Mohon tunggu...
Charissa Debora Tania
Charissa Debora Tania Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Bina Nusantara (BINUS)

Mahasiswi Bina Nusantara Malang yang memiliki hobi menulis ingin mempublikasikan tulisannya melalui media kompas.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pengaruh Komunikasi Orang Tua terhadap Psikologi Anak

10 Juni 2024   10:38 Diperbarui: 10 Juni 2024   13:27 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: alodokter.com

Komunikasi menjadi salah satu aspek yang sangat penting dalam suatu organisasi, baik personal ataupun profesional. Organisasi personal yang dimiliki oleh semua orang adalah sebuah keluarga. 

Dalam sebuah keluarga, terdapat dua peran yaitu orang tua dan anak-anak. Perkembangan seorang anak dapat ditentukan oleh berbagai faktor seperti didikan oleh orang tua, pergaulan dengan teman-teman sebaya, dan juga pengaruh media sosial. Didikan orang tua menjadi hal yang kini disorot oleh publik untuk perkembangan anak di masa depan. Hasil dari didikan orang tua melalui komunikasi mereka terhadap anak dapat dilihat melalui kesehatan psikologi dari anak-anak tersebut. 

Ada sebuah keluarga yang mempunyai anggota yang lengkap, ada ayah, ibu dan dua anak, terasa mempunyai keluarga cemara yang sempurna. Namun ada pula keluarga yang mengalami berbagai kesulitan sehingga disebut sebagai keluarga yang kacau atau broken home. 

Anak-anak yang terlahir dari keluarga yang kacau mendapat panggilan sebagai anak broken home. Panggilan tersebut membuat hati anak menjadi tercabik-cabik dan timbul rasa tidak percaya diri dalam diri mereka. Rasa iri terhadap anak dari keluarga cemara juga tidak sedikit ditemui di kehidupan sehari-hari. Setiap saat mereka membanding-bandingkan kehidupan mereka dengan kehidupan anak lain yang memiliki keluarga yang lebih harmonis. Hal ini membuat psikologi mereka menjadi tidak sehat.  

Menurut katadata.co.id, psikologi merupakan sebuah ilmu yang dapat meneliti perilaku, mental, dan pikiran seseorang. Melalui ilmu psikologi, kita dapat memahami dan menjelaskan perilaku seseorang secara logis. Anak-anak mengalami pertumbuhan sebelum menjadi dewasa. 

Pertumbuhan dan perkembangan psikologi mereka berpengaruh dalam tingkah laku yang mereka tunjukkan di masa depan. Apabila seorang anak mengalami kesulitan dalam mengatur kesehatan psikologisnya, maka anak dapat mengalami kesusahan dalam kehidupannya baik dalam dunia personal ataupun profesional. 

Oleh karena itu, untuk mengembangkan kesehatan mental dan psikologis yang baik pada anak, peran orang tua menjadi sangat penting terutama dalam berkomunikasi sehari-hari. Komunikasi yang baik antara orang tua dan anak dapat menciptakan keharmonisan dalam hubungan keluarga. 

Lembaga riset Populix mengeluarkan hasil survey yang sudah dilakukan, dimana terdapat 52% masyarakat Indonesia yang mengalami gangguan kesehatan mental (Santika, 2022). Hasil survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) juga menyatakan bahwa gangguan mental seperti gangguan kecemasan dialami oleh remaja dengan persentase sebesar 3,7% dan diikuti dengan gangguan lainnya. 

Mirisnya, walaupun orang terdekat yaitu pengasuh sudah mengetahui mengenai gangguan mental yang dialami oleh anak, 43,8% melaporkan bahwa mereka tidak mencari bantuan mengenai hal tersebut, dan hanya berpegang pada bantuan teman-teman beserta keluarga lainnya (Gloriabarus, 2022). 

Meskipun pemerintah sudah menyediakan berbagai fasilitas bantuan untuk gangguan mental anak-anak, hanya sedikit dari mereka yang mencari bantuan profesional. 

Santika (2022) menjelaskan bahwa mayoritas menyelesaikan masalah kesehatan mental mereka dengan cara beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan, dilansir dengan persentase 73%. Disamping itu, cara kedua yang dilakukan oleh mayoritas adalah dengan istirahat yang cukup dan tidur dengan nyenyak.

Tidak sedikit pula anak-anak yang tertutup pada orang tua sehingga mencari jalan sendiri untuk mengatasi hal tersebut. Beberapa faktor menyebabkan anak-anak tidak berani untuk terbuka kepada orang tua mereka. "Perilaku orang tua menjadi teladan bagi anak-anak mereka", kalimat berikut banyak beredar melalui media sosial, dan banyak anak-anak yang menentang hal tersebut. 

Anak-anak mengungkapkan isi hati mereka melalui media sosial dan membeberkan perilaku "sebenarnya" dari orang tua mereka. Kekerasan menjadi hal yang sering ditemui dalam laporan kasus rumah tangga. 

Kekerasan orang tua kepada anak dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi komunikasi orang tua terhadap anak. Anak menjadi takut untuk terbuka kepada orang tua mereka karena respon kasar yang mereka dapatkan. Rasa takut akan dibanding-bandingkan, disalahkan atas segala hal yang terjadi dalam keluarga, dan tidak diapresiasi menjadi curhatan anak-anak melalui media sosial. 

Terkadang orang tua mengambil keputusan yang salah dalam berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Semua manusia mengalami masalah dalam kehidupan mereka, baik orang tua ataupun anak. 

Ketika anak mengalami masalah dan ingin menceritakannya kepada orang tua, seringkali kesalahpahaman sering terjadi dimana orang tua melontarkan kata-kata yang tidak baik kepada anak mereka karena sedang dalam suasana hati yang buruk dari aktivitas bekerja mereka. 

Selain itu banyak hal lainnya yang tidak dapat dikatakan orang tua kepada anak-anak, seperti masalah ekonomi. Hal tersebut juga membuat orang tua tidak dapat terbuka kepada anak-anak dan jujur kepada mereka. Oleh karena itu anak-anak pun menganggap bahwa orang tua tidak peduli pada kesehatan psikologi dan mental mereka.   

Muttaqin (2021) mendefinisikan beberapa pola komunikasi yang dapat dilihat pada anak dalam hubungannya bersama orang tua, yaitu sebagai berikut. 

1. Pola Komunikasi Authoritarian 

Pola komunikasi berikut menunjukkan bahwa orang tua memiliki kendali penuh terhadap anak-anak mereka. Orang tua yang menggunakan pola komunikasi berikut mengatur aktivitas anak secara berlebihan dalam kehidupan mereka. Anak-anak dituntut untuk menuruti segala keinginan orang tua mereka. 

Hal berikut membuat anak merasa menjadi korban dalam hubungan keluarga. Anak tidak dapat melakukan apa yang menjadi keinginan diri mereka sendiri dan harus selalu menuruti kehendak orang tua. Orang tua yang menggunakan pola komunikasi ini sering disebut juga sebagai strict parents. 

Sebagai contoh adalah ketika anak ingin bermain dan jalan-jalan bersama teman mereka. Namun orang tua mereka tidak memperbolehkan mereka bermain bersama dengan teman dengan alasan khawatir dan takut anak mengalami hal buruk di luar pengawasan orang tua. Khawatir merupakan hal yang wajar dilakukan oleh orang tua kepada anak, namun ketika hal tersebut dilakukan secara berlebihan, maka bentuk khawatir tersebut tidak menjadi hal yang baik bagi anak. 

2. Pola Komunikasi Permissive 

Pola komunikasi berikut menunjukkan hubungan orang tua dan anak yang tidak begitu dekat. Dalam hal ini, orang tua berkomunikasi hanya seperlunya kepada anak dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh menyuruh anak untuk makan di meja makan, namun orang tua tidak menemani anak. Pola komunikasi ini tidak menjadi komunikasi yang sehat antara orang tua dan anak, sehingga psikologi anak dapat terganggu akibat kurangnya perhatian yang diberikan oleh orang tua mereka. 

3. Pola Komunikasi Authoritative 

Pola komunikasi yang terakhir menjadi pola komunikasi yang sehat antara orang tua dan anak. Terdapat keseimbangan yang positif apabila orang tua menggunakan komunikasi berikut. Sebagai contoh apabila anak melakukan kesalahan, orang tua dapat memberikan solusi yang baik agar anak dapat belajar menghadapi masalah ketika dewasa. 

Komunikasi yang baik membuat anak merasa aman dan nyaman dengan orang tua mereka sehingga keharmonisan dapat terjalin diantara keluarga. Anak-anak tidak akan merasa malu-malu untuk menyampaikan pendapat pribadi mereka dan apa yang menjadi keinginanmereka. 

Dengan penjelasan yang ada, penulis mengharapkan setiap orang tua belajar untuk mengembangkan komunikasi dengan anak menggunakan Pola Komunikasi Authoritative, dimana komunikasi terjalin secara positif tanpa membebankan salah satu pihak.   

Referensi:  

Gloriabarus. (2022). Hasil Survei I-NAMHS: Satu dari Tiga Remaja Indonesia Memiliki Masalah Kesehatan Mental. https://ugm.ac.id/id/berita/23086-hasil-survei-i-namhs-satu-dari-tiga-remaja-indonesia-memiliki-masalah-kesehatan-mental/ 

Muhamad, Nabilah. (2023). Bukan ke Psikolog, Mayoritas Warga RI Jaga Kesehatan Mental dengan Cara Ini. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/10/16/bukan-ke-psikolog-mayoritas-warga-ri-jaga-kesehatan-mental-dengan-cara-ini   

Mulachela, H. (2024). Psikologi Adalah Ilmu tentang Jiwa, Berikut Jenis dan Manfaatnya. https://katadata.co.id/berita/lifestyle/61e9255160797/psikologi-adalah-ilmu-tentang-jiwa-berikut-jenis-dan-manfaatnya 

Muttaqin, Z & Azmussya'ni. (2021). Menilik Bentuk Komunikasi Antara Anak Dan Orang Tua, Jurnal Penelitian Tarbawi: Pendidikan Islam dan Isu-isu Sosial, 6(2). https://jurnal.iaihnwpancor.ac.id/index.php/tarbawi/article/download/449/332/2309 

Santika, E, F. (2022). Hanya Sedikit Masyarakat Indonesia yang Berkonsultasi ke Profesional Saat Menangani Gejala Gangguan Kesehatan Mental. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/01/20/hanya-sedikit-masyarakat-indonesia-yang-berkonsultasi-ke-profesional-saat-menangani-gejala-gangguan-kesehatan-mental

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun