Mohon tunggu...
Chappy Hakim
Chappy Hakim Mohon Tunggu... -

Berbagi dan Berteman.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia Vs Malaysia?

14 Desember 2012   21:01 Diperbarui: 4 April 2017   18:22 3960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malaysia adalah sebuah negara dengan luas 329.847 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 28.334.135 menurut sensus tahun 2010. Indonesia, memiliki luas wilayah sebesar 1.904.569 km2 dengan penduduk yang berjumlah 237.424.363 jiwa mengacu kepada sensus 2011. Republik Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda di tahun 1945, sedangkan Malaysia , sebuah negara persekutuan yang dibentuk di tahun 1957. Dengan penduduk yang lebih dari 50% dari ras Melayu yang sebagian besar berasal dari berbagai daerah di Indonesia , maka wajar sekali bila Malaysia terlihat sebagai "adik" dari Indonesia. Agak sulit untuk melihat Indonesia itu setara dengan Malaysia, tentu saja dalam perspektif tertentu.
Diawal hubungan Indonesia Malaysia, pemerintah dan rakyat Malaysia sebenarnya sudah dengan otomatis menempatkan dirinya sebagai "adik" atau saudara muda sang Abang Indonesia. Banyak langkah yang dilakukan yang membuktikan hal tersebut. Dalam berbagai bidang terlihat "sebenarnya" mereka lebih senang "belajar" atau "bertanya" kepada abangnya yang dibahasakan oleh mereka sebagai "bangsa serumpun". Konon mereka lebih suka memperoleh tenaga guru untuk mengajar para generasi mudanya dari mereka yang berasal dari Indonesia. Berbagai institusi strategis, diawalnya mereka lebih senang untuk belajar dari Sang Abang. Demikian, dan pendek kata, "positioning" yang dilakukan Malaysia di awal berdirinya adalah berkiblat ke saudara tuanya.
Nah, lalu kemudian apa gerangan yang terjadi ?
Tidak terlalu jelas dari mana asal usulnya, akan tetapi dalam perkembangannya kemudian terlalu sering Indonesia tidak merespon dalam proses interaksi hubungan kedua negara sebagai abang adik, seperti yang sebenarnya sudah dimulai oleh Malaysia. Secara pelahan tetapi pasti, semakin sering Indonesia memperlakukan Malaysia sebagai satu negara besar sebesar Indonesia dan bahkan berkecenderungan sesekali melihat Malaysia sebagai satu negara yang "lebih besar" dari Indonesia. Seringkali Indonesia bereaksi yang keliru yang kemudian justru merubah sikap Malaysia yang tadinya menempatkan dirinya sebagai "adik".

Apabila kita lebih sabar dan lebih "mendidik" dalam bersikap kepada Malaysia, maka hubungan kedua negara akan jauh lebih konstruktif dan bahkan di era yang tengah dihadapi bersama ini, dikawasan Asean maka Indonesia dan Malaysia akan bersinergi menjadi pusat segala kegiatan di kawasan Pasifik ! Banyak sekali yang dapat membesarkan bangsa Melayu di Asia dengan potensi yang dimiliki kedua negara, walau tidak semata harus memandangnya sebagai rasis.
Koran utusan Malaysia itu tidak begitu banyak yang membaca, penulis tajuk rencana juga bukan seorang pejabat, tulisannya pun sebenarnya lebih terfokus kepada urusan dalam negerinya sendiri, lalu kita disini, semuanya "marah", kebakaran jenggot, dan bahkan terakhir DPR pun akan mengajukan nota protes ! bukan main ? Sementara itu, andai saja kita semua tidak bereaksi terhadap tulisan itu, dipastikan tulisan tersebut sudah akan dilupakan orang, karena memang sebenarnya tidak ada yang baca, atau bila ada yang baca, jumlahnya sedikit sekali. Reaksi Habibie adalah sebuah reaksi dari seorang yang sangat cerdas, yaitu cukup dengan "senyum" dan selesai. Saya percaya, sangat mungkin sekali, Habibie tidak sama sekali menangkap makna penghinaan dari esensi tulisan tersebut. Itu menggambarkan bahwa memang tulisan tersebut terlalu "kecil" untuk dapat "mengusik" nya dan beliau pasti terlalu sibuk untuk dapat menyisihkan waktu "hanya" untuk merespon hal yang sama sekali tidak penting !. Saya yakin Habibie kesulitan dalam coba menyisihkan waktu untuk membahas hal yang sangat "tetek-bengek" ini.

Sekali lagi, lalu mengapa banyak yang kebakaran jenggot? yang bahkan saya percaya mereka belum tentu sudah membaca sendiri tulisan itu secara utuh? Kita sendiri yang membuat tulisan itu menjadi "top", kita yang membesar-besarkan nama sang penulis yang sebenarnya sudah dan tidak terkenal sama sekali. Kita yang "membesarkan" Malaysia, Kita memperlakukan sang "adik" sebagai "saingan" berat dan bahkan menganggapnya jauh lebih besar dari Indonesia. Kita telah terlalu sibuk mengurus hal-hal seperti ini yang kerap merefleksikan sebagai satu bangsa yang sedang "tidak ada kerjaan"
Seorang Jurnalis, tepatnya wartawati TV asal Eropa yang bertugas pada saat reformasi bergulir di Indonesia, pernah berkata kepada saya bahwa di negeri anda ini penduduknya memang sangat ramah-ramah, akan tetapi kami harus berhati-hati, karena ternyata mereka sangat "mudah tersinggung".
Dalam merenung perkembangan hubungan Indonesia Malaysia belakangan ini, saya kemudian teringat kembali kata-kata sang Jurnalis tersebut.

Jakarta 15 Desember 2012
Chappy Hakim

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun