Kurikulum Merdeka Belajar
Pada 11 Februari 2022 lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (mendikbudristek), bapak Nadiem Anwar Makarim meluncurkan kurikulum baru yang dinamakan sebagai Kurikulum Merdeka Belajar.
Disebutkan bahwa kurikulum ini merupakan evolusi atau peningkatan dari kurikulum sebelumnya yaitu kurikulum 2013. Di dalam kurikulum ini, terdapat beberapa kebijakan baru yang diharapkan membawa dampak yang baik untuk Indonesia di masa depan baik dalam bidang pendidikan itu sendiri atau di bidang lain. Kurikulum baru ini diharapkan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk menguatkan kompetensi.
Salah satu di antara beberapa kebijakan tersebut adalah penghapusan penjurusan atau peminatan di kelas 10 SMA. Seperti yang kita tahu bahwa peserta didik yang baru saja menduduki bangku SMA umumnya akan melakukan tes penjurusan untuk menentukan apakah dia memasuki kelas IPA, IPS, atau Bahasa selama tiga tahun ke depan. Hal ini bertujuan agar peserta didik dapat memfokuskan diri ke mata pelajaran yang sesuai dengan tujuan karirnya di masa depan.
Namun, kurikulum baru merdeka belajar membawa sebuah perubahan dalam penjurusan atau pengelompokkan minat. Peserta didik tidak langsung melakukan tes penjurusan di kelas 10 melainkan nantinya akan ditentukan di kelas 11 sesuai dengan kemampuan atau nilai mereka di kelas sebelumnya. Mata pelajaran seperti Fisika, Kimia, Biologi, Sosiologi, Geografi, dan Ekonomi yang biasanya didapatkan sesuai jurusan masing-masing akan didapatkan oleh seluruh peserta didik. Sehingga seluruh peserta didik yang sekolahnya menerapkan kurikulum merdeka belajar akan mendapatkan pada dasarnya seluruh mata pelajaran di kelas 10.
Bagaimana tanggapan masyarakat?
Setiap hal tentunya memiliki pro dan kontra. Kebijakan baru ini juga mendapatkan banyak tanggapan baik tanggapan yang mendukung ataupun tidak mendukung dari masyarakat.
Beberapa peserta didik merasa kebijakan ini adalah kebijakan yang tepat dan sesuai. Salah satu alasan mereka pro dalam kebijakan ini adalah karena kebanyakan dari mereka juga belum mengetahui pandangan untuk pendidikan lanjut dan karir. Faktor lainnya adalah karena kurangnya penguasaan materi pada bidang tertentu sehingga mereka ingin tau atau meyakinkan diri mereka di kelas 10 untuk nantinya fokus pada jurusan tertentu di kelas setelahnya.
Namun, beberapa pihak khususnya peserta didik yang telah menyiapkan diri atau yang mengharapkan dia akan memasuki jurusan tertentu tepat saat dia masuk ke bangku SMA menganggap kebijakan baru ini terlalu mendadak. Dalam pelaksanaannya, beberapa peserta didik juga menyatakan bahwa kurikulum ini membuat mereka semakin jenuh untuk belajar karena banyaknya mata pelajaran yang harus mereka pelajari. Beberapa orangtua dari peserta didik juga merasa bahwa kurikulum ini terlalu memberatkan anak mereka baik secara fisik maupun mental.
Apalagi, masih banyak pendidik yang belum memahami konsep dari kurikulum merdeka belajar. Banyak guru yang tetap menggunakan konsep belajar yang lama dengan memberikan banyak tugas dan nilai masih jadi patokan utama. Dalam beberapa sekolah, seorang guru malah tidak memberikan materi karena menurut mereka, kebijakan baru ini menuntut peserta didik bisa menggali potensi mereka sendiri. Padahal, tugas guru sebagai pendamping dan tugas mereka untuk mengembangkan potensi siswa adalah faktor penting dalam mengembangkan potensi siswa.
Hal ini bisa jadi disebabkan karena kurikulum ini terlalu mendadak dalam pelaksanaannya sehingga peserta didik kurang bisa beradaptasi. Para tenaga pendidik juga masih belum terlalu paham mengenai konsep kurikulum ini sepenuhnya dan malah menyalahgunakan kebijakan kurikulum untuk melalaikan tugas.
Kurangnya sosialisasi mengenai kurikulum merdeka belajar ini adalah salah satu faktor adanya kontra dari masyarakat. Walaupun Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (mendikbudristek) telah membebaskan sekolah baik untuk menerapkan kurikulum merdeka belajar ini atau tidak, banyak sekolah yang merasa siap dan mengubah kurikulum sekolah tanpa melihat kondisi peserta didik. Hal ini membuat peserta didik merasa shock dan kaku dalam pelaksanaan pembelajaran.