Sejatinya, saya sudah berjibaku mempelajari pemikiran-pemikiran aneh islam liberal sejak masa Sekolah Menengah Atas , meski sejarah telah mencatat paham tersebut sudah melanglang buana meracuni pemikiran umat islam sejak awal dekade dua ribuan. Sejak masa SMA, saya suka sekali membaca berbagai artikel dari dunia maya tentang berbagai kelompok dan aliran keislaman, salah satunya adalah kelompok yang menamakan diri mereka sebagai Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan misi untuk membentuk umat islam yang toleran dan moderat. Saya sedikit banyak merenungi tulisan-tulisan cendekiawan mereka yang mereka klaim sebagai 'kebangkitan pemikiran islam'. Bahkan, tak cukup merenungi tulisan mereka via dunia maya, saya mamberanikan diri untuk membeli buku karya islam liberal yang diusung oleh dedengkot JIL sekaliber Ulil Abshar Abdalla dan Lutfi Assyaukanie. Membaca pemikiran mereka bukanlah tanpa resiko, beberapa kali kepala saya dibuat puyeng oleh logika-logika mereka yang menakjubkan soal pemelintiran akidah islam. Resiko terburuk yang mungkin saya alami adalah terpengaruh oleh logika mereka hingga terjebak dalam arus pemikiran islam liberal. Dan ternyata hal itu benar-benar terjadi.
Satu satu pemikiran JIL yang sempat meracuni otak saya adalah pemikiran yang sering dinamakan sebagai logika netral agama, atau teologi abu-abu. Awal pengaruh pemikiran mereka terhadap saya adalah kala mereka menafsirkan kalimat basmalah diluar pakem yang telah ada. Dengan entengnya mereka mengartikan basmalah menjadi, "Dengan Menyebut Nama Allah, Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Tuhan Segala Agama". Mereka menerangkan bahwa, Tuhan sejatinya adalah elemen yang satu, Tuhan hadir sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia di muka bumi dengan menghadirkan banyak agama. Seluruh agama pasti memiliki Tuhan, dan keseluruhan agama pasti bermuara pada satu Tuhan. Ibarat Tuhan adalah puncak bukit, semua agama adalah tangga berbeda yang akan menggapai satu tujuan. Almarhum Nurcholis madjid bahkan menambahkan, jika kebenaran dapat diistilahkan dengan angka 10, maka angka 10 dapat dicapai dengan 5+5, 1+9, 3+7, 10+0 atau bahkan jalan-jalan lain yang tidak terduga. Oleh karena itu, jika semua agama akan berujung pada satu Tuhan, maka sudah selayaknya masing-masing agama untuk tidak mengklaim diri mereka dengan kebenaran sepihak, apalagi dengan mengklaim agama mereka paling benar. Saya melihat propaganda agama netral mereka bahkan boleh dikatakan cukup sukses dengan rilisnya film bernuansa liberal berjudul tanda tanya (?) karya sutradara terkemuka.
 Melalui pemikiran teologi abu-abu, mereka menyalahkan kalangan umat beragama yang melihat agama-agama dari kacamata subjektif atau dari sudut pandang agamanya sendiri. Menurut JIL, akibat yang dihasilkan adalah standar ganda dalam menilai agama-agama. Agamanya sendiri akan dipandang benar, sedangkan agama-agama lain dipandang salah dan sesat. JIL memberikan metode baru agar cara pandang 'kolot' tersebut diubah menjadi titik pandang objektif, sehingga melahirkan pandangan yang adil dan objektif terhadap semua agama. Pandangan objektif dan netral tersebut haruslah dikembangkan sehingga tidak melahirkan pemikiran radikal agama, yang tidak menyalah-nyalahkan agama lain sehingga akan meredamkan konflik umat beragama.
 Mungkin kita akan bertanya-tanya, berarti melalui pandangan agama netral kita tidak boleh meyakini agama islam adalah satu-satunya agama yang haq dan diridhoi Allah? Maka JIL akan berkilah, masing-masing agama wajar meyakini agamanya yang benar. Tapi juga harus dipikirkan, pemeluk agama lain juga meyakini hal demikian. Umat beragama haruslah mengembangkan cara pandang yang inklusif, yaitu melihat semua agama pada posisi yang sama, sehingga kebenaran agama bersifat relatif.
Â
Sebagai seorang muslim yang telah belajar akidah islamiyyah sejak kecil, kita katakan dengan tegas bahwa "Innaddina Indallahilislam", satu-satunya agama yang benar dan diridhoi oleh Allah adalah islam. Itu artinya sebagai seorang muslim, kita pasti ekslusif yaitu melihat kebenaran agama melalui sudut pandang islam, sebab akidah islam berbeda dengan agama lain. Mengikuti paham agama netral, akan menjadikan kita laksana menyamakan Allah dengan berhala. Bukankah sangat kontras jika kita mengaku islam namun disisi lain kita membenarkan tuhan berhala? Jika seseorang telah meyakini A, maka yang bertetangan dengan A pasti salah. Jika saya meyakini Nabi Muhammad adalah Rasulullah, maka yang meyakini Nabi Muhammad bukan Rasulullah pastilah salah. Lebih konyol lagi jika ada saja yang mengaku orang islam namun membantah isi Al-Qur'an macam kelompok islam liberal. Sepertinya mereka terlalu mengagung-agungkan kebebasan berpendapat (freedom of expression) dan kebebasan beragama (freedom of expression), sehingga kelewat kebablasan.
 Lebih jauh, pemikiran JIL tentang agama netral sejatinya harus kita bantah. Kita perlu menyadari bahwa melihat agama-agama pada posisi netral sesungguhnya adalah sebuah ideologi juga, itulah yang dinamakan sebagai teologi abu-abu, yakni posisi teologis yang berdiri di luar semua agama. Anehnya, teologi abu-abu ini bukan islam, bukan kristen, bukan hindu atau agama-agama lain. Ini pun juga dapat kita sebut posisi agama baru. JIL yang jumawa akan membawa perdamaian umat beragama dengan teologi abu-abu sepertinya juga bak pungguk merindukan bulan. Utopis. Tidak mungkin akan tercapai. Mengapa? Sebab posisi teologi abu-abu akan menambah daftar konflik baru karena memunculkan agama baru. Orang beragama yang yakin dengan akidah agamanya pasti tidak akan mau melepaskan keyakinannya. Kecuali orang-orang yang memang sudah ada penyakit dalam hatinya, yang didalam Al-Qur'an disebut sebagai orang 'munafik'. Semoga kita senantiasa waspada terhadap aliran-aliran 'nyeleneh' yang berupaya melemahkan akidah islam dari dalam. Kul Al-Haq Walau Kaana Muron, katakanlah kebenaran walaupun pahit.
Â
Wallahu A'lam BishowabÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H