Perhelatan Moto GP begitu dihebohkan dengan aksi pawang hujan yang mendunia. Bagaimana tidak, seluruh pemberitaan ramai mengulas aksinya. Satu hal yang terlintas di hati, semua adalah kuasa Tuhan.Â
Tuhan yang menggerakan, menghidupkan, menghendaki, menyelamatkan. Jika Tuhan sudah berkehendak, jadilah maka jadilah. Begitu dalam Alquran pada Surat Yasin ayat 82.
Sebenarnya ini tak ada hubungannya sama sekali dengan Mandalika. Ini hanya curahan hati dalam bayang-bayang jalan mulus lancar tanpa lubang. Rasanya ingin sekali melintas di jalanan seputar sirkuit mandalika. Melewati jalan yang glowing nyaris tanpa cacat dengan aspal berkualitas nomor wahid. Nyatanya itu memang hanya angan-angan dalam benak.
Sebagai satu dari sekian orang yang tergolong dalam kategori PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad) rasanya badan ini sudah tak sebaik dulu, Â tak sesehat dulu.Â
Di balik faktor usia yang tak lagi muda, ditambah dengan bumbu-bumbu masalah kehidupan yang datang silih berganti, dilengkapi dengan jalanan berlubang rusak tak layak dilewati, akan tetapi malah dilintasi setiap hari. Saya memang bisa apa selain bersyukur untuk yang kesekian kali akan karunia Tuhan yang tak henti-henti.
Meskipun demikian adakalanya mulut ini mengumpat pada sang pemangku kebijakan. Adakalanya pemerintah menuntut hasil yang sama, padahal prasana tidaklah merata. Kita lihat perkembangan pedesaan dan perkotaan terlihat kesenjangan yang benar-benar jauh berbeda.
Lagi-lagi yang tak pernah merasakan pasti akan bilang "sabar". Namun cukupkah? Sebuah komentar seringkali dilayangkan tanpa merasakan.
Sudah menuju tahun pada angka keempat tahun saya bekerja jauh dari tempat tinggal dan keluarga. Saya, notabene orang yang biasa hidup di pinggir perkotaan. Memang bukan kota layaknya ibu kota. Tapi sudah cukup disebut kota pikirku. Jarak 4 jam perjanalan cukup membuatku lelah.Â
Tahun pertama semangat masih menggelora dengan beberapa harapan dan keinginan yang mungkin saja kelak menjadi sebuah kenyataan untuk lebih baik. Tahun kedua dengan penantian yang sama dan seperti biasa seminggu sekali saya pulang menemui keluarga.Â
Mulai tahun ketiga, aspal-aspal jalanan itu mulai habis terbawa arus air setiap kali hujan. Ya, persis setiap kali hujan tanpa perbaikan. Lubang-lubang jalan itu hampir merata, lubang di tengah dan pinggiran tak terkira.Â