Dulu sewaktu saya masih anak-anak, saya selalu antusias ketika ada orang yang bertanya “Apa cita-citamu?”. Beberapa profesi yang menarik saya sebutkan sebagai suatu pekerjaan yang akan saya jalani dimasa depan yaitu sebagai dokter dan polisi wanita (polwan). Bahkan menjadi astronot pernah saya akui sebagai cita-cita. Dan beragam profesi lain yang menurut saya terlihat menyenangkan serta menghasilkan bayak uang.
Menginjak usia remaja saya semakin memantapakan diri untuk giat belajar agar bisa menjadi dokter. Namun seiring berjalannya waktu, ketika berstatus sebagai siswi SMA minat belajar yang saya miliki semakin menurun. Saya menjadi seseorang yang pemalas dan sering bolos sekolah dengan alasan saya tidak menyukai mata Pelajaran IPA beserta dengan guru pengampunya. Hal ini berdampak pada nilai akademis yang menurun dan saya kurang memahami bagaimana soal tes masuk perguruan tinggi. Kemudian pada waktu pelaksanaan ujian masuk perguruan tinggi saya mengerjakan soal sebisanya. Sehingga saya tidak lolos program studi dan universitas yang saya harapkan.
Namun disisi lain, keberuntungan masih memihak pada saya. Pada siang itu saya dinyatakan lolos pada salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di kota saya tinggal, melalui jalur prestasi akademik alias tanpa melalui proses ujian masuk. Pancaran kebahagian terlihat pada raut wajah ayah dan ibu, tapi disisi lain saya merasa kurang puas. Ego saya tersentil melihat teman-teman yang dinyatakan lolos pada universitas favorit di Indonesia. Ditambah rasa rendah diri yang tiba-tiba menghampiri setelah melihat postingan orang lain di media sosial, yang dengan bangganya memperlihatkan almamater universitas yang saya inginka.
Saya kecewa, marah, dan menyalahkan diri saya sendiri.
”Kenapa aku tidak seberuntung mereka?”
“Kenapa aku tidak belajar dengan maksimal?” , dan…
“Kenapa aku sebodoh ini?”
Pada saat itu, berbagai kecemasan tentang masa depan mulai menghantui. Takut tidak bisa membuat orang tua bangga, takut tidak mendapat pekerjaan tetap, takut tidak bisa memiliki penghasilan yang tinggi dan beragam ketakutan lannya. Kecemasan yang saya alami membuat saya menjalani hidup dengan penuh tekanan. Saya memiliki tekad untuk sukses diusia muda!!!
Perlahan kecemasan yang saya alami mulai memudar ketika saya mulai berstatus sebagai mahasiswa. Dimana saya bertemu teman baru, sekaligus memberikan gambaran bahwa saya termasuk orang yang beruntung masih bisa melanjutkan pendidikan sebagai mahasiswa. Disini saya menemukan teman senasib dan seperjuangan untuk terus mengembangkan diri.
Hingga suatu hari saya menemukan suatu postingan di media sosial yang membahas isu Quarter Life Crisis. Sejak saat itu saya mulai tertarik mempelajari seluk beluk mengenai Quarter life Crisis yang dikaji dari sisi akademis maupun dari sisi life style yang terjadi ditengah kehidupan modern. Dikuti dari jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling : 2023 menjelaskan bahwa, individu usia dewasa awal (18-25 tahun) yang mengalami Quarter Life Crisis ditandai dengan tujuh indikator, antara lain keraguan dalam mengambil keputusan; memiliki penilaian diri yang negatif; merasa terjebak dalam kehidupan yang dijalani; kecemasan tentang masa depan; merasa tertekan dengan tuntutan yang ada; dan khawatir tentang hubungan interpersonal (Robbins & Wilner, 2001). Hal inilah yang memicu seseorang pada usia dewasa awal rentan mengalami depresi.
Setelah mempelajari kajian terkait Quarter Life Crisis dengan seksama yang didukung dengan realita dilingkup pergaulan saya, dari situ saya mulai mengerti bahwa Quarter Life Crisis merupakan suatu kondisi yang normal dan dialami hampir semua orang ditahap usia dewasa awal. Dan ternyata saya tidak sendiri merasakan perasaan yang menyiksa ini. Tersiksa dengan berbagai ketakutan atas kenyataaan hidup yang akan saya jalani. Diperparah dengan perasaan rendah diri yang semakin hari semakin menjadi melihat pencapaian orang lain.