Argentina pun harus mengakui titik lemah di lini pertahanan. Kuartet Marcos Rojo, Pablo Zabaleta, Otamendi dan Martin Demichelis cukup kewalahan meladeni kecepatan Alexis Sanchez dan sang pencetak gol terbanyak Eduardo Vargas. Apalagi absennya Ezequel Garay yang belum pulih dari sakit perut membuat jantung pertahanan Albiceleste berdegup lebih kencang.
Pelatih Argentina, Gerardo Martino pun menjadi kambing hitam. Pria yang sukses mempersembahkan gelar Liga Argentina bagi Newell Old Boys dan mengantar Paraguay ke final Copa America tahun 2011 dianggap gagal.
Berkekuatan para pemain bintang, eks pelatih Barcelona ini tak sanggup meracik menjadi komposisi terbaik. Termasuk juga mengambil timing keputusan yang jitu. Saat menghadapi Paraguay di babak penyisihan grup ia menarik Carlos Tevez dan Gonzalo Higuain karena sudah merasa cukup dengan keungguan dua gol. Namun apa daya, Paraguay mampu mengejar ketertinggalan dan memaksa laga berakhir sama kuat.
Kejutan kembali terjadi di partai final. Menempatkan Ever Banega di lini tengah tentu menjadi keputusan yang sangat berani ketimbang memasang Lucas Biglia. Publik tentu bertanya-tanya, ada apa gerangan Martino tak memasukan Tevez untuk mendongkrak pertahanan Chile ketika Sergio Aguero tak cukup rajin menjemput bola.
Martino sepertinya kurang jeli menangkap semangat tanding anak asuhnya yang mudah gugup menjelang laga usai, dan kurang siap jika harus beradu tendangan penalti.
Berbeda dengan Tata Martino, Â Jorge Sampaoli tampil lebih taktis. Ia memberi ruang lapang kepada para pemain dan berani meyakinkan anak asuhnya untuk keluar dari bayang-bayang kemenangan besar Argentina di babak semifinal dan siap tampil jika adu penalti menjadi pilihan terakhir.
Sampaoli dan skuadnya pun pantas untuk mendapatkan trofi Copa America ini. Proficiat La Roja!
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H