Dengan novel Rapijali yang ditulis oleh Dee Lestari, kita bisa melihat bahwa sang penulis menyampaikan dua poin penting yang dapat diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Novel ini secara keseluruhan menceritakan kehidupan seorang gadis yang dulunya tinggal di sebuah desa bersama kakeknya tanpa mengetahui orang tua kandungnya, dan pada suatu hari kakeknya meninggal dan akhirnya gadis tersebut pergi dan tinggal Bersama ayah kandungnya di perkotaan. Dilanjuti dengan perjuangan gadis tersebut dengan kehidupan barunya di lingkungan baru itu.
Bagian novel yang menunjukkan kedua poin ini secara khusus merupakan bagian dari bab 7 dan bab 10 – 27. Poin pertama yaitu, kita harus kuat dan teguh menghadapi segala kesusahan dan poin kedua, satu kebersamaan dapat menyatukan berbagai perbedaan. Sehingga secara keseluruhan, penulis novel Rapijali ini memberikan pesan akan sikap toleransi.
Kita bisa melihat poin pertama (tetap kuat dan teguh menghadapi segala tantangan) yang diberikan oleh penulis pada saat Pak Yuda, kakeknya Ping, meninggal (Lestari, Rapijali, 2021, p. 60). Ping tertinggal sendirian dan terpaksa untuk melanjutkan hidupnya tanpa anggota keluarga lain. Ping menjadi depresi sampai tidak mau makan ataupun menjaga diri. Ping ditinggalkan sejumlah uang oleh kakeknya, dengan perhitungan sedikit Ping menyadari bahwa uang tersebut hanya akan cukup untuk menafkahinya selama 2-3 tahun kedepan, dan oleh sebab itu, Ping merasa bingung dengan bagaimana ia akan melanjuti hidupnya, mau kerja atau lanjut kuliah ataupun menjual rumahnya (Lestari, Rapijali, 2021, pp. 64-65).
Tak lama kemudia Ping dibawa ke Jakarta oleh Dahlia untuk tinggal bersama dengan Guntur sesuai permintaan Yuda. Hidup Ping di kelilingi dengan lingkungan baru dan orang-orang yang baru merupakan perubahan yang rumit bagi Ping. Tetapi Ping tetap berusaha untuk menjalani hidupnya mengikuti arus. Sama seperti yang ditunjukkan pada bagian cerita pada bab 10, halaman 95 mengenai bagaimana Ping rela duduk di kusi belakang mobil karena Ardi tidak mau pindah dari tempat duduk biasanya (Lestari, Rapijali, 2021, p. 95).
Disini dapat dilihat bagaimana hidup Ping berubah secara 180 derajat, dari dulunya Ia tinggal bersama kakeknya, bersama teman-temannya, sekarang Ia terpaksa tertinggal sendiri. Walaupun Odeng, teman baik Ping, sudah berusaha untuk menemuinya Ping tetap menyendiri dan menguncilkan dirinya. Lalu, tiba-tiba Ping ditemui oleh seseorang dan dia terpaksa pindah dari tempat tinggalnya ke lingkungan yang baru bersama keluarga yang Ia tidak ketahui. Dee Lestari menulis kejadian ini pada bagian awal cerita untuk menunjukkan bahwa dalam kehidupan kita, semuanya dapat berubah dengan cepat, tetapi kita harus tetap melanjuti hidup kita dengan teguh walaupun semuanya terasa gelap dan tidak ada harapan.
Poin ini dapat dilihat lagi ketika Ping bergabung dalam band sekolahnya dan bertemu dengan berbagai murid yang lain, yang kemudia menjadi teman-teman baiknya. Teman-temannya itu adalah Rakai, Buto, Inggil, dan Jemi. Bersama teman-temannya, mereka berlatih dengan giat untuk mengikuti lomba band yang sudah dekat (Lestari, 2021, pp. 168-180). Pada awal hingga akhir novel tersebut nilai kerja keras dan tetap teguh selalu terdapat dalam sikap Ping dan orang-orang disekitarnya.
Poin kedua dapat dilihat dari cerita-cerita atau latar belakang dari masing-masing temannya Ping. Contohnya Inggil, yang tinggal sendirian bersama ayahnya, bersifat kompetitif akan nilai akademiknya dan suka menyendiri. “Inggil, nilai akademismu paling tinggi dari semua murid di sekolah”. (Lestari, 2021, p. 106). Rakai, seorang anak Tunggal yang ayahnya meninggalkan ia dan ibunya sendiri. “Don dan Ira resmi berpisah Ketika Rakai masih 10 tahun. Belum pernah Don Kembali ke rumah itu lagi”. (Lestari, 2021, p. 144), Lodeh, pengamen di warteg yang menikah pada umur 19 tahun, akibat pacarnya hamil (Lestari, Rapijali, 2021).
Amanat di cerita ini menjadi sebuah pengingat bagi kita yang membaca novel ini. Walaupun dalam keadaan yang gelap seakan-akan tidak ada lagi harapan, kita tetap harus menjalani hidup, semuanya tidak dapat berakhir bergitu saja. Selain dari harapan, penulis cerita ini juga memberikan pengingat kepada kita yang hidup di masyarakat yang sangat beraneka ragam ini, bahwa walaupun terdapat perbedaan dalam latar belakang, nilai/moral pribadi, maupun agama, kita tetap harus menjunjung tinggi nilai toleransi. Menurut Annisa Medina Sari dalam artikel website, UMSU, fakultas hukum, “Kesatuan sangat penting dalam Masyarakat beragam seperti Indonesia untuk menciptakan keharmonisan dan menghargai perbedaan”.
Oleh karena itu, melalui bagian novel ini kita dapat menyadari bahwa, walaupun memang berbeda, berbeda pandangan, latar belakang atau situasi, kita harus tetap bekerja sama dengan sikap toleransi untuk mengatasi sebuah masalah agar dapat diselesaikan dengan cepat dengan solusi yang paling terbaik. Sama seperti Ping yang tetap berjuang walaupun sudah ditinggali oleh anggota keluarga satu-satunya yang Ia kenali dan terpaksa untuk melanjuti hidupnya Bersama orang-orang yang dia kurang ketahui, kita pun harus tetap berjuang untuk mengatasi segala permasalahan walaupun memang terasa mustahil.
Seperti yang di firmankan Tuhan dalam Roma 12: 16 yang berbunyi Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai! dan Filipi 4: 13 yang berbunyi Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku. Maka, kita harus menjaga sikap toleransi terhadap agama-agama lain bahkan terhadap anggota seagama yang berbeda pandangan atau latar dengan kita. Kita juga harus tetap siaga dan kuat dalam melewati segala tantangan atau masalah yang diberikan oleh Tuhan terhadap kehidupan kita karena semua itu dapat di selesaikan dengan mudah karena bimbingan Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H