: 5 Juli 2015   11:36 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penantian Chile selama 99 tahun untuk meraih kesuksesan di Copa America akhirnya terpenuhi Minggu (05/07/2015) WIB. Di depan pendukungnya sendiri La Roja sukses memupuskan harapan Argentina untuk mengangkat trofi yang sama setelah puasa gelar internasional sejak 1993 silam.

Pasca Alexis Sanchez sukses memprdaya Sergio Romero dari titik putih seisi Estadio Nacional Julio Martínez Prádanos pecah dalam kegembiraan. Tempat di mana 20.000 warga Chile pernah ditahan selama masa kediktatoran itu berubah menjadi arena pesta rakyat. Kibaran sekitar 40.000 bendera nasional membuat stadion bersejarah itu berubah jadi bentangan merah, putih dan biru.

Chile pun sukses mengawinkan kesuksesan sebagai tuan rumah dengan gelar Copa America edisi ke-44 ini. Fantastis!

Messi Remuk Redam

Kapten timnas Argentina, Lionel Messi tampak lesu meski telah mendapat medali. Tentu itu bukanlah medali yang diharapkan. Bintang Barcelona ini seperti memendam kekecewaan mendalam setelah kembali gagal di partai final. Tahun lalu, Messi tak berkutik di partai puncak Piala Dunia Brasil. Gelar pemain terbaik momen empat tahunan itu tak cukup menghibur hatinya.

Dalam hati kecilnya, pemain 28 tahun ini ingin membawakan kebanggaan bagi rakyat Argentina setelah menorehkan prestasi gemilang di tingkat klub. Jika bisa memutar waktu, Messi tentu ingin berada di tahun 2005 ketika ia mampu mempersembahkan gelar Piala Dunia U-20 dan tiga tahun kemudian meraih emas Olimpiade Beijing.

Messi ingin kejayaan Argentina di tahun 1993 terulang lagi. Ia ingin berada di posisi Gabriel Batistuta yang sukses mencetak dua gol ke gawang Meksiko dan memastikan trofi Copa America menjadi milik Argentina. Namun sayang, momen 4 Juli 22 tahun silam itu tetap menjadi sejarah tersendiri, tak saling berpelukan dengan partai puncak kali ini.

Messi tentu tak bisa menyalahkan dirinya sendiri untuk kegagalan ini. Pun melemparkan tanggung jawab kepada tim.

Chile tampil begitu dominan, gencar menekan dan membuat para pemain bintang Argentina nyaris tak berkutik. Penguasaan bola La Roja mencapai 57 persen. Gawang Sergio Romero hampir tak pernah sepi dari ancaman. Total Chile melepaskan 18 tembakan meski hanya empat yang mengenai sasaran.

Messi telah mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Namun formasi Tata Martino kali ini membuatnya harus bermain lebih ke dalam sehingga ia dengan gampang menjadi target buruan Charles Aranguiz, Diaz dan man of the match Arturo Vidal.

Argentina pun harus mengakui titik lemah di lini pertahanan. Kuartet Marcos Rojo, Pablo Zabaleta, Otamendi dan Martin Demichelis cukup kewalahan meladeni kecepatan Alexis Sanchez dan sang pencetak gol terbanyak Eduardo Vargas. Apalagi absennya Ezequel Garay yang belum pulih dari sakit perut membuat jantung pertahanan Albiceleste berdegup lebih kencang.

Tata Kambing Hitam

Pelatih Argentina, Gerardo Martino pun menjadi kambing hitam. Pria yang sukses mempersembahkan gelar Liga Argentina bagi Newell Old Boys dan mengantar Paraguay ke final Copa America tahun 2011 dianggap gagal.

Berkekuatan para pemain bintang, eks pelatih Barcelona ini tak sanggup meracik menjadi komposisi terbaik. Termasuk juga mengambil timing keputusan yang jitu. Saat menghadapi Paraguay di babak penyisihan grup ia menarik Carlos Tevez dan Gonzalo Higuain karena sudah merasa cukup dengan keungguan dua gol. Namun apa daya, Paraguay mampu mengejar ketertinggalan dan memaksa laga berakhir sama kuat.

Kejutan kembali terjadi di partai final. Menempatkan Ever Banega di lini tengah tentu menjadi keputusan yang sangat berani ketimbang memasang Lucas Biglia. Publik tentu bertanya-tanya, ada apa gerangan Martino tak memasukan Tevez untuk mendongkrak pertahanan Chile ketika Sergio Aguero tak cukup rajin menjemput bola.

Martino tampaknya menganggap setiap pertandingan bisa diatasi dengan sistem yang sama. Termasuk menempatkan Messi, Aguero dan Angel Di Maria seperti skrup-skrup dalam mesin formasinya.

Martino sepertinya kurang jeli menangkap semangat tanding anak asuhnya yang mudah gugup menjelang laga usai, dan kurang siap jika harus beradu tendangan penalti.

Berbeda dengan Tata Martino,  Jorge Sampaoli tampil lebih taktis. Ia memberi ruang lapang kepada para pemain dan berani meyakinkan anak asuhnya untuk keluar dari bayang-bayang kemenangan besar Argentina di babak semifinal dan siap tampil jika adu penalti menjadi pilihan terakhir.

Sampaoli dan skuadnya pun pantas untuk mendapatkan trofi Copa America ini. Proficiat La Roja!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun